Kerikil Tajam Darurat Iklim. Musisi Bisa Apa?

Jilid ketiga dari album kompilasi sonic/panic sebagai bagian dari kampanye global ‘No Music On A Dead Planet’ akan dirilis bulan depan.
sonic/panic
Sampul album sonic/panic Vol.3

sonic/panic Vol. 3 akan dirilis via Alarm Records pada 1 November 2025 mendatang, bertepatan dengan gelaran IKLIM Fest. Kali ini berkolaborasi dengan festival musik tahunan terbesar di Indonesia timur, Rock In Celebes di Makassar.

Ya, IKLIM Fest kembali melanjutkan komitmennya untuk menghadirkan festival musik pertama di Indonesia yang ramah lingkungan dan peduli iklim. Menggabungkan protokol penggunaan kembali serta penanaman pohon untuk mengimbangi emisi.

Pada pelaksanaannya pertama kali pada 2023 lalu, festival ini berhasil mencegah lebih dari 3.300 kemasan makanan dan gelas sekali pakai berakhir di TPA.

IKLIM (The Indonesian Climate Communications, Arts & Music Lab) sendiri yang terbentuk pada 2023 lalu merupakan sebuah kolektif musisi dan seniman yang peduli terhadap isu iklim. Diproklamirkan dengan tujuan untuk mengajak masyarakat agar peduli dan mengarusutamakan isu krisis iklim lewat seni dan musik.

Sebagai bagian dari kampanye global Music Declares Emergency yang dikenal dengan slogan “No Music On A Dead Planet”, sonic/panic Vol. 3 menegaskan kembali keyakinan bahwa musik memiliki kekuatan untuk menyuarakan urgensi krisis iklim secara kreatif, inklusif, dan menggugah.

Mengapa isu krisis iklim dianggap darurat?

Menurut data yang diungkapkan Agam Subarkah, seorang cendekia iklim saat berbicara di lokakarya IKLIM yang berlangsung di Georgetown SFS Asia Pacific, The Plaza Office Tower, Jakarta pada 1-2 Oktober 2025 lalu, kini lebih dari 110 juta orang di sekitar 60 kota di Indonesia terdampak perubahan iklim saat ini.

Menurut data dari BNPB (Badan Nasional Penanggulangan Bencana), disebutkan bahwa 98% dari total bencana yang terjadi di Indonesia terkait iklim.

Lalu masyarakat miskin di daerah terpencil juga menjadi rentan terhadap risiko karena bergantung pada sumber daya alam yang kian terancam. Stok ikan berkurang, hutan yang rusak, perubahan curah hujan dan suhu yang diperkirakan berdampak negatif terhadap mata pencaharian masyarakat pedesaan, yang di sisi lain juga mendorong ketidakstabilan harga pangan.

Pulau Mentawai di Sumatera Barat contohnya, terkena dampak deforestasi yang semakin parah. Mereka semakin kesulitan mencari air bersih dan kerap terkena banjir akibat banyak lahan yang diserobot hingga penebangan kayu yang merusak lingkungan darat dan laut.

Belum lagi penambangan batu bara yang semakin menjadi-jadi. Menurut Wira A. Swadana, climate action senior lead WRI (World Resources Institute) Indonesia, sampai saat ini batu bara masih menjadi sumber energi primer untuk kebutuhan listrik dan sistem pemanas lainnya. Mencapai 40% dari keseluruhan sumber energi yang ada.

“Tapi emisi yang dihasilkan semakin meningkat, ada korelasi perubahan iklim semakin memburuk. Tapi kita tidak bisa mengurangi penggunaan batubara,” urai Wira.

Indonesia sendiri merupakan salah satu penghasil emisi gas rumah kaca terbesar di dunia, meskipun memiliki potensi besar dalam pengembangan energi terbarukan.

Namun, ketergantungan pada batu bara masih tinggi, dengan produksi mencapai rekor pada 2024. Presiden Prabowo telah menyatakan komitmen untuk mempercepat target emisi nol bersih (net zero emission/NZE) dari 2060 ke 2050, serta menghentikan operasional seluruh pembangkit batu bara pada 2040.

Tapi sayangnya, implementasi kebijakan transisi energi masih berjalan lambat. Industri pemurnian nikel, yang mendukung rantai pasok kendaraan listrik global, masih bergantung pada listrik berbahan bakar batu bara.

Data analisis Lauri Myllyvirta dari Centre for Research on Energy and Clean Air yang berpusat di Finlandia pada 2023 menyebutkan, bahwa pada 2022, sekitar 10.500 kematian dan kerugian kesehatan sebesar USD 7.4 miliar akibat pengaruh polusi udara dari penggunaan listrik dari batu bara.

Sementara menurut kesimpulan penelitian dari AQLI UChicago, diprediksi bahwa jika manusia keluar rumah di kawasan Jabodetabek tanpa mengenakan masker, maka 2,3 tahun dari usianya akan menghilang!

Separah itu!

Tak lebih baik dari batu bara, pertambangan nikel juga memupuk kerusakan lingkungan, yang diikuti konflik masalah lahan dan kesehatan warga yang terdampak. Nikel menjadi anugerah sekaligus kutukan bagi manusia.

Banyak perusahaan pengelola nikel yang masih sangat mengesampingkan keseimbangan lingkungan, hak-hak warga sekitar hingga keselamatan para buruhnya.

Sebenarnya, ada usaha untuk mencari sumber energi alternatif. Misalnya dengan pemanfaatan energi hijau (green energy). Bisa menggantikan bio fosil (biofuel) misalnya, yang dipastikan akan habis dan tak tergantikan.

Tapi mengalihkannya ke energi hijau bukan tanpa masalah juga. Menjadi dilematis karena pengadaannya butuh lahan yang luas untuk terus berproduksi. Ujung-ujungnya, kembali menimbulkan konflik dengan masyarakat penghuni lahan serta perusakan lingkungan. 

Dandhy Laksono dari WatchdoC Documentary menyebutnya dengan istilah “bahaya laten hijau”. Semua ada dampak negatif dalam pengoperasiannya yang kerap sarat kekerasan.

“Kerusakan yang hanya bisa terjadi karena ada kerjasama pemerintah dengan perusahaan-perusahaan pengelola, bukan oleh masyarakat. Demi mengejar pajaknya. Padahal seharusnya negara yang membantu pihak-pihak yang mau merestorasi hutan.”

Musisi bisa apa dalam isu ini?

Walau bisa dibilang masih berskala kecil, namun di sinilah gerakan musisi dan seniman diharapkan bisa ikut bersuara lewat corong masing-masing.

“Musisi dan seniman adalah corong. Mereka merespon apa yang sedang terjadi saat itu,” ujar Gede Robi Supriyanto, vokalis dan gitaris band rock asal Bali, Navicula.

sonic/panic
Robi “Navicula”

“Adanya perubahan iklim di generasi kita, (maka) seniman harus membahas isu itu. Karena intinya, kita lihat banyak arah pembangunan, (namun) kontras dengan niat untuk memperbaiki iklim,” imbuh salah satu inisiator IKLIM tersebut.

Robi berharap, lewat gerakan IKLIM, target yang ingin dicapai adalah bagaimana musik bisa punya value. Jadi selain menghasilkan musik, di sisi lain bagaimana bisa menyampaikan isu itu ke publik, berkolaborasi dengan pihak penyuplai data.

“Kalau digabung berbagai pihak seperti akademisi dengan musisi), bisa terjadi perubahan besar. Musisi bergerak dengan hati, akademisi dengan data. Musisi menjadi penggerak aksi iklim, menyuarakan ‘darurat iklim’, no music on a dead planet!”

Walk the Talk

Sejak awal, sebelum perilisan album sonic/panic, para musisi dan band yang telah berpartisipasi sejauh ini harus menjalani lokakarya di Ubud, Bali. Ada proses pengayaan, berbagi pengetahuan yang lebih banyak terkonsentrasi pada hal-hal yang terkait lingkungan.

Menurut Cholil Mahmud, penggerak utama band Efek Rumah Kaca, yang ditekankan bukan lagi masalah bagaimana membuat lagu di lokakarya tersebut. Karena bagi musisi, itu makanan sehari-hari.

“Yang berat adalah bagaimana menjalankan apa yang mereka tulis (di lirik), terhadap kehidupan sehari-hari. We walk the talk. Itu yang paling berat,” cetusnya, sambil memberi contoh kasus mundurnya beberapa band dari acara musik Pestapora pada September 2025 lalu, yang rupanya disponsori oleh perusahaan pertambangan raksasa, PT. Freeport Indonesia.

“Sebagai movement perlu punya kesatuan tindakan. Mengeluarkan pendapat harus bertanggung jawab. Jika tidak siap yang berskala besar, mulailah dari yang kecil karena ternyata pesan bisa sampai/diterima pendengar jika ia melihat musisinya juga bertanggung jawab terhadap lirik-lirik yang ia sampaikan.”

Usman Hamid, vokalis Usman and The Blackstones yang ikut terlibat di sonic/panic Vol. 3 menambahkan bahwa setelah bertahun-tahun terlibat dalam advokasi tradisional, demonstrasi, menulis opini, hingga bertemu pejabat, ia melihat cara-cara yang selama ini dilakukan ternyata sering menemui kebuntuan.

“Kata-kata dan data tidak selalu mampu menggugah mereka yang memegang kekuasaan. Musik bisa jadi jalan baru, karena ia tidak hanya bicara soal estetika, tapi juga membawa emotional persuasion yang kuat.”

sonic/panic
Para pendukung album sonic/panic Vol.3 di konferensi pers (2/10)

sonic/panic Vol. 3 sendiri menghadirkan 15 lagu dari 15 musisi lintas genre di Indonesia. Antara lain didukung Ave the Artist, Bunyi Waktu Luang, Chicco Jerikho, Egi Virgiawan, Kunto Aji, Majelis Lidah Berduri, Manja, Peach, Reality Club, Scaller, Sukatani, Teddy Adhitya, The Brandals, The Melting Minds dan Usman and The Blackstones.

Album tersebut menandai edisi ketiga dari seri kompilasi sonic/panic, setelah dua edisi sebelumnya – dirilis pada 2023 dan 2024 – yang secara keseluruhan telah melibatkan 43 musisi dan band dari 13 provinsi di Indonesia.

sonic/panic bukan hanya sebuah karya musik, melainkan sebuah alarm kolektif untuk menghadapi krisis iklim yang semakin nyata dan mendorong kebijakan lingkungan yang kerap tak berpihak pada bumi. (mudya mustamin/MK01)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts