Setelah Linkin Park, Dead By Sunrise dan Stone Temple Pilots, satu lagi jejak rekam mendiang Chester Bennington mengemuka di skena rock modern dunia. Grey Daze adalah band pertama Chester yang terbentuk di Phoenix, Arizona AS pada 1993 silam. Sebuah album rekaman bertajuk “Amends” yang menghadirkan suara Chester siap dirilis pada 26 Juni 2020 mendatang via label Loma Vista Recordings. Dan sejauh ini, empat single berjudul “What’s in the Eye”, “Sickness”, “Sometimes” dan “Soul Song” sudah diperdengarkan ke publik musik di seluruh dunia.
Sean Dowdell, dramer sekaligus pendiri Grey Daze menggarap 11 lagu yang terpilih untuk “Amends” bersama bassis Mace Bayers, gitaris Cristin Davis dan produser Jay Baumgardner di Salt Mine Studios dan NRG Recording Studios tahun lalu, dimana mereka memilih beberapa trek dari album-album Grey Daze sebelumnya, yakni “Wake Me” (1994) dan “…No Sun Today” (1997) yang telah diperbaharui, plus tiga trek berisi rekaman vokal terbaru Chester sebelum meninggal pada 20 Juli 2017 lalu.
Lebih jauh tentang “Amends”, berikut obrolan eksklusif MUSIKERAS dengan Sean Dowdell yang dilakukan via aplikasi Zoom pada Senin, 18 Mei 2020 lalu.
Apa saja yang bisa Anda ungkapkan tentang album “Amends”?
(Album ini) Sebuah karya musik masterpiece sejauh yang pernah kami ciptakan. Kami butuh dua setengah tahun untuk menghasilkan karya yang sangat istimewa. Album ini sangat emosional, jika Anda memiliki hubungan emosional dengan Chester selama ini, saya rasa bakal menyentuh Anda, sarat gairah, sangat banyak (ungkapan lirik) kecemasan, rasa sakit, kesedihan, amarah… seperti membawa kita ke pengembaraan yang emosional. Saya rasa album ini sangat istimewa, yang merekatkan kami di band ke level yang sangat mendalam.
Sejauh apa progres penggarapan album yang telah Anda kerjakan sebelum Chester meninggal dunia?
Saat Chester masih hidup, kami menggarap tiga lagu bersama produser, lalu kami bolak-balik melakukan perubahan-perubahan, pengembangan dan beberapa format secara musikal, serta aransemen dari lagu-lagunya, dan kirim-kiriman email dengan Chester, dan berdiskusi di telpon mengenai apa yang dia inginkan, lalu balik ke studio dan mengerjakan musiknya. Seperti itulah yang kami kerjakan untuk karya musik yang baru dengan Chester saat ia masih hidup….
Jadi bagaimana Anda menggambarkan konsep musikal di album secara keseluruhan?
Saya rasa penggambaran terbaik yang bisa saya berikan mengenai seperti apa musik di Grey Daze pada Anda adalah post modern grunge. (Tapi) Kami tidak terdengar seperti tipikal band grunge yang kalian kenal, seperti Pearl Jam, Nirvana, Stone Temple Pilots atau Alice in Chains, namun mereka tentunya memberi pengaruh terhadap bagaimana sound dari band ini. Seperti yang sudah saya bilang sebelumnya, band ini sangat gelap dan emosional, band ini secara jelas memperdengarkan kemampuan dan jangkauan vokal Chester, konteks emosionalnya sangat intens, dari segi style dan sound. Kenapa saya bilang modern karena kami banyak memasukkan (elemen) synthesizer, piano dan programming untuk menemani permainan dram, dan untuk mengisi banyak ruang, membuatnya tidak sekadar menjadi elemen rock yang simpel, (namun) lebih modern dan lebih relevan dengan skena musik hari ini.
Buat orang-orang yang mengenal Chester mungkin mereka berekspektasi (musiknya lebih terdengar) seperti Linkin Park….
Ya, ini tidak terdengar seperti Linkin Park, kecuali vokal Chester, kami ingin memastikan tidak terdengar seperti Linkin Park. Sesuatu yang benar-benar sangat berbeda, dan tentunya (jika sama dengan Linkin Park) bakal tidak adil buat mereka. Ini sesuatu yang sangat berbeda, sesuatu yang sangat dibanggakan oleh Chester, yang juga kami semua sangat banggakan, dan memiliki identitas tone-nya sendiri, memiliki nyawanya sendiri, hal-hal organik yang dibentuk oleh kami semua, dan kami semua bangga akan hal itu dan memastikan ini sama sekali tidak terdengar seperti Linkin Park.
Dari mana Anda mendapatkan gagasan untuk menghadirkan berbagai musisi tamu di album ini?
(Di album “Amends”, Grey Daze menghadirkan kontribusi dari Brian “Head” Welch dan James “Munky” Shaffer (Korn), Page Hamilton (Helmet), Chris Traynor (Bush, Helmet, Orange 9MM), penyanyi dan pencipta lagu LP atau Laura Pergolizzi, Jasen Rauch (Breaking Benjamin), Marcos Curiel (P.O.D.), Ryan Shuck (Orgy) dan putra kandung Chester, Jaime Bennington.)
Sekali lagi, ini semua terjadi sangat organik. Mereka semua adalah teman-teman Chester dan saya, dan selama menjalani proses pengerjaan albumnya, kami mulai membahas dan mulai menyadari bahwa banyak orang yang menyayangi Chester, orang-orang yang juga Chester sayangi, yang tak sempat mendapat kesempatan untuk bekerja sama. Dan jika ia masih hidup, ia akan dengan senang hati merekam lagu bersama Marcos Curiel dari P.O.D., dengan Head dan Munky dari Korn, atau melakukan duet dengan LP. Orang-orang itulah yang Chester – entah mengaguminya atau menyayanginya – bakal terjadi secara organik jika Chester masih di sini bersama kita….
Mari kembali ke masa awal Greay Daze, apa yang ada di benak Anda dari segi musikal saat pertama kali membentuknya?
Kami benar-benar tidak punya identitas saat memulainya, karena kami tidak punya waktu lama bersama, kami belum terlalu saling kenal satu sama lain. Jadi kami mulai memainkan lagu-lagu cover, seperti lagu-lagu Pearl Jam, Stone Temple Pilots, Nirvana… sambil mempelajari bagaimana berinteraksi di dalam band (ini) melalui lagu-lagu cover yang kami pelajari dan sukai secara kolektif. Begitulah kami memulainya, dengan mempelajari musik-musik orang lain….
Saat itu juga Anda pertama kali mendengar Chester bernyanyi ya? Dia menyanyikan lagu Pearl Jam…?
Ya saat dia datang ke audisi, dia menyanyikan lagu “Alive” dari Pearl Jam, dan dia menguasainya, dia terdengar sangat bagus, dia menguasai jangkauan nadanya, intensitasnya, dia bisa… saya tidak mau menyebutnya scream karena (saat itu) dia belum sampai di fase itu… tapi dia memiliki kemampuan berteriak yang lantang di usia yang masih sangat muda. Sangat mengesankan!
Berapa vokalis yang Anda audisi saat itu?
Kayaknya tiga atau empat orang ….
Dan Chester yang paling menonjol?
Dia mengejutkan kami semua, bahkan tidak bisa dibilang sebuah kontes…. (karena) kami sudah tahu menginginkan Chester untuk bergabung di band begitu dia mulai bernyanyi…
“Amends” menggabungkan materi lama kalian dengan yang baru, apakah itu benar?
Ya, ini sebuah album kompilasi dari berbagai materi yang kami kerjakan di beberapa album yang berbeda, kami menarik beberapa lagu… tak satu pun dari kami yang menyebutnya lagu-lagu terbaik, karena kami kehilangan beberapa lagu yang bagus dan tidak dimasukkan ke album ini karena kami pikir lagu-lagu tersebut tidak mewakili mood yang ingin kami ‘tangkap’ sebagai sebuah album. Kami benar-benar ingin menulis sebuah ‘album’ (yang sesungguhnya). Salah satu alasannya karena kami ingin ini menjadi masterpiece, sesuatu yang benar-benar kami kerjakan dengan sungguh-sungguh. Setiap lagunya memiliki identitasnya masing-masing, tapi jika melihat lagu-lagu tersebut secara menyeluruh, terasa seperti album dimana lagu-lagunya adalah satu kesatuan.
Apa lagu terfavorit Anda sejauh ini?
Saat ini lagu favorit saya adalah “Soul Song”, tapi saya harus bilang itu berubah setiap minggu. Sejauh ini yang paling saya suka adalah “The Syndrome”…. Sampai saat ini, terkadang ada banyak lagu yang – dengan alasan tertentu – sangat menyentuh saya secara emosional… (Lagu) “Shouting Out” mulai terasa seperti itu, jadi jika minggu depan Anda menanyakan lagu favorit saya kemungkinan saya akan menyebut “Shouting Out”…. Ini sesuatu yang berbeda, yang juga memiliki makna yang berbeda, yang terkadang menyentuh saya di level yang berbeda, dan saya lalu mengaitkan diri saya ke lagu tersebut. Itu juga salah satu alasan yang saya pikir, kami telah membuat sebuah album yang bagus, karena setiap lagunya membawa intensitas dan kemampuan untuk menarik Anda terhubung ke lagunya.
Apakah Anda sudah punya rencana selanjutnya setelah “Amends” dirilis?
Saya sering sekali mendapat pertanyaan tentang ini. Kami punya materi (lagu) yang cukup untuk membuat satu atau dua album. Tapi, kami ingin merilis album (“Amends”) ini terlebih dahulu dan melihat bagaimana orang-orang menyukainya…. Sejauh ini sih reaksi awalnya bagus, jadi kelihatannya sepertinya kami bakal merilis album berikutnya. Tapi semuanya tergantung bagaimana orang-orang menerimanya, apakah fans menyukai apa yang kami lakukan ini, dan jika fans menyukainya maka kami akan menggarap album selanjutnya. Tapi jika tidak, maka akan membutuhkan banyak waktu, banyak biaya, banyak usaha untuk mengeluarkan musik tersebut. Jadi kalau fans tidak menyukainya, mungkin tidak (dilanjutkan). Tapi sejauh ini keliahatannya semua orang menyukai apa yang telah mereka dengar.
Saya juga dengar banyak yang meminta kalian untuk mementaskan band ini di panggung dengan vokalis baru….
Yaa… kami memang mendapatkan banyak permintaan itu. Hanya ada dua cara untuk melakukannya. Pertama adalah menggantikan posisi Chester, yang mana bukan sesuatu yang ingin kami lakukan, kami tidak tertarik untuk melakukannya. Alasan kami melakukan ini semua adalah untuk menghormati sahabat kami, sebuah tribute untuk sahabat kami, kami melakukan album ini karena sahabat kami Chester. Jadi rasanya tidak tepat menyelesaikan album ini lalu berkata, ‘Oww inilah penyanyi baru kami!’ Sangat terasa tidak tepat. Satu-satunya cara kami bisa naik panggung adalah melakukannya sebagai tribute, mengajak beberapa penyanyi yang akan menyanyikan lagu-lagunya untuk Chester, membuatnya sebagai konser tribute untuk Chester. Itu satu-satunya cara untuk melakukannya.
Sean, bagaimana latar belakang Anda sendiri dari segi musik?
Pada awalnya, sebagai remaja, saya terpengaruh oleh band seperti Kiss, Motley Crue, Def Leppard dan Dokken, band-band seperti itu… Dan saat semakin dewasa saya mulai suka band seperti Depeche Mode, Alice in Chains, The Cure, Live dan band semacam itu. Saya mulai bermain dram saat berusia 17 tahun, membentuk band pertama saya bersama Chester, dan menghasilkan tiga karya rekaman bersama Chester, kayaknya dua di antaranya adalah EP (album mini), lalu kami merekam ulang untuk album ketiga. Lalu setelah Grey Daze bubar, saya membentuk band Waterface dan berhasil mendapatkan kontrak rekaman dengan EMI Records, dan menghasilkan satu album di bawah label tersebut. Grey Daze selalu menjadi hasrat saya dan sangat penting buat saya untuk merampungkannya.
Untuk mendengarkan wawancara Mudya Mustamin dari MUSIKERAS dengan Sean Dowdell secara lengkap, simak rekamannya di tautan video di bawah ini:
Kredit foto: Tom Preston / SAKIphotography
.
Leave a Reply