Ibarat membeli mobil baru, musisi senior dan ikon jazz Indonesia, Indra Lesmana akhirnya menuntaskan debut ‘test drive’ Indra Lesmana Project (ILP) semalam (27/6). Bertempat di Lemmon ID Building yang berlokasi di kawasan Pejaten Raya, Jakarta Selatan, Indra beserta lima musisi muda yang mengawalnya membayar rasa penasaran sekitar 150an penonton yang memadati ‘intimate concert’ tersebut.

Ya, usai meluncurkan album mini (EP) “Sacred Geometry” (inLineMusic) pada pertengahan Mei 2018 lalu, inilah penjajalan pertama ILP di panggung sesungguhnya, di hadapan beberapa penonton metalhead plus beberapa musisi lintas genre yang datang semalam. Mereka ingin menyaksikan, bagaimana seorang Indra Lesmana – yang tentunya selama ini lebih dikenal lewat panggung jazz serta pop – menghajar kuping dengan geberan distorsi berat, dalam balutan komposisi berkontur math-metal dan djent yang presisi dan padat. 

Empat komposisi berdurasi lentur, yakni “I. Awakening”, “II. Acknowledge”, “III. Ascension” dan “IV. Acceptation” dieksekusi ILP dengan mulus. Walau terbilang muka baru dan belum punya jam terbang tinggi, namun Ray Syarif (gitar), Hata Arysatya (dram) dan Togar (vokal) terlihat cukup percaya diri berada di garis depan, mengimbangi Indra Lesmana, bassis Shadu Shah yang telah cukup nutrisi di panggung jazz dan pop serta gitaris Karis, yang sudah tak asing dengan getaran panggung metal bersama bandnya yang beraliran death metal, Deadsquad.

“Terima kasih untuk semua yang sudah hadir. Kami akhirnya bisa berada di sini karena kalian semua. Ini band kalian, kalianlah yang bertanggungjawab, yang membuat kami bisa berada di sini,” seru Indra dari atas panggung setelah menjajal lagu “Awakening”.

Keseluruhan penampilan ILP – yang didukung pula dengan siraman tata cahaya yang memanjakan mata – bagaikan menyaksikan sebuah petualangan musikal yang sarat gelombang dan tikungan tajam. Banyak manuver nada – yang memang lazim diterapkan di musik-musik progresif – menerjang di sana-sini. Tapi, ’drama’ sesungguhnya terjadi ketika ILP menggelontorkan komposisi “Ascension” dan “Acceptation” secara berturut-turut. Selain selipan permainan solo dari Hata dan Shadu, ada pula eksplorasi tunggal Indra dari balik perangkat kibordnya, yang sesekali mengalunkan nada-nada bening nan magis, seolah menjadi penenang sebelum seluruh personel kembali menggempur dengan entakan distorsi bertempo odd-signature yang buas dan klimaks.

Bagi Indra, seperti yang pernah dituturkannya pada MUSIKERAS, ILP bukan sekadar sebuah proyek musik, tapi sebuah gerakan. Lewat ILP, ia ingin mengeksplorasi keepikan metal progresif sebagai penjelajahan kreativitas terbarunya. Walau sebenarnya, sub-genre ini juga bukan ‘alien’ di mata Indra.

“Saya lahir dan tumbuh bersamaan dengan era progressive rock. Masa kecil saya sehari-harinya mendengarkan musik Yes, Genesis, Emerson Lake & Palmer dan King Crimson. Walaupun saya belajar dan lebih banyak main musik jazz, pengaruh musik progresif sangat besar dan cita-cita untuk mempunyai grup seperti ILP sudah lama saya pendam, dan Alhamdulillah akhirnya sekarang terwujud,” ungkap Indra meyakinkan.

Kasak kusuk kelahiran ILP sendiri dimulai sejak Desember 2017 lalu, dimana Indra melakukan audisi di media sosial untuk mencari musisi muda yang ideal untuk proyek ILP. Karena ILP membutuhkan personel-personel yang memiliki skill yang baik dan tempo yang presisi. Mereka yang ikut (audisi) kebanyakan musisi-musisi rock yang berkualitas, yang jarang terlihat karena tidak mempunyai kesempatan.”

Saat ini, Indra dan personel ILP lainnya sedang menjalani proses rekaman untuk menuntaskan penggarapan album penuh ILP. Rencananya, album tersebut bakal dirilis dalam format fisik, tepatnya dalam bentuk cakram padat (CD) serta piringan hitam (vinyl). (@mudya_mustamin)

Kredit foto: Mikhail Teguh Pribadi

.