JOGJAROCKARTA FEST 2025: Happy ‘Epic’ Ending!

Tahun ini, JogjaROCKarta Festival tak ingin melawan waktu, dan menutup bab panjang sejarah kecadasannya lewat cara yang megah.
jogjarockarta
Foto-foto: Dok. JogjaROCKarta Fest

JogjaROCKarta Festival (JRF) 2025 telah sukses digelar selama dua hari di akhir pekan, 6-7 Desember lalu, di Stadion Kridosono, Yogyakarta.

Pesta musik cadas berskala internasional itu, kali ini tampil menggelegar, meriah, penuh energi dan kegembiraan, walau tanpa penampilan salah satu bintang utamanya, Helloween.

Pembatalan legenda power metal kebangsaan Jerman tersebut diumumkan secara resmi melalui pernyataan manajemen band yang dirilis di akun Instagram resminya.

Founder Rajawali Indonesia, Anas Alimi, mengatakan bahwa kesehatan musisi adalah prioritas utama, namun festival tetap dipersembahkan secara maksimal sebagai bentuk komitmen kepada para penggemar.

“Vokalis Helloween, Michael Kiske, mengalami acute pharyngolaryngotracheitis juga disertai asthmatic dyspnea dan bronchitis, sehingga diwajibkan menjalani istirahat total oleh dokter,” tutur Anas, pada Senin (8/12) lalu.

Imbas sakitnya tersebut, ia menambahkan, seluruh rangkaian tur Helloween di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, Malaysia dan Taiwan, terpaksa dibatalkan.

Dalam pernyataannya, Helloween menyampaikan permohonan maaf kepada para penggemar dan berharap dapat kembali menyapa Asia Tenggara melalui rangkaian 40th Anniversary Tour pada 2026.

Ketidakhadiran Helloween yang seharusnya menjadi penampil pamungkas di hari pertama (Day 1), cukup berdampak bagi para penggemar beratnya di Indonesia.

Pasalnya, band tersebut dijadwalkan tampil dengan formasi ‘Pumpkin’s United’ yang sudah sangat dinanti. Formasi klasik yang diperkuat dua personel lawas, yakni vokalis Michael Kiske dan gitaris Kai Hansen.

Keduanya bersatu dengan lima punggawa Helloween lainnya; gitaris Michael Weikath dan Sasha Gerstner, bassis Markus Grosskopf, vokalis Andi Deris serta dramer Daniel Loble.

Belum lama ini, tepatnya pada 29 Agustus 2025 lalu, formasi itu juga telah merilis album studio terbaru bertajuk “Giants & Monsters”.

Jogja Istimewa

Sejak edisi awal hingga gelaran terakhir ini, para penampil JogjaROCKarta selalu didominasi oleh band lawas sehingga nuansa ‘old school’ begitu melekat di perhelatan akbar musik cadas besutan promotor Rajawali Indonesia tersebut.

Bahkan di hari pertama, disuguhkan penampilan empat band legenda rock Indonesia, yakni Kaisar (Solo), Rolland band (Yogyakarta), Andromedha (Surabaya) dan Jamrud (Cimahi).

Day 1 dibuka oleh penampilan keren dari Zealous, band glam rock asal Manado, Sulawesi Utara, salah satu pemenang seleksi program Band Submission.

Band muda pelestari kejayaan ’80’s hair band’ tersebut berhasil menyuri perhatian ribuan penonton. Khususnya ketika sang vokalis/gitaris, Mario Lukas ‘Opop’ Lonta melakukan aksi fenomenal dengan memanjat tiang panggung dan kemudian memainkan solo gitar sambil bergelayut di tiang tersebut. Gokil!

Selanjutnya, giliran Kaisar dengan menampilkan vokalis orisinalnya, Banhasir Lumbanraja yang menghentak panggung lewat nomor-nomor klasiknya seperti “Garis-Garis Bintang” dan “Kerangka Langit”.

Band penyandang gelar Juara 1 Festival Rock se-Indonesia (1991) versi promotor Log Zhelebour tersebut sukses menghibur para penggemar rock lawas.

Nostalgia rock ’80 dan ’90-an terus berlanjut oleh penampilan Rolland band, pionir heavy metal ‘Jogja Istimewa’ yang sempat dijuluki ‘Judas Priest-nya Indonesia”.

Band yang berkiprah sejak pertengahan ’80-an ini menggeber nomor-nomor klasiknya seperti “Teror” dan “Roda Kehidupan”. Namun mereka juga menyelipkan nomor balada dengan meng-cover lagu “Huma Di Atas Bukit” milik God Bless.

Classic Rock Trinity

Sejak siang hari hingga sore, langit Kridosono tampak muram dan meneteskan rintik-rintik hujan sedikit demi sedikit sehingga banyak penonton yang mengenakan jas hujan. Rasa khawatir akan turun hujan deras sepertinya ada di benak tiap orang yang berpijak di tanah Kridosono.

Namun syukurlah, setelah jeda azan Magrib yang dikumandangkan melalui layar besar panggung secara syahdu, gerimis hujan berhenti total dan langit kembali cerah.

Suatu anugrah alam yang bersahabat memberikan ruang dan waktu kepada JogjaROCKarta untuk menuntaskan hajatnya.

Kondisi itu menjadi berkah bagi Andromedha. Penampilan spektakuler mereka selanjutnya, benar-benar melengkapi ‘Classic Rock Trinity’ Indonesia yang menolak tua, bersama Kaisar dan Rolland Band.

Unit rock yang cukup teknikal kelahiran Surabaya, Jawa Timur ini tampil prima dengan dukungan tata suara dan cahaya yang dahsyat. Ribuan penggemar rock lintas generasi dibuat takjub oleh aksi panggung mereka yang rapih dan solid.

Gempuran komposisi yang teknikal namun melodius dan memprovokasi untuk headbanging digeber melalui sederet nomor andalannya seperti “Emosi” dan lantas membuai lewat komposisi balada tenarnya, “Lamunan”.

Usai Andromedha, Rebellion Rose sebagai perwakilan punk rock masa kini tampil memukau yang turut menghadirkan beberapa vokalis tamu.

Band Yogyakarta yang terbentuk sejak 2008 ini seperti biasa menjadikan aksi panggungnya sebagai mimbar untuk menyuarakan kritik sosial dan pesan-pesan pemberdayaan.

Pergerakan mosh pit lantas tercipta oleh para penggemarnya yang ber-sing along di sepanjang penampilan mereka.

Babi Neraka

Salah satu ‘highlight’ Day 1 tentunya, adalah aksi beringas dari Down For Life. Para pendekar metalcore kebanggaan kota Solo, Jawa Tengah ini sukses ‘membakar’ JogjaROCKarta dengan gempuran setlist yang mayoritas diambil dari album teranyarnya, “Kalatidha”.

Album yang baru saja berhasil memenangkan kategori Best Metal Album 2025 dari ajang penghargaan bergengsi, AMI Awards 2025.

Di sepanjang performanya, layar LED panggung terus menampilkan visual yang sarat pesan sosial-lingkungan tentang kerusakan alam, ketidakadilan, dan krisis moral di ‘zaman edan’ (Kalatidha) berdasarkan budaya Jawa.

Pesan simbolik itu diperkuat pula dengan orasi lantang sang frontman, Stephanus Adjie yang menggaungkan kritikan tajam seputar isu perampasan tanah adat hingga kebijakan industri ekstraktif dari pemerintah.

Alhasil, ribuan ‘Pasukan Babi Neraka’ (sebutan bagi para pemuja Down For Life) dan metalhead lainnya pun melebur dalam pusaran circle pit yang brutal serta aksi ‘Wall of Death’ yang seru.

Beberapa metalhead juga terlihat menyalakan flare selama beraksi liar di circle pit yang membuat momen tersebut benar-benar menyala. Merefleksikan kobaran semangat sekaligus mewakili kemarahan rakyat terhadap ketidakadilan sosial dan kerusakan hutan.

‘Kebijakan’ pemerintah yang akhirnya memicu banjir bandang dan longsor di tiga provinsi di Sumatera, yang menelan korban jiwa dan luka berkepanjangan.

Down For Life adalah band terakhir yang mendadak diundang tampil setelah pengumuman pembatalan Helloween.

“Kami bukan pengganti Helloween. Kami diundang untuk mengamankan rundown JogjaROCKarta,” seru Adjie menegaskan kepada penonton.

Kehadiran Down For Life pun semakin memperkokoh narasi ‘Mataram is Rock’, yaitu persaudaraan musisi rock dari Solo dan Yogyakarta hingga Surabaya.

Setelah dibombardir oleh Down For Life, penampilan Jamrud yang garang sekaligus humoris cukup menghangatkan suasana malam itu.

Para penggemar band rock paling sukses secara komersil tersebut terhibur maksimal oleh gelontoran hit mereka. Dari yang keras seperti “Waktuku Mandi”, “Putri”, “Asal British” hingga yang menggelitik seperti “Surti Tejo”, “Ningrat” dan balada “Pelangi Di Matamu”. Penampilan Jamrud memang tidak pernah gagal meninggalkan impresi.

Lupakan Helloween

Setelah Helloween batal, posisi Ugly Kid Joe bergeser menjadi penampil pengunci Day 1. Tapi performa band heavy metal legendaris yang musiknya sarat bauran elemen punk rock, funk dan hard rock ini, tak disangka, ternyata sungguh memukau.

Mengingat band bentukan Isla Vista, California, AS ini seperti sudah kehilangan taringnya pasca masa kejayaannya di dekade ’90-an melalui dua album peraih sertifikat Double Platinum, “As Ugly As They Wanna Be” (1991) dan “America’s Least Wanted” (1992).

Jadi lupakan Helloween. Meski rata-rata usia para personelnya sudah mendekati 60 tahun, energi lima punggawa Ugly Kid Joe terlihat prima di sepanjang konsernya.

Mereka melampiaskan 18 lagu yang sukses digeber tanpa cacat dengan tata suara yang jernih sekaligus menampar telinga.

Dibuka oleh salah satu hit lawasnya, “Neighbor” dan ditutup oleh mega hit yang mengantarkan band tersebut ke kancah rock mainstream. Apalagi kalau bukan “Everything About You” yang enerjik.

Namun selain lagu-lagu tadi, Ugly Kid Joe juga banyak menggeber lagu keren dari album-album lainnya yang kurang familiar di telinga penonton. Untungnya, band ini punya Whitfield Crane, vokalisnya yang jempolan!

Selain kualitas suaranya masih prima seperti yang kita dengar di versi rekaman, sang frontman juga sangat komunikatif dan piawai membuat penonton terus semangat.

Di antara deretan setlist malam itu, mereka memberikan kejutan berupa dua lagu cover sebagai bonus, yakni “Paranoid” (Black Sabbath) yang memang sering mereka bawakan di panggung, serta“Ace of Spades”, lagu tenar Motörhead yang mereka abadikan di album “Uglier Than They Used ta Be” (2015).

Ugly Kid Joe still kick ass! Ribuan penonton pun kemudian bubaran pulang dengan hati puas!

JogjaROCKarta Finale

Sejak delapan tahun lalu, tepatnya pada 2017, JogjaROCKarta Fest telah mengguncang kancah musik rock Indonesia. Entitas ini menjadi festival yang menjanjikan energi dan semangat rock dari Yogyakarta ke seluruh penjuru Tanah Air.

Pada Jumat (5/12), dalam konferensi pers yang berlangsung di tempat nongkrong klasik anak-anak Yogyakarta, Legend Coffee, Rajawali Indonesia sebagai penggagas dan penyelenggara resmi mengumumkan bahwa JRF 2025 akan menjadi edisi terakhir yang digelar.

“Perjalanan JRF sudah cukup. Kami berhenti tidak karena sudah habis ide, tetapi karena tidak ingin melawan waktu,” ujar sang founder, Anas Alimi.

Tahun ini, dengan tema The Majesty of Rock, Crowned in Jogja, JogjaROCKarta ingin menutup bab panjang sejarah musik cadas di Yogyakarta dengan cara paling megah.

Tidak hanya lewat suara dan distorsi, tapi juga lewat identitas visual dan panggung monumental.

Edisi pamungkasnya memastikan line-up lintas generasi dan benua. Tak hanya band internasional, penyelenggara juga memberi ruang bagi generasi lokal, lewat band dari berbagai kota dan era.

Mulai dari band legendaris 1980–1990-an hingga band-band muda yang lahir dan tumbuh bersama gelombang musik cadas di Nusantara.

Edisi terakhir itu juga sekaligus menandai perpisahan Stadion Kridosono sebagai venue bersejarah yang telah menjadi rumah bagi salah satu festival musik cadas terbesar di Indonesia ini.

Stadion tersebut bakal diubah fungsi menjadi Ruang Terbuka Hijau (RTH) setelah pengembalian asetnya ke Keraton Yogyakarta sejak Januari 2025.

JogjaROCKarta Fest 2025 juga menjadi momen emosional karena merupakan penyelenggaraan terakhir yang dilangsungkan di Stadion Kridosono. Venue legendaris ini telah ikut menjadi saksi sejarah perjalanan panjang salah satu festival rock terbesar tersebut.

Gempuran Deathcore

Lanjut. Sama seperti hari pertama, panggung Day 2 menjadi mimbar dengan tensi yang beringas.

Mosh pit menggila sejak siang hingga malam, penampilan band-band nasional menjadikan panggung sebagai ruang penyampai kegelisahan sosial dan kemanusiaan.

Semangat solidaritas tak hanya berhenti di atas panggung. JogaROCKarta juga membuka program lelang gitar milik Scott Ian, gitaris Anthrax. Sebuah instrumen bersejarah dari ikon Big Four Thrash Metal dunia.

Seluruh hasil lelang didonasikan untuk membantu para korban bencana banjir yang saat ini terjadi di Aceh, Sumatra Utara dan Barat.

Penampilan eksplosif Anthrax sebagai penutup festival dengan raungan gergaji riff dan energi brutalnya menjadi suatu manifestasi bahwa musik cadas dapat menjadi kekuatan pemersatu di tengah krisis kemanusiaan.

Day 2 lebih dulu dibuka oleh penampilan BIAS, band heavy rock asal Yogyakarta, salah satu pemenang seleksi program Band Submission.

Disusul oleh penampilan asyik dari The Panturas, band surf rock asal Bandung, sebelum panggung diakuisisi oleh pasukan punk rock asal Jakarta, Marjinal.

Band ini ‘bercengkrama’ dengan para penggemarnya melalui lagu-lagu yang sarat kritik sosial.

Namun mosh pit menjadi lebih pecah dan brutal ketika Infernal Lamentations mengambil alih panggung.

Supergrup deathcore yang digerakkan oleh vokalis Agustinus Widi (Haunted Era, eks-Deadsquad/Death Vomit) dan tiga musisi virtuoso, yakni gitaris Gung Sincan (Ludicia), dramer Oki Fadlan (Jasad) dan bassis terbarunya, Shadu Shah (ILP, eks-Deadsquad).

Sore hingga jelang Magrib, mereka sukses menciptakan circle pit yang chaos!

Tetapi suasana brutal itu kemudian diturunkan tensinya lewat penampilan tenang dan emosional dari Usman and The Blackstones yang menggandeng Gugun Blues Shelter. Aktivis Usman Hamid bersama band kolaborasinya ini memadukan paham hard rock dan blues.

Mereka membawakan sejumlah lagu yang sarat kritik tajam, di antaranya “Payung Hitam” dan “Munir” yang menyoroti kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) , serta “Bumi dan Aku Kini”, “Rempang” dan “Rain” yang mengangkat isu lingkungan dan krisis iklim.

Lalu lagu andalan “Sakongsa” tentang praktik judi dan penegakan hukum juga dibawakan.

jogjarockarta
LOUDNESS

‘Rehat’ Mongolia

Salah satu penampilan yang paling ditunggu malam itu adalah Loudness, legenda heavy metal kebangsaan Jepang. Band ini diperkuat formasi gitaris Akira Takasaki, vokalis Minoru Niihara, bassis Masayoshi Yamashita dan dramer Masayuki Suzuki.

Di usia mereka yang 60 tahunan, Loudness layak disebut ‘tua-tua keladi’ lantaran penampilannya yang masih energik dan prima.

Mereka mencecar lewat 11 lagu, dimana empat di antaranya diambil dari album “Thunder in the East” (1985) seperti “Crazy Nights”, “Like Hell”, “Clockwork Toy” dan “Heavy Chain”.

Aksi gitaris virtuoso Akira Takasaki terlihat sangat menonjol dengan solo-solo shredding-nya yang sadis. Selain itu juga didukung oleh level sound gitarnya yang terdengar lebih besar ketimbang dentuman dram.

Loudness sukses menuntaskan dahaga para penggemarnya hingga lagu penutup konser bertajuk “S.D.I.”.

Posisi jadwal penampilan The Hu sebelum Anthrax adalah keputusan yang tepat. Walau secara hierarkis, slot itu sebenarnya lebih pantas diberikan kepada Loudness.

Tapi bayangkan jika Loudness berada di posisi tersebut, maka energi penonton yang sebelumnya sudah mereka kuras bisa kewalahan saat harus menghadapi terjangan energi buas Anthrax.

Dengan penampilan The Hu, penonton bisa rehat sejenak menghimpun energi untuk penampil berikutnya.

Tempo musik lagu-lagu band folk metal asal Mongolia ini tidak terlalu menyedot energi lantaran lebih didominasi permainan instrumentasi tradisional ketimbang distorsi gitar.

Penampilan kedua mereka di JogjaROCKarta ini kembali memukau penonton. Meski tidak ada yang mengerti makna liriknya yang berbahasa Mongolia, penonton tetap terhibur oleh alunan dan nuansa musiknya.

Apalagi juga diperkuat oleh visual kostum para personelnya yang bernuansa Kekaisaran Mongolia era Genghis Khan.

What an Epic Ending!

Sekitar pukul 22:35 WIB, massa penonton terlihat semakin padat memenuhi arena Kridosono, bersiap-siap menyambut kemunculan Anthrax di atas panggung.

Usai video intro, satu per satu dari lima punggawa legenda thrash metal asal New York City, AS ini menyapa penonton; Joey Belladonna (vokal), Scott Ian (gitar), Charlie Benante (dram), Frank Bello (bass) dan Jonathan Donais (gitar).

Entah bagaimana semesta mengaturnya, penampilan Anthrax di JogjaROCKarta terakhir ini juga merupakan jadwal tur penutup mereka di 2025.

Mungkin karena alasan itu, Anthrax menyiapkan setlist spesial bermuatan 14 lagu yang bisa dibilang 99% ‘fan’s favorite’.

Mulai dari lagu pembukanya, “A.I.R.”, disusul “Got the Time” yang menyulut circle pit brutal dan terus berkobar hingga di lagu berikutnya, “Caught in a Mosh” yang memang didesain untuk memantik api semangat di mosh pit.

Mereka juga lantas dua lagu lawas, yakni “Madhouse” dan “Metal Thrashing Mad”.

Lagu berikutnya, diambil dari barisan rilisan belakangan, seperti “Fight ‘Em Til’ You Can’t” dari album “Worship Music” (2011), dimana pola riff-nya mirip lagu “Gridlock” dari album “Persistence of Time” (1990).

Mereka juga menggeber lagu “Breathing Lighting” dari album terakhirnya, “For All Kings” (2016).

Setelah itu, Anthrax kembali memprovokasi penonton untuk lebih banyak bergerak dengan iringan lagu-lagu lawas yang populer. Mulai dari “Keep It in the Family”, “Be All End All”, “Medusa” hingga “I Am the Law”.

Dipikir-pikir, Anthrax cukup ‘kurang ajar’. Mereka sama sekali tidak memberi ruang kendor bagi penonton untuk sekadar menarik nafas. Seolah tak peduli dengan kelelahan penonton yang telah hadir dan terus bergerak sejak siang.

Tetapi momentum bersenang-senang bersama Anthrax tidak datang setiap tahun. Dan yang terpenting, momen ini adalah gelaran JogjaROCKarta yang terakhir dan MUSIKERAS harus merayakannya bersama ribuan massa rock dan metal se-Indonesia yang hadir dari berbagai kota.

Bahkan tidak sedikit turis asing yang turut hadir dan larut dalam euforia pesta perpisahan tersebut. Jadi, persetan dengan hari esok, mari kita masuk ke mosh pit dan rayakan!

jogjarockarta
JOEY BELLADONNA (ANTHRAX)

Sebelum menggeber lagu “Anti Social” yang anthemic dengan banyak seruan sing along, Anthrax menyulut pemanasan dengan menggeber “I’m the Man”.

Lagu ini merupakan karya rap metal rilisan Desember 1987 silam yang memparodikan gaya grup rap rock legendaris, Beastie Boys.

Usai lagu yang posisi vokal rapnya dibebankan ke Frank Bello dan Scott Ian ini, semua personel Anthrax menyelinap ke balik panggung. Tentu saja untuk memancing teriakan encore bertubi-tubi.

Setelah kembali ke hadapan penonton, Charlie Benante langsung memainkan gebukan dram intro lagu “Indians”, dan penonton pun langsung memasang kuda-kuda membentuk circle pit.

Lagu ini menjadi puncak kegilaan dan kegembiraan di JogjaROCKarta. Saat tiba di bagian riff yang ikonik setelah teriakan “War Dance!” dari Scott, tiba-tiba Charlie berhenti memainkan dramnya.

Scott kemudian bercuap lantang, “Charlie tidak puas dengan circle pit kalian, karena hanya penonton yang di bagian tengah yang sepertinya bersenang-senang, sedangkan di bagian sana kurang. Ayolah bergerak! Saya tidak peduli kalian mau melompat-lompat seperti monyet atau hanya headbanging, yang penting kalian harus bergerak! Mari kita coba lagi, okay!?”

Setelah teriakan “War Dance!” kedua kali ini, ukuran circle pit semakin besar dan para penonton pun berlari berputar lebih cepat. Brutal!

“Indians” menjadi lagu pamungkas penampilan klimaks Anthrax yang sekaligus menandai berakhirnya perjalanan luar biasa JogjaROCKarta. What an epic ending!

Terima kasih Anthrax dan terima kasih JogjaROCKarta Festival yang telah mewujudkan impian dan menghibur para insan musik rock Indonesia selama ini.

Penutupan festival tersebut bagaikan sebuah ‘Memento Mori’ yang berarti ‘Ingatlah Kamu Pasti Akan Mati’, bahwa tidak ada yang abadi di dunia ini. Hanya semangat rock yang dapat terus menyala di keabadian. (Bimo D. Samyayogi/MK04).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts