Masih berbekal kecintaan pada musik yang mengakar pada aliran blues dan rock dari era generasi bunga maupun setelahnya, The Flowers kembali menyambut matahari. Bertepatan dengan gelaran Synchronize Festival pada 6 Oktober 2019 lalu, unit rock ‘n roll asal Jakarta yang telah menggeliat sejak pertengahan era ‘90an ini resmi mencecar kuping lagi lewat karya rekaman album terbaru bertajuk “Roda-Roda Gila”.
Ya, distorsi kebisingan kembali menyalak di setiap lagu milik band jebolan komunitas Potlot tersebut. Nyanyian serak kembali diteriakkan, ditingkahi suara dram yang ditabuh lebih kencang, plus susupan lekukan tiupan saksofon di sana-sini. Tidak mau dikatakan bubar, band yang kini dihuni formasi Zaid “Njet” Barmansjah (vokal), Boris P. Simanjuntak (gitar), Dado Darmawan (dram) dan Eugen Bounty (saksofon) ini terus mencoba bertahan sembari perlahan mencari celah berkarya di antara kesibukan pribadi masing-masing personel yang menjaga agar perut tak didera lapar.
Kali ini, bagaimana konsep The Flowers dalam mengeksekusi materi album studio ketiganya tersebut?
“Kami mencoba untuk kembali mendekatkan pada proses pengerjaan album pertama,” tutur Boris kepada MUSIKERAS, mengungkapkan.
Album pertama yang dimaksud adalah “17 Tahun ke Atas” (1997) dengan single abadinya yang berjudul “Tolong Bu Dokter”. Metodenya adalah, setelah lagu tercipta dalam keadaan mentah, dimana hanya ada dasar notasi lagu, lirik atau pun kord dasar, langsung dibawa ke studio untuk dibahas bersama personel yang lain. Arti dari ‘dibahas’ di sini adalah setelah masing-masing personil ‘kenal’ akan lagunya, kemudian dibawakan secara ‘full band’, dengan berbasis jamming.
“Tentu ada poin-poin mendasar yang terkadang sudah ada di kepala sebelumnya, seperti riff gitar, intro dan sebagainya. Tetapi menangkap aransemen lagu secara utuh dari awal sampai habis dengan tetap mengandalkan spontanitas, itu lah, yang kami terapkan di sini. Karena setiap personel pasti akan mempunyai ide atau interpretasi masing-masing dari setiap lagu dasar dan dituangkan dalam proses jamming tadi,” lanjut Boris.
Namun bila jaman album pertama mereka harus merekamnya dalam pita kaset, sekarang mereka langsung mengabadikannya di perangkat ponsel. Khususnya bila usai jamming untuk aransemen suatu lagu sudah dirasakan selesai atau sudah bisa ‘dibungkus’. Baru kemudian Boris melanjutkannya di rumah untuk dibuatkan panduan isian gitar berdasarkan apa yang sudah terekam di ponsel tadi sebagai modal dan dasar untuk melakukan pengisian instrumen lainnya.
Menurut Boris, metode ini sangat berbeda dibanding saat The Flowers menggarap album kedua, “Still Alive & Well” (2010), dimana hampir seluruh lagu dikerjakan di rumah tanpa proses jamming. Langsung ‘ditulis’ di dalam komputer, dengan dibantu Dado Darmawan. “Gue mengerjakan sendiri proses aransemen sebuah lagu. Baru kemudian dibawa ke studio untuk merekam dram dan seterusnya. (Perekaman) Gitar, bass dan vokal sebagian di rumah gue.”
Dari sudut konsep musikal, konsep roh atau arah sound “Roda-Roda Gila” sendiri yang diinginkan adalah terdengar lebih ‘raw’ atau kasar dan berkesan ‘manggung’. “Selain dari alasan tak punya dana yang cukup untuk sewa studio yang mumpuni,” seru Boris blak-blakan.
Proses perekaman dram dilakukan di Borneo Beer House (Kemang), yang kebetulan milik beberapa kawan mereka. Salah satunya adalah Abi Borneo, yang kemudian berbaik hati memperbolehkan para personel The Flowers berkreasi di sana. Semuanya dieksekusi pada siang hari saat pengunjung dan para pekerja bar belum datang. Proses take untuk bass, sebagian gitar dan sebagian vokal juga dilakukan di tempat yang sama. Sisanya kembali dilakukan di rumah Boris.
“Jadi pengerjaan album ini bisa dibilang sangat ‘seadanya’, kalau tidak mau dikatakan nekat. Berbekal satu (outboard) mono preamp, 8 input converter relatif tua, laptop keluaran 2011, kami merekam dram dan lain-lain. Proses ini berjalan cukup lama. Gue rasa kami mulai sekitar tahun 2015. Kenapa begitu lama? Selain kesibukan masing-masing personel dalam menghidupi kebutuhan dapurnya, kendala biaya, tempat rekaman – yang karena menumpang tentu tidak bisa setiap saat kami bisa ke sana – dan beberapa drama kehidupan yang tidak bisa kami ceritakan di sini kecuali melalui lagu… hahaha. Dari pengalaman inilah kami namakan album kami ‘Roda-Roda Gila’, seperti judul lagu di dalam album yang akan menjadi single kami.”
Kembali ke rumusan musikalnya, The Flowers yang tercatat pernah menjadi band pembuka konser band grunge asal Amerika Serikat, Stone Temple Pilots di Jakarta pada 13 Maret 2011 silam, tidak menerapkan rumusan baku pada setiap proses kreatif lagu-lagunya. Acuannya cuma satu, yakni kebebasan. Semua berjalan dan mengalir sesuai perasaan, keadaan dan zaman yang berlaku pada saat proses bermusik itu terjadi. Karena yang baku bakal bisa ditawar dan menjadi ‘pagar pembatas’ dari ‘kebebasan’ tadi.
“Kami mempunyai dasar kesukaan terhadap musik yang sama yaitu musik rock yang tentunya berakar dari blues. Terutama era classic rock. Bila mau disederhanakan, mungkin, rock & roll atau blues dan rock; adalah deskripsi yang paling mudah untuk bisa diberikan terhadap musik yang kami mainkan.”
Kendati demikian, Boris mengakui ada satu hal yang membedakan musik The Flowers dibanding sebelumnya. Pembeda itu adalah kontribusi Eugen Bounty, dimana kali ini ia menggunakan saksofon jenis Tenor, bukan Alto seperti di penggarapan album kedua. Menurut mereka, sound Tenor dirasa lebih tepat. “Suara lebih berat, ada kasarnya tapi terdengar bahkan lebih seksi untuk The Flowers ketimbang menggunakan Alto.”
Ada tujuh komposisi lagu yang termuat di album “Roda-roda Gila”, yaitu “Bebek & Panda” yang berkolaborasi dengan musisi folk Jason Ranti, lalu “Ngehe”, “Tuhan Ikut Bernyanyi”, “Baby Blues Syndrome”, “Gue Pikir Loe Asyik”, “Bernyanyi Sampai Mati” dan “Roda-Roda Gila”. (mdy/MK01)
Kredit foto: Tebby Wibowo
Leave a Reply