‘Blind Conviction’ adalah album hardcore yang tanpa basa-basi dan akan menumpahkan darah di dalam moshpit bila dibawakan live!”

Itu peringatan yang dikoarkan Final Attack, unit hardcore asal Jakarta, tentang album terbarunya yang bertajuk “Blind Conviction”. Karya rekaman yang lahir empat tahun sejak merilis album “From Dust and Ashes” tersebut kini telah diedarkan secara luas oleh label Lawless Jakarta Records.

Final Attack sendiri bukan nama baru di skena hardcore. Band yang kini dihuni formasi Indra Chino Prabowo (gitar), Achmad Bagoes (vokal), Ray Dimas (gitar), Andri Rad (bass) dan Ikhsan Nur Alino Haqqi (dram) tidak hanya dikenal luas di Tanah Air, namun juga membahana di Asia hingga Eropa dan Amerika Serikat. Sejauh ini, mereka juga telah mengantongi beberapa karya album rekaman, yakni “Legitimate Threat” (2008), “Action Speaks Louder” (2010), “Hati, Jiwa, Pikiran” (2012), “From Dust and Ashes” (2015) serta sebuah album mini (EP) berjudul “Length of Time” (2009).

“Blind Conviction” yang beramunisikan 10 komposisi berbahaya digarap Final Attack di Benji Studio, Bekasi. Keseluruhan materi lagunya mereka garap sejak Oktober 2018 hingga Januari 2019. Judul “Blind Conviction” sendiri mereka comot dari salah satu judul lagu di album. Dan secara menyeluruh, tema lirik yang dikobarkan kebanyakan terinspirasi dari keadaan masyarakat sekitar yang secara langsung mereka rasakan. Seperti penggiringan opini masyarkat untuk membenci satu kelompok ras tertentu atau agama tertentu atau sekadar aliran dalam agama tertentu yang tersebar luas di media sosial ataupun grup WhatsApp. Hal-hal yang membuat para personel Final Attack gerah dan jengah, dan memicu sikap untuk berhenti diam.

Lewat umbaran lirik-liriknya, Final Attack mendorong mereka yang mendengarkan “Blind Conviction” secara menyeluruh untuk dapat kembali merasakan esensi menjadi manusia yang hidup berkelompok, yang dibekali pikiran untuk menilai mana yang baik dan mana yang buruk, yang masing-masing diberkahi lahir batin untuk menjadi apa pun dan siapa pun, yang masing-masing diberikan tanggung jawab untuk dapat berguna bagi orang lain meskipun dalam porsi yang paling kecil.

“Armageddon” adalah single perdana dari album “Blind Conviction” yang telah ditebar melalui akun Bandcamp. Dan sejauh ini, responnya sangat bagus dan ditanggapi dengan antusias di skena internasional. Lebih jauh tentang Final Attack dan kasak-kusuk proses kreatif di balik penggarapan “Blind Conviction”, simak tanya jawab singkat MUSIKERAS dengan jawaban kolektif personel Final Attack berikut ini:

Bisa diceritakan proses kreatif saat merekam album “Blind Conviction”, berapa lama prosesnya? Dan apakah ada kendala teknis saat menjalani keseluruhan prosesnya?

Sebagai sebuah band, bisa dibilang kami agak jarang untuk kumpul atau latihan, ya karena aktifitas satu sama lain yang sudah agak padat daripada sebelumnya. Hal ini tentunya juga mempengaruhi kami dalam membuat lagu. Untuk album ‘Blind Conviction’ ini kami jarang sekali menghabiskan waktu di studio. Perkembangan teknologi yakni Whatsapp, kami pakai untuk media bertukar ide dan riff-riff gitar atau lainnya. Biasanya Ray dan Indra yang aktif membuat ide awal atau riff gitar yang mungkin belum berbentuk menjadi satu lagu penuh. Kemudian Andri dan Ikhsan yang mengoreksi sedikit demi sedikit. Komunikasi berlanjut hingga akhirnya menjadi sebuah lagu dan baru akhirnya kami memutuskan untuk membawanya ke studio untuk coba dimainkan bersama. Untuk lirik sendiri pun menunggu semua (musik) lagu jadi baru dibuat. Namun biasanya Bagoes sudah memiliki tema per lagu yang akan diangkat. Proses penulisan lirik yang mungkin membutuhkan waktu yang lama karena memang sulit, terlebih ada dua lagu berbahasa Indonesia yang muncul dalam album ini. Lagu Indonesia bisa dibilang cukup sulit karena dalam hal pemilihan katanya. Kami ingin lagu yang kami buat terus relevan meskipun tahun demi tahun berganti. Untuk penulisan lagu tidak cuma dikerjakan oleh Bagoes sendiri saja tapi ada juga bantuan dari Andri, sang gitaris.

Pertengahan masuk studio, kami bertemu dengan Arian 13 dari Lawless Record dan juga Anggarez, seorang artworker yang juga pernah mengerjakan (rekaman) split 7″ kami dengan Triangle (Malaysia). Dalam kesempatan ini, Anggarez ditunjuk oleh label untuk mengerjakan album terbaru kami. Pada saat itu, judul album belum ada dan lirik masih dalam keadaan draft. Jadi memang masih mentah semuanya. Proses pengerjaan artwork akan lebih baik setelah lirik semuanya selesai. Jadi visual album dapat sejalan dengan pesan yang coba disampaikan kepada para pendengar semua. Pengerjaan artwork memakan waktu kurang lebih dua bulan lamanya. Namun tidak bisa dipungkiri kalau kami semua sangat puas dengan detil goresan juga ide visual dari Angga dan Arian pada akhirnya.

Bagaimana kalian mendeskripsikan formula musik di album “Blind Conviction”? Dan dari mana saja referensi atau influence musiknya?

Masing-masing dari kami memiliki referensi musik yang berbeda-beda. Dari segi penulisan lirik dan gaya vokal, Bagoes banyak terinspirasi dari band band seperti Pulling Teeth, American Nightmare, Carry On dan Have Heart. Bagoes sadar melalui musiklah ia banyak mendapatkan pembelajaran tentang pertemanan, alternatif cara berpikir dan kehidupan. Dan ia melihat bersama band, ia memiliki peluang untuk dapat juga memberikan alternatif berpikir dan dukungan immateril kepada pendengarnya terhadap permasalahan yang kompleks. Lebih khususnya, ia melihat potensi bagaimana musik ini dapat mengubah hidup seseorang apabila pesan yang disampaikan lebih luas dan tepat sasaran.

Kalau dari segi musikalitas, kami banyak terinspirasi dari band-band New York hardcore macam Madball, Cro Mags, Leeway bahkan band-band early DC hardcore seperti Minor Threat, Void, SOA dan lain-lain.

Jika harus memilih, dari segi musikalitas lagu mana sajakah yg paling membanggakan kalian sebagai musisi? Jelaskan alasannya….

“Lirih”, “Esensi” dan “Armageddon”. Mungkin akan kami jelasin lebih ke ide penulisan liriknya dan mengapa ini penting untuk disampaikan. Tidak ada yang lebih sakit daripada perasaan ditinggalkan. “Lirih” mencoba mengajak mereka yang merasa terabaikan ditinggalkan untuk ikhlas bertanya kepada sekelilingnya, apakah mereka benar-benar ditinggalkan? Padahal terkadang di lingkungan yang nyaris tidak pernah absen dari becandaan, terletak teman-teman yang secara dewasa dapat memberikan masukan yang luar biasa, ketimbang mereka yang selalu serius. Jadi kalau merasa tersesat dan putus asa, coba dekati satu per satu teman kalian. Mungkin kalian tidak lagi menemukan kekosongan. Dalam pengisian vokal memang gue sengaja memasukkan banyak suara teman-teman dekat yang sering main bareng. Ya karena ya itu, gue pengen juga mereka merasakan itu dan isi vokal rame-rame dalam lagu ini ya melambangkan ya lo nggak sendiri. Kesannya ya lo nggak pernah ditinggalkan.

“Esensi”, satu lagu lagi selain “Lirih” yang ditulis dalam Bahasa Indonesia. “Esensi” lebih kepada ngasih semangat buat yang merasa dikerdilkan karena usia, karena bukan siapa siapa, karena bukan dari ibukota, karena lain sebagainya. Karena apa pun yang buat kalian drop untuk bikin sesuatu. Padahal di hardcore itu sendiri kita dikasih kesempatan sebesar-besarnya untuk menjadi apa pun. Berangkat dengan pemikiran bahwa nggak akan ada yang menghakimi kita karena ini atau itulah, yang seharusnya menjadi pemacu untuk mereka-mereka yang mau berkontribusi untuk bikin sesuatu. Kalau pun kalian merasa dikerdilkan, jalan terus dan buktikan dengan apa yang kalian bisa kerjakan, hasilkan atau semacamnya.

“Armageddon”, lirik yang dibuat Andri ini cukup kuat sih. Menyoal tentang permasalahan yang tengah terjadi di masyarakat sekarang ini. Konsep masyarakat ideal yang coba dipaksa diterima oleh khalayak luas. Berusaha untuk menyeragamkan isi kepala bahwa hanya golongan mereka saja yang mempunyai hak hidup lebih unggul dibanding kelompok lain di tengah masyarakat. Lagu ini menyoal tentang rasa risih kami terhadap dominasi kekuasaan yang terus bermunculan di tengah masyarakat. Digunakan untuk memperdaya yang lemah dan mengubah kultur dalam konteks produk budaya yang sudah lama ada di tengah masyarakat. Terlebih lagi ide-ide yang dijagokan bertolak belakang dengan logika dasar bagaimana manusia sebagai makhluk sosial hidup dan saling membutuhkan satu sama lain. Selain lirik, gue menikmati lead guitar Indra dan Ray di awal sebelum lagu ini mulai. Memberi kesan yang gloomy pada lagunya.

Ceritakan sejarah singkat terbentuknya Final Attack…

Final Attack terbentuk sejak 2004, bermula ketika Indra baru balik dari Amerika Serikat, mengajak Joneh dan Widi untuk membuat sebuah band hardcore. Pada awalnya, mereka bertemu di dunia maya (masa itu) yaitu Friendster dan Myspace. Setelah bertukar ide dan konsep, mereka masih kekurangan orang untuk mengisi gitar dan dram. Widi yang pada saat itu melalui Trueside Records mempunyai proyek kompilasi, akhirnya bertemu dengan Bagoes dan Buncis yang pada saat itu sudah mempunyai band yakni Struggle Than Before (BravexHeart). Widi yang ditemani oleh Indra berkenalan dan ngobrol panjang lebar. Dan ternyata antara Indra, Bagoes, dan Buncis memiliki tempat tinggal yang berdekatan. Sesaat kemudian atas inisiatif dari Widi dan Indra, akhirnya Bagoes diajak untuk mengisi posisi sebagai penabuh dram. Akhirnya mereka masuk ke studio untuk mencoba beberapa materi lagu. Pada saat itu juga, Andri yang hanya untuk menemani Indra latihan diajak oleh Indra untuk mengisi gitar 2, untuk blocking. Formasi awal pada saat itu adalah Widi (vokal), Indra (gitar), Joneh (bass), Andri (gitar) dan Bagoes (dram). Pada masa itu, Final Attack bersama Bagoes mengeluarkan Demo 2005, yang menjadi penghubung dan juga jalan pembuka Final Attack tampil di panggung-panggung Jakarta, bahkan luar Jakarta. Formasi ini pun bertahan hingga 2006/2007, Bagoes memutuskan untuk keluar dari band.

Posisi Bagoes digantikan oleh Isan, yang dulu aktif dengan Kuro!, Majesty, Radiohits dan masih banyak lainnya. Bersama Isan, Final Attack menelurkan album pertama yakni “Legitimate Threat” pada 2008. Isan keluar kemudian digantikan oleh Hendro dari A Thousand Punches, White Minority. Dengan Hendro, Final Attack mengeluarkan album yang kedua yakni “Length of Time”. Album ini berjeda setahun setelah “Legitimate Threat” keluar. Setelah itu, baru Ikhsan  dari xBelievex, Grievence masuk menggantikan Hendro. Bersama Ikhsan, Final Attack menghasilkan “Action Speak Louder” di 2010.

Tahun 2011 merupakan masa sulit bagi Final Attack. Mereka kehilangan sahabat dan juga bassis mereka, yakni Joneh. Posisi Joneh sempat diisi oleh Dimas Sense of Pride kurang lebih dua tahun lamanya. Setelah itu masuk Ray yang kemudian mengisi posisi Joneh sebagai pembetot bass. Formasi pada saat itu adalah Widi (vokal), Indra (gitar), Andri (gitar), Ikhsan (dram) dan Ray (bass). Formasi ini berhasil mengeluarkan album “Hati Jiwa Pikiran”.

Album tersebut merupakan karya Final Attack terakhir bersama Widi sang vokalis. Pada masa itu Final Attack sempet hiatus (vakum). Namun karena dorongan dari teman-teman maka band ini (akhirnya) tetap berjalan. Selama kekosongan sang vokalis, Final Attack dibantu oleh Ican, Gilang dan Bagoes. Final Attack berjalan tanpa vokalis kurang lebih dua tahun lamanya.

Kemudian pada 2013, Bagoes ditunjuk menjadi vokalis di Final Attack. Bersama Bagoes, Final Attack membuahkan album “From Dust and Ashes”. Dan pada 2017, Final Attack mengeluarkan split 7″ bersama Triangle. Perjalanan panjang dan pergantian formasi Final Attack membawa nuansa baru terhadap perkembangan musik kami sampai saat ini. (mdy/MK01)

.