Sekitar seminggu lalu, diberitakan oleh Nashvillepost.com, salah satu pabrikan gitar ikonik dunia, terbesar, termasyhur dan legendaris, Gibson Guitars – atau yang kini menggunakan nama Gibson Brands Inc. – tengah didera kesulitan finansial parah yang mengancam kelangsungan hidup perusahaan tersebut.

Dilaporkan bahwa Gibson kini mempunyai utang sebesar USD375 juta yang terkumpul sejak 2013, yang harus segera dilunasi sebelum 23 Juli 2018, untuk menghindari tagihan utang bank berikutnya sebesar USD 145 juta yang sebentar lagi juga akan jatuh tempo.

Dan di luar itu, Gibson juga terikat utang pinjaman sebesar USD130 juta yang sudah diperpanjang selama setahun sejak 2017 lalu, dari Blackstone Group, sebuah perusahaan swasta multinasional, yang menangani manajemen aset dan jasa keuangan. Jadi, walau minggu lalu Gibson telah melakukan pembayaran sebesar USD 16,6 juta, bisa dibilang pembayaran tersebut ibarat angin lalu saja. Karena masih sangat jauh dari jumlah utang yang harus dibayarkan. Tidak heran, Kepala Bagian Keuangan Gibson, Bill Lawrence langsung mengundurkan diri dari perusahaan tersebut setelah bertahan selama kurang dari setahun.

Menurut Kevin Cassidy, dari Moody’s Investors Service, sebuah perusahaan yang melakukan penilaian terhadap kualitas kredit, ada beberapa opsi yang harus dilakukan Gibson agar terhindar dari kebangkrutan. Pertama, Kevin menyebut Henry Juszkiewicz, pemilik dan pejabat tertinggi di Gibson harus melakukan negosiasi ulang mengenai termin pembayaran utangnya, yang tentunya disertai beberapa catatan baru. Atau dia juga harus merelakan untuk melepas beberapa asetnya sebagai alat tukar utang-utangnya.

“Jika masalah ini sampai harus berakhir dinyatakan pailit, maka Henry harus rela menutup segenap perusahaanya,” urai Kevin, seperti yang dikutip dari Nashville Post.

Gejala ketidakberesan finansial dan kebijakan bisnis Gibson sebenarnya sudah tercium sejak beberapa tahun belakangan. Misalnya, ketika Gibson mulai menerapkan automatic tuners di beberapa produk gitarnya, yang mengundang kontroversial dari berbagai pengguna sehingga mempengaruhi kondisi pemasarannya. Lalu, tahun lalu Gibson telah menjual beberapa properti miliknya, termasuk salah satu pabriknya yang berlokasi di Memphis serta sebuah gudang bekas Baldwin Piano, serta mengakhiri produksi pengembangan perangkat lunak musik Cakewalk.

Dan di luar itu, Gibson yang juga menaungi produk gitar Epiphone, Kramer, Tobias, drum Slingerland serta piano Wurlitzer juga mulai mengubah arah bisnisnya, dimana mereka memilih lebih fokus berpartisipasi di Consumer Electronics Show ketimbang memaksimalkan promosi di NAMM Show. Maklum, Gibson juga tercatat telah mengakuisisi beberapa perusahaan audio seperti Philips, TEAC, Tascam dan Onkyo, yang dieksekusi dari hasil pinjaman-pinjaman tadi.

Gibson kini sudah berusia 116 tahun, didirikan oleh Orville Gibson di Michigan, AS sejak 11 Oktober 1902 silam. Perusahaan yang awalnya bernama Gibson Guitar Corporation tersebut kini berpusat di Nashville, Tennessee. Sepanjang perjalanan karirnya, Gibson telah melahirkan gitar-gitar ikonik yang menjadi pujaan berbagai gitaris dari segala genre – termasuk rock dan metal – seperti tipe Les Paul, SG, Explorer, ES-335 hingga Flying V.

Bagaimana nasib Gibson Brands Inc. selanjutnya? Kita tunggu…. (Mudya)

.