“Yngwie gokil…!!!!”
Itu ungkapan yang paling banyak dilontarkan para penonton yang didominasi gitaris, setelah menyaksikan suguhan konser para gitaris tingkat dewa bertajuk “Generation Axe: A Night of Guitars Asia Tour 2017” yang menghadirkan Yngwie Malmsteen, Steve Vai, Zakk Wylde, Nuno Bettencourt dan Tosin Abasi di Ecovention, Ancol Jakarta, semalam (21/4).
Tak bisa dipungkiri, Yngwie memang bintang malam itu, menjadi penampil yang paling dinantikan kehadirannya. Sosok gitaris asal Swedia tersebut selalu sensasional, seorang rock star dan gitaris virtuoso yang lekat akan imej arogan, namun diakui para gitaris sedunia sebagai peletak cetak biru permainan gitar shreding bergaya neo-classical metal yang lantas membuat reputasinya menjulang tinggi melebihi postur besar tubuhnya. Dan penampilannya malam itu – di luar permainan gitarnya yang tetap mencengangkan – benar-benar bisa membakar semangat ribuan penonton yang menyaksikan atraksi panggungnya. Melempar gitar ke kru atau ke udara, menendang, memutar-mutar bodi gitar atau dengan sengaja memutuskan senar-senar gitarnya menjadi atraksi yang sangat menghibur.
“Yngwie tetap maestro, powerful dan ganas walaupun sempat terganggu problem sound,” cetus DD Crow, gitaris ROXX yang berbaur di antara lautan gitaris yang tak berkedip menyaksikan suguhan langka Generation Axe.
Senada dengan DD, Imanine (gitaris dan vokalis J-Rocks), Irvan Borneo dan Stephan Santoso (Musikimia) juga mengungkapkan kekagumannya pada sang virtuoso. “Paling puas dan paling ditunggu tentunya Yngwie. Momen yang sangat berharga banget setelah penantian yang panjang. Yngwie is the best,” kata Imanine. “Yang paling gue tunggu memang Yngwie Malmsteen, meskipun penampilan dari empat gitaris lainnya juga sangat memukau,” timpal Irvan.
Bagi Stephan Santoso, ia pernah menjadi penggemar berat Yngwie saat masih duduk di bangku SMA, bahkan sampai mengejar konsernya ke Solo pada 1990 silam. “Penampilannya sampai sekarang hampir nggak berubah. Konsistensinya harus diacungi empat jempol,” tandasnya.
Dan malam itu, Stephan mendapat pengalaman sangat berharga dimana ia bisa menyaksikan penampilan Generation Axe dari balik panggung. “Meskipun pernah menonton penampilan live Yngwie, Nuno dan Steve Vai sebelumnya, tapi baru kemarin saya berkesempatan menyaksikan mereka dari jarak yang sangat dekat, dan juga melihat gear mereka dari atas panggung. Rasanya seperti kembali menjadi anak SMA!”
Konser “Generation Axe” yang digelar oleh promoter Original Productions itu sendiri dibuka lewat penampilan kelima gitaris membawakan lagu “Foreplay” milik band rock era ‘80an, Boston. Setelah itu, tongkat estafet show langsung diberikan kepada Tosin Abasi, guitar hero masa kini yang dikenal sebagai salah satu pelopor paham djent lewat bandnya yang ber-genre metal progresif instrumental, Animals As Leaders. Tanpa basa-basi Tosin langsung menggelontorkan komposisi cerdas bertajuk “Tempting Time”, “Air Chrysalis” dan “Woven Web”.
Sayangnya, penampilan Tosin yang sebenarnya sangat unik seolah hanya menjadi bahan uji coba bagi soundman untuk mencari formula sound yang tepat untuk konser tersebut. Bahkan ketika Nuno Bettencourt tampil di sesi berikutnya, problema sound tetap tak teratasi. “Di bagian awal-awal, sound Tosin dan Nuno terdengar tajam dan frekuensinya kurang pas di telinga. Pas Zakk (baru) mulai enak soundnya,” seru Imanine menyayangkan.
Nuno sendiri, menurut Stephan, tak hanya menghadapi kendala sound yang di luar ekspektasi. Peranti tambahan yang ia minta ke pihak promoter beberapa jam sebelum show, yakni mikrofon Sennheiser MD421 yang memang tak ada di daftar riders-nya, terlambat tersedia.
“Kebetulan saya punya di studio saya, dan saya minta dikirim ke venue. Tapi berhubung lalu lintas macet, jadi baru sampai saat Nuno sudah mulai main. Mik saya baru dipakai Nuno saat para gitaris bermain bersama di dua lagu terakhir,” ungkap Stephan.
Tapi terlepas dari kendala sound, di mata DD, penampilan Nuno sangat bagus, walaupun dia bukan tipikal gitaris solo. “Dia tetap bisa menghibur dan kharisma bad boy-nya tetap keren.”

Secara keseluruhan, Irvan Borneo juga memuji penampilan para dewa gitar tersebut. “Warna dan style yang beragam. Gue banyak mendapatkan energi dan spirit dari mereka.”
Nuno malam itu antara lain membawakan komposisi “Get the Funk Out”, selipan lagu bonus “More Than Words”, “Midnight Express” serta sebuah format medley yang menjalin deretan riff tema dari lagu-lagu hit bandnya, Extreme seperti “He-Man Woman Hater” yang diselipi intro “Flight of the Wounded Bumblebee”, “Cupid’s Dead” dan “Rest in Peace”. Zakk Wylde sendiri tampil sangar lewat gelontoran nomor cover milik Black Sabbath, “N.I.B.” dan “War Pigs” yang memang kerap ia geber bersama Zakk Sabbath (band yang dibentuk Zakk khusus untuk cover lagu-lagu Black Sabbath) serta “Little Wing” (Jimi Hendrix).
Steve Vai, seperti biasa tampil elegan dengan pola permainan yang presisi lewat komposisi “Racing the World”, “Gravity Storm”, “For the Love of God” dan berduet dengan Yngwie membawakan lagu “Black Star”. Yngwie sendiri yang tampil setelah Steve Vai menggeber panggung dengan bekal durasi dan lagu terbanyak di antara empat gitaris lainnya. Di antaranya ada komposisi “Far Beyond the Sun” yang diselipi komposisi klasikal “Adagio” (Samuel Barber), “Overture”, “Trilogy” dan “Echo” serta potongan nomor klasikal “Badinerie” (Bach). Di akhir konser, para gitaris (tanpa Yngwie) lantas menggeber nomor “Frankenstein” (Edgar Winter) dan “Highway Star” (Deep Purple) dimana Yngwie muncul lagi bermain gitar sambil bernyanyi.
Lebih jauh tentang proyek “Generation Axe”, berikut tanya jawab eksklusif via email yang dilakukan MUSIKERAS dengan Yngwie Malmsteen pada 3 Maret 2017 lalu:
Bagaimana Anda bisa terlibat di Generation Axe dan bagaimana kesan awal Anda?
Saya telah berteman dengan Steve Vai dan Zakk Wylde selama bertahun-tahun. Steve mengundang saya secara pribadi ke proyek Generation Axe dan benar-benar berjalan dengan sangat alami.
Saat kelima gitaris berkumpul pertama kalinya untuk latihan, bagaimana kondisinya? Apakah banyak kejutan?
Semuanya berlangsung sangat lancar, tak ada kejutan apa pun. Seluruh gitaris sangat ahli dalam bidangnya masing-masing.
Apakah Anda merasa ada persaingan saat bermain solo di panggung bersama-sama?
Saya tak pernah melihatnya dari sisi itu. Saya hanya melakukan apa yang saya miliki, dan saya pikir gitaris lainnya juga melihatnya seperti saya… musik bukan kompetisi, tapi lebih ke ekspresi.
Dari segi gitar, Anda telah mengenal Steve Vai selama kurang lebih 30 tahun. Dan juga Zakk dan Nuno selama beberapa tahun. Tapi bagaimana dengan Tosin Abasi, apa yang bisa Anda katakan tentang dia?
Saya pertama kali mendengar Tosin dengan Animals As Leaders tak berapa lama sebelum proyek Generation Axe dimulai. Tapi saat itu juga, saya pikir musiknya sangat menarik. Gayanya unik.
Apakah Anda ikut memilih musisi yang menjadi band pengiring Generation Axe? Karena sangat krusial, bukan?
Tidak. Hal itu lebih banyak ditangani pihak manajemen.
Apa keuntungan dari keterlibatan Anda di proyek Generation Axe terhadap sejarah karir Anda sendiri?
Generation Axe sangat menarik dan bisa membawa musik saya tidak hanya pada satu audiens, tapi ke empat audiens baru yang sebelumnya mungkin saja tak pernah mendengar musik saya.
Adakah kemungkinan tur (Generation Axe) ini berlanjut ke arah yang lebih jauh, misalnya perilisan album?
Kami benar-benar belum membahasnya, but you never know.
Apa pandangan Anda tentang dunia gitar saat ini?
Seperti yang selalu saya lakukan, saya tidak pernah mengikuti apa yang baru atau sedang ‘trendy‘… (saya) hanya melakukan apa yang saya miliki.
(Mudya Mustamin)

Kredit foto: Budi Susanto & Putut Wahono Guritno
 
			 
												 
												 
												 
												 
				 
						 
						 
						