BODY COUNT Kembali Lontarkan Kemarahan Lewat “Bloodlust”

Unit heavy metal bernuansa gangster, Body Count akhirnya terusik dan bangkit kembali untuk menumpahkan amarah dan protes terhadap berbagai isu sensitif dan ketidakadilan yang terjadi di jalanan, khususnya di Amerika Serikat. Semuanya ditumpahkan lewat sebuah album bertajuk “Bloodlust” yang telah dirilis akhir Maret 2017 lalu via label Century Media Records.

Body Count yang dimotori rapper legendaris dan aktor, Ice-T (vokal) dan Ernie C (gitar) plus dukungan Sean E Sean (sampler), Vincent Price (bass), Ill Will (dram), Juan of the Dead (gitar) dan Little Ice (vokal latar) menggarap “Bloodlust” bersama Will Putney, produser yang sebelumnya juga menggarap album Body Count yang bertajuk “Manslaughter” (2014).

Di album ini pula, Body Count mengajak beberapa ikon metal untuk berkolaborasi. Ada permainan gitar Dave Mustaine (Megadeth) di lagu “Civil War”, tarikan vokal Max Cavalera (Soulfly) di lagu “All Love Is Lost” dan geraman Randy Blythe di nomor “Walk With Me”. Selain itu, ada pula satu trek dimana Body Count mendaur ulang dua lagu milik Slayer, yakni “Postmortem” dan “Raining Blood” yang dilebur menjadi satu komposisi. Sejauh ini, Body Count telah meluncurkan dua single dari “Bloodlust”, yakni “No Lives Matter” dan “Black Hoodie”.

Tentang cerita yang digambarkan di video “Black Hoodie”, Ice-T berseru: “Hal-hal seperti ini terjadi setiap hari dan tak ada orang yang peduli dan tidak tersiar di berita. Video ini sudah berbicara dengan sendirinya.”

Sebagian besar lontaran lirik yang tertuang di “Bloodlust”, menurut Ice-T yang saat ini dikenal sebagai pemeran detektif Odafin Tutuola dari New York Police Department (NYPD) di serial TV “Law & Order: Special Victims Unit” tayangan NBC, adalah tumpahan kekesalan terhadap orang-orang di sekelilingnya yang tak lagi saling peduli terhadap situasi sosial di sekelilingnya.

“Sekarang kita berurusan dengan generasi yang tak pernah tahu apa itu marah. Mereka tumbuh di era Obama (mantan Presiden AS) dan semakin kalem. Saya akan mengatakan apa yang saya rasakan tentang kebusukan-kebusukan, begitulah saya dan akan selalu begitu, dan coba kita lihat apakah orang-orang akan merasa kesal atau tidak. Saya mungkin punya karir akting, tapi hati saya masih di luar sana dan saya bilang orang-orang di luar sana kebanyakan pengecut. What the fuck!?! Mereka bodoh dan tidak menyadari itu. Saya ingin orang-orang bangkit dan membuka matanya lebar-lebar. Polisi telah menembaki banyak remaja dan berkilah bahwa pelakunya kulit putih – bukan kulit putih, tapi para polisi itu (pelakunya)! Masalah rasis sangat nyata di sini, dan bukan itu yang saya angkat di sini (album ini). Saya bernyanyi untuk audiens kulit putih penggemar saya dan membuat mereka tahu bahwa saya menganggap mereka sebagai sekutu, dan saya bernyanyi untuk penggemar saya yang berkulit hitam dan mengatakan kepada mereka untuk mengadili orang jahat atas perbuatannya.”

Body Count terbentuk di Los Angeles, California, pada 1990, digagas oleh Ice-T dan Ernie C yang memang sangat tertarik pada musik metal, yang lantas menggabungkannya dengan elemen rap. Dua tahun kemudian, mereka merilis album debut self-tittled yang kontroversial via Sire Records, dimana salah satu lagunya yang bertajuk “Cop Killer” membuat jajaran kepolisian di Amerika meradang dan menuduh lagu tersebut provokatif, bisa memicu kerusuhan dan kebencian terhadap polisi. Setelah album self-tittled, sejauh ini Body Count juga telah merilis album “Born Dead” (1994), “Violent Demise: The Last Days” (1997), “Murder 4 Hire” (2006), “Manslaughter” (2014) dan “Bloodlust”.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts