Entah peristiwa ini bisa disebut sebagai kebangkitan ‘punk movement’ atau malah mengubur sejarah keperkasaan punk yang pernah gagah di era ‘70an. Joe Corré – putra dari pasangan Malcolm McLaren, manajer kawakan yang pernah membesarkan band punk legendaris Inggris, Sex Pistols dengan Vivienne Westwood, seorang perancang kostum-kostum bertema punk yang sukses – telah membakar seluruh koleksi merchandise punk langka miliknya. Ritual pembakaran merchandise tersebut berlangsung 26 November 2016 lalu di River Thames, London. Bertepatan dengan peringatan 40 tahun dirilisnya single sukses pertama Sex Pistols, “Anarchy In The UK”. Merchandise yang telah dibakar tersebut ditaksir bernilai USD 6 juta, atau jika dirupiahkan berkisar lebih dari 80 milyar.

Di antara barang-barang berharga yang dibakar tersebut, terdapat beberapa item milik dua personel Sex Pistols, yakni Sid Vicious dan Johnny Rotten. “Selamat datang di penipuan terbesar dalam dunia punk rock,” seru Joe sambil memegang beberapa merchandise tersebut, sebelum melakukan pembakaran. “Di masa dimana Anda membeli punky nugget di McDonald, kartu kredit ‘Anarchy in the U.K.’, asuransi mobil ala punk rock dan celana terusan dari Louis Vuitton.”

Alasan utama yang melatari tindakan Joe Corré ini adalah keprihatinannya terhadap perlakuan gerakan punk yang kini bergeser ke mainstream. Dieksplor menjadi produk jualan untuk mengeruk kekayaan dari berbagai pihak yang justru tidak mengerti semangat atau simbol-simbol di balik gerakan punk. Bahkan pemerintah Inggris sampai menetapkan tahun 2016 sebagai “The Year of Punk”.

“Banyak orang sangat menyayangkan harga dari barang-barang tersebut,” lanjut Joe, “tapi yang butuh kita bahas di sini adalah nilainya. Punk telah membuka kesempatan bagi para generasi ‘70an yang tidak punya masa depan untuk mencari jalan keluar, (dengan) tidak mempercayai media, dan tidak mempercayai para politisi. Mencari kebenaran dengan cara sendiri, yakni Do It Yourself (DIY). Punk tidak pernah diniatkan sebagai nostalgia. Budaya punk telah disesuaikan dengan kebutuhan mainstream. Bukannya menjadi gerakan untuk perubahan, tapi malah punk dijadikan seperti museum. Simbolisasi punk sudah mati. Ketika pemerintah menetapkan 2016 sebagai ‘the Year Of Punk’, Anda benar-benar harus mempertanyakannya pada diri Anda sendiri, apa makna semua itu (bagi gerakan punk). Kemapanan adalah seragam baru!”

Keputusan Joe Corré membakar barang-barang warisan sejarah punk tersebut tentu saja disayangkan banyak pihak. Bahkan termasuk Johnny Rotten sendiri. Menurut Johnny, ketimbang dibakar, ada baiknya didonasikan untuk amal. Tapi usulan itu ditolak Joe. “Jika menjual barang-barang ini siapa yang akan beli. Pasti akan berakhir (terpajang) di dinding-dinding para bankir kaya.”

Peristiwa pembakaran yang dilakukan Joe Corré telah didokumentasikan oleh televisi Inggris dan diproduseri oleh Joe Corré sendiri, bekerja sama dengan Andrew Eborn dari Octoupus TV.

Sex Pistols dibentuk di London pada 1975 silam. Walau berusia pendek, hanya bertahan selama 2,5 tahun, namun band yang dihuni penyanyi Johnny Rotten (John Lydon), gitaris Steve Jones, dramer Paul Cook serta bassis Glen Matlock, yang lantas digantikan oleh Sid Vicious (John Ritchie) menancapkan sejarah penting dalam gerakan anti kemapanan di Inggris. Konser mereka selalu dijegal pemerintah karena konten lirik yang kontroversial dan provokatif, yang kebanyakan menyorot keras kebijakan di industri musik, kebusukan para politisi, kekerasan, konsumerisme, aborsi, anarki hingga fasisme. Dalam perjalanan karir yang pendek itu, Sex Pistols hanya menghasilkan empat single, yakni “Anarchy in the U.K.”, “God Save the Queen”, “Pretty Vacant” dan “Holidays in the Sun” serta satu album penuh resmi yang bertajuk “Never Mind the Bollocks, Here’s the Sex Pistols” (1977). Sid Vicious meninggal pada Februari 1979 akibat overdosis heroin. Pada 24 Februari 2006, nama Sex Pistols diabadikan di “Rock and Roll Hall of Fame”, namun para personel yang tersisa menolak untuk menghadiri acara penobatannya.