Akhirnya, sosok Marty Friedman benar-benar hadir di depan mata. Semalam (28/9), mantan gitaris band thrash metal Megadeth tersebut menggelar pertunjukan klinik istimewanya, di depan ratusan pengagumnya yang memenuhi ruangan teater Ciputra Artpreneur, Jakarta.

Seperti umumnya sebuah klinik musik, Marty tak hanya memainkan beberapa komposisi dalam format minus one – memainkan komposisinya di gitar dengan iringan musik jadi yang disetel dari perangkat komputer – namun juga menjawab sejumlah pertanyaan dari audiens. Dan sudah bisa diduga, pertanyaan yang berkaitan dengan Megadeth pun terlontar. Salah satunya ada yang menanyakan apakah ada kemungkinan Marty balik lagi ke formasi Megadeth?

“Saya berteman dengan banyak orang, jadi mungkin suatu hari bisa terjadi,” jawab Marty enteng.

Pertanyaan lain adalah seperti apa latihan rutin bermain gitar yang ia terapkan terhadap dirinya. Menurut Marty, di tahap sekarang, tampil di depan penonton itulah latihan rutin.

“(Saya) Tak pernah punya latihan rutin. Setiap kali bermain gitar di depan orang-orang itu adalah practising. Apalagi ditonton banyak musisi, butuh nyali besar (untuk melakukannya).”

Masih berdasarkan pertanyaan-pertanyaan penonton, Marty juga menegaskan bahwa dalam bermain gitar, apa yang ia lakukan selama ini selalu berdasarkan kenyamanan dirinya. Misalnya tentang keunikan teknik picking-nya. Ternyata alasan di baliknya adalah karena ia ingin menjaga jemarinya jauh dari senar untuk mendapatkan deringan suara senar yang jernih, karena pada dasarnya ia tak suka dengan teknik muted strings.

“Saya suka suara gitar yang bernyanyi, suara ‘sepi’ yang manusiawi,” cetusnya.

Dan kurang lebih, formula itu juga ia terapkan saat menggarap sebuah komposisi solo. Marty cenderung melakukan improvisasi ketimbang pengonsepan, dengan tujuan untuk mendapatkan beberapa bagian menarik dari sekian banyak nada improvisasi yang dihasilkannya. Dengan cara itu pula, ia lebih mudah mengingat komposisi yang ia mainkan, karena bakal dilatihnya lagi untuk kebutuhan penampilan di panggung, setelah rekaman selesai.

“Makanya kalau saya mengisi untuk proyek rekaman orang lain, biasanya saya cepat lupa,” seru Marty menegaskan.

Saat MUSIKERAS menemui Marty di belakang panggung seusai acara dan menanyakan mengenai salah satu kolaborasi terbaiknya dengan Kitaro di album “Scenes”. Marty mengakui pengalaman bekerja sama dengan musisi dan produser instrumentalis legendaris dari Jepang tersebut telah memberikannya banyak pelajaran ilmu komposisi yang sangat berkesan.

“Saya belajar bagaimana bermain dengan space (ruang dalam komposisi), bagaimana menempatkan gitar di dalam ‘ruang’, bahwa dalam sebuah komposisi tidak harus selalu mengisinya dengan gitar,” ujarnya.

Di sela sesi tanya jawab, malam itu Marty juga memainkan beberapa komposisi, terutama dari dua album terakhirnya, yakni “Wall Of Sound” dan “Inferno”. Di antaranya ada lagu “Self Pollution”, “For A Friend” serta nomor balada yang sarat nada melodius nan eksotis, “Undertow”.

Lewat akun Facebook pribadinya, Marty tak lupa mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada para penggemarnya yang telah datang menyaksikan penampilannya semalam. Walau pun sempat sedikit ‘terganggu’ insiden kehadiran MC (master of ceremony) wanita yang tetap duduk di sebelahnya, saat Marty sudah memulai penampilannya.

Thanks to all the incredible people of Indonesia! Everyone was so friendly, beautiful and funny! The theater exploded with laughter when I had to kick that gorgeous MC (to my left) off the stage during my set. It was a rock and roll moment..I will definitely be back…with my band next time!”

Oh ya, kedatangan Marty Friedman sendiri diprakarsai oleh kolaborasi Swee Lee, Guitar.com dan Jackson Guitars. Swee Lee Indonesia yang berlokasi di kawasan Pondok Indah adalah cabang pertama toko musik Swee Lee di Jakarta, dan terbuka untuk publik sejak Juni 2019. Swee Lee senang sekali dapat mendekatkan komunitas dengan kegemaran yang sama pada musik, dan ini menandai peluncuran formalnya di area ritel Jakarta dengan seri workshop pertamanya yang berfokus pada musisi.

Selain konser klinik, pada hari yang sama, Marty juga sempat menggelar Masterclass terbatas yang diikuti oleh 20 gitaris. Salah satu tujuan utama kedatangan Marty adalah untuk mempromosikan gitar Jackson Marty Friedman Signature Guitar. Oleh Marty, ia menegaskan sangat menyukainya karena penampilan fisik dan desainnya yang sangat keren.

It has beautiful looks! Saya suka gitar yang enak dipandang, punya imej yang kuat dan tentunya punya suara yang fantastis. Jackson sangat inovatif dalam hal bentuk, dan penampilan sangat penting buat saya,” tandas Marty, yang mengaku sebenarnya tidak terlalu memperdulikan mengenai spesifikasi teknis pada sebuah gitar.

Dikenal luas akan gaya musiknya yang memadukan gaya Timur dan Barat, improvisasi Marty Friedman mencakup genre progressive rock, metal, dan neo-classical. Seringkali dicap sebagai ‘shredder’, teknik dan kreativitas Marty terlihat melampaui klasifikasi tersebut. Kombinasi kord arpeggio dan customize scale dengan sweep picking serta gaya khas ‘circle picking’ memberikan Marty suara khas yang digemari banyak gitaris serta penggemarnya di seluruh dunia.

Selain bersama Megadeth pada periode 1990-2000, Marty Friedman juga sebelumnya dikenal lewat kolaborasinya bersama shredder Jason Becker di formasi Cacophony serta lebih dari selusin album solo. Di antaranya yang dianggap terbaik; “Dragon’s Kiss” (1988), “Scenes” (1992), “Introduction” (1994), “Music for Speeding” (2003), “Tokyo Jukebox” (2009), “Inferno” (2014) dan “Wall Of Sound” (2017). (mdy/MK01)

Kredit foto: Azhan Miraza