Ya, rentang satu dekade sejak melepas album “DGNR8” (2011) rupanya sama sekali tidak menumpulkan ketajaman berandalan rock asal Jakarta ini dalam beropini. Pun meski kini tanpa diperkuat dua personel yang mengawal The Brandals sejak terbentuk pada 2001 silam, yakni gitaris Tony Dwi Setiaji dan dramer Rully Annash.
“Secara tematik, The Brandals selalu mencoba untuk memprovokasi pendengar untuk mengevaluasi dan memproses lingkungan atau kondisi sekeliling. Walaupun mungkin belum bebas bersikap atau mengambil tindakan, setidaknya bisa beropini dan menyuarakan pendapat. Lagu kami bertindak sebagai cermin yang memperlihatkan wajah pendengar yang sebenarnya. Mungkin bukan sebagai solusi tapi mempertanyakan apa yang akan menjadi respon atau reaksi mereka dari masalah yang ada. Jadi benang merahnya: provokasi!”
Demikian seruan vokalis Eka Annash kepada MUSIKERAS, mengenai konsep bandnya. Bahkan bisa dibilang, album terbaru The Brandals yang bertajuk “Era Agressor” disebut-sebut sebagai karya rekaman mereka yang paling tajam dan sarat dengan kritik sosial dibanding rilisan sebelumnya.
Dalam masa 10 tahun terakhir, The Brandals telah melalui banyak fase dan peristiwa yang nyaris merontokkan mereka. Mengalami stagnansi dan hiatus di 2014, lalu terpukul oleh wafatnya Rully Annash pada 2015, dan yang terakhir mundurnya gitaris Tony Dwi Setiaji akhir 2020 lalu.
Namun elemen paling signifikan yang dilalui Eka Annash, PM Mulyadi (gitar), Raditya Syaharzam (bass) dan Firman Zaenudin (dram) serta juga semua lapisan masyarakat sekeliling mereka adalah dinamika berbagai peristiwa yang terjadi di kancah sosial politik Indonesia. Dalam pandangan The Brandals, sejak 2011 hingga 2021, negara kita telah melalui berbagai titik penting yang hampir membelah persatuan dan kesatuan warganya. Poin pemilihan Presiden RI pada 2014 dan 2019 lalu merupakan titik krusial yang mengadu domba dua kubu oposisi. Lalu ada berbagai macam kasus kekerasan berbasis militer, agama dan antar golongan. Juga perusakan alam berukuran masif yang terus bergulir sampai sekarang. Isu korupsi, oligarki, nepotisme, dan manipulasi publik makin eksplisit. Belum lagi musibah pandemi yang melanda dua tahun belakangan ini.
Semua faktor di atas mempengaruhi The Brandals sebagai musisi untuk merefleksikan kondisi tersebut di dalam album terbarunya. Beberapa lagu di album – termasuk “Preambule” yang dijadikan single pembuka – memberi ilustrasi bagaimana jika kondisinya makin memburuk dan akhirnya menuju desktruksi massal. “Era Agressor” adalah album yang lahir dari era kekerasan tersebut.
Mangacu pada demo musik yang telah disimpan sejak 2014, pengerjaan album “Era Agressor” lantas mulai efektif dilakukan pada 2017. Bergabungnya Firman Zaenudin membantu proses lahirnya lagu-lagu baru dengan karakter berbeda. Ada nuansa post-punk di lagu berjudul “Momentum”, pengaruh Motown soul di “Back Pages” serta juga funk di lagu “Into Madness”.
.
.
Dengan formasi baru, diakui Eka, sempat membuatnya cukup sulit melakukan adaptasi. Terutama dalam proses saling mengenal karakter, berkompromi dan mengontrol ego. “Juga manajemen waktu dimana setiap individu punya tuntutan jadwal dan prioritas masing-masing yang harus diselaraskan untuk kepentingan bersama.”
Sementara dalam proses peracikan komposisi, The Brandals juga menemui tantangan menarik, khususnya saat menggodok lagu “Way Down Below” dan “Back Pages”. Mereka agak kesulitan untuk menentukan komposisi yang pas, dan berusaha untuk keluar dari pola yang sudah ada. “Sampai akhirnya (kami) dibantu oleh produser Jonathan Pardede dan Bernadus Fritz (dari duo Sunmantra) yang membantu saat proses rekaman. Modus operandi The Brandals selalu berusaha untuk tidak hanya mengulang apa yang sudah pernah dilakukan.”
Dalam eksekusi produksinya, “Era Agressor” yang beramunisikan 10 lagu juga mendapat bantuan dari produser Jonathan Mono dan Petra Sihombing di lagu “Retorika”. Sementara proses mixing dan mastering dipercayakan kepada Harmoko Aguswan. Untuk desain grafis serta ilustrasi sampul album kembali dibantu oleh seniman muda asal Yogyakarta, Dhito Saputro yang sudah terlibat pengerjaan beberapa sampul single The Brandals sejak perilisan “The Truth is Coming Out” (Okober 2020) dan “Belum Padam” (Maret 2021).
Selain itu, album ini juga melibatkan kolaborasi dengan beberapa musisi sahabat The Brandals seperti John Coki Patton (Kelompok Penerbang Roket) yang bernyanyi di lagu “Kafir”. Lalu ada pula Ramondo Gascaro menyumbang ketukan groove klavinet dan kibord di lagu “Into Madness”. Pianis kawakan Dharmo Sudirman juga berkontribusi di lagu “Back Pages” serta “Suara Rumah Rakyat”. Lalu trio Fleur (Tanya Ditaputri, Yuyi Trirachma, Tika Pramesti) ikut meramaikan suara latar di lagu “Into Madness”, Henry Foundation memberi nuansa elektronik dengan suara modular serta musisi tamu istimewa, Fajar Merah yang membaca puisi “Bunga dan Tembok” karya Wiji Thukul (ayahnya sendiri) di lagu “Suara Rumah Rakyat”.
Secara musikalitas, “Era Agressor” merangkum spektrum musik The Brandals era awal sampai kelanjutan babak setelah “DGNR8”. Di depertemen lirik, Eka Annash kembali menunjukkan kompetensinya yang makin terasah menulis berbagai tematik. Namun dalam pelaksanaannya, Eka mengakui biasanya baru merampungkan lirik secara detail setelah musik terbentuk.
“Sampai sekarang metode penulisan lirik di The Brandals mengikuti musik. Jadi biasanya musik lahir dari jamming dulu, lalu dikerjakan bersama komposisi dan aransemen. Setelah itu baru lirik ditulis. Untuk gue sebagai penulis lirik biasanya udah ada ide atau tematik lagunya tentang apa dari awal, walaupun belum detail. Biasanya dilengkapi sebelum sesi take vokal karena justru perlu tendangan adrenalin untuk menulis sampai versi akhir,” urai Eka terus-terang.
Album “Era Agressor” sudah resmi dirilis sejak seminggu lalu via Disaster Records, dalam format cakram padat (CD). Informasi selengkapnya bisa ditemui di akun Instagram @thebrndls. (mudya/MK01)