Akhirnya, Shroom Eater berhasil merampungkan materi album penuh keduanya, setelah tertunda selama sekitar empat tahun. Diberi judul “God of The Gaps”, merupakan album yang menguras emosi dan pikiran para personel band asal Kota Hujan, Bogor tersebut, dan juga melibatkan banyak sumber literatur, sumber referensi musik serta riset-riset lainnya.

Itulah beberapa alasan yang membuat waktu penggarapan “God of The Gaps” cukup lama. Sejak merilis lagu rilisan tunggal pembuka berjudul “Bending the Light” pada 8 September 2021 sampai akhirnya melepas album kedua ini, vokalis Raksa Kalam Nasution, gitaris Armando Adhi Hilman dan Erlangga Ibrahim serta bassis Yongki Aditya banyak menemui liku dalam menjalani proses kreatifnya. 

“Karena album ini mengambil tema mitologi, sejarah dan peradaban, maka perlu banyak referensi baca-baca buku hingga riset dengan mencari sumber-sumber lain,” papar pihak band kepada MUSIKERAS mengungkap alasan.

Lebih jauh, lirik “God of The Gaps” menelusuri masa sebelum manusia mengenal sudut pandang ilmiah. Setiap hal yang tidak bisa dijelaskan oleh nalar selalu berakhir di ranah spiritual, hingga pada akhirnya manusia memanifestasikan setiap kejadian alam atau sesuatu yang besar menjadi Tuhan. Namun pada perkembangannya, ketika manusia sudah mengenal ranah ilmiah dan memfungsikan nalar mereka, Tuhan-tuhan yang mereka buat itu dibunuh dan digantikan oleh rasionalisasi yang lain. Mulai dari teknologi hingga diri mereka sendiri. Meski demikian, selalu ada harapan bagi manusia untuk menemukan sebuah jawaban yang dapat memuaskan dahaga penasaran mereka dengan berpegang teguh pada jalan yang lurus. 

Secara musikal, judul “God of the Gaps” berasal dari berbagai ide yang dikelola para personel band bentukan 2013 silam ini bersama-sama, yang lantas dikombinasikan dengan musik, dan disesuaikan dengan tema cerita tiap lagu, agar lirik, musik, irama dan suasananya harmonis. “Dengan nuansa yang lebih gelap, mistik, serta alunan gitar, sentuhan bass dan tabuhan dram yang lebih kaya dari album sebelumnya, yang diselaraskan dengan irama vokal yang lebih variatif.”

Jika dibandingkan dengan materi album pertama Shroom Eater, yakni “Ad Inventum” yang diluncurkan pada 7 Agustus 2019 lalu, bisa dibilang “God of The Gaps” cenderung lebih menonjolkan pendewasaan materi. “Di album pertama, kami menyukai alur seperti garage rock dan psychedelic rock. Berbeda dengan album kedua kami. Di sini kami menyampurkan genre proto rock, proto doom, sludge dan heavy stoner,” urai mereka lagi, menegaskan.

Tantangan penggarapannya secara keseluruhan, secara teknis, diwakili lagu “Deathly Ashes”. Alasannya, di lagu ini mereka menemui banyak terapan proto rock dan proto doom yang tricky di isian dram, yang membuat mereka tertantang untuk menyelesaikannya. “Di bagian verse outro, riff gitar cukup membuat pegal memainkannya dan vokal yang cukup variatif dari awal sampai akhir lagu berhasil membuat kami kelelahan saat memainkannya!”

Namun berbeda dibanding kebutuhan tema lirik dimana banyak riset yang mereka jalani ketika menyiapkannya, dalam hal musik Shroom Eater justru mengakui sangat minim referensi yang dijadikan acuan. “Semenjak membuat band ini, rasa suka kami terhadap Black Sabbath, The Doors, Pearl Jam dan Wo Fat masih bisa dirasakan sampai saat ini.” 

Album “God of The Gaps” sudah bisa didengarkan via platform digital Spotify sejak 14 Maret 2024 lalu. (aug/MK02)

.