CASSADAGA Kumandangkan “R.E.D”, Baur Eksplorasi Rock dan Tradisi Bali

“Kami mendeskripsikan musik kami, pondasinya rock yang juga meleburkan beberapa genre lain kayak doom, jazz, psychedelic, blues dan kami juga bereksperimen dengan memasukkan nuansa atau aura tradisional Bali dan sedikit adaptasi Arabic.” 

Kira-kira begitu kesimpulan yang dicetuskan unit experimental rock asal Bali ini, tentang konsep musik yang mereka terapkan di karya rekaman terbarunya, yang bertajuk “R.E.D” (Rebirth. End. Death). Album penuh tersebut diedarkan dalam format fisik (CD) melalui label independen, Skullism Records sejak akhir Juni 2022 lalu.

“R.E.D” merupakan penantian Cassadaga yang panjang, dari proses yang panjang. Terhitung sejak proses rekaman pada pertengahan 2019 yang dilakukan secara mandiri, tepatnya di rumah salah satu personel, mulai digulirkan. Eksekusi rekaman seluruh trek dilakukan di rumah vokalis dan gitaris Cassadaga, Arya Oka. Tapi khusus vokal, rekamannnya dirampungkan di Rockness Music Studio. Begitu juga untuk penataan dan pelarasan suara (mixing dan mastering).

Cassadaga yang juga diperkuat Artha Yoga (bass) dan Angga Surya (dram) menggarap “R.E.D” dengan memaksimalkan alat-alat seadanya, sambil melakukan beberapa eksperimen tata cara perekaman instrumen. Penggarapan sampul album pun mereka lakukan sendiri, bermain dengan kain dan eksperimen pewarnaan yang menghasilkan pola-pola pada sampul album yang berbeda antar sampul satu dengan lainnya. 

Judul “R.E.D” sendiri dipilih karena tema lirik lagu-lagunya memang menceritakan imajinasi para personel Cassadaga mengenai ‘kelahiran kembali’ (reinkarnasi), akhir dari kehidupan, dan kematian, dengan segala hal yang mempengaruhi imajinasi tersebut. Tentunya pengaruh dasar berasal dari lingkungan religius dan budaya yang kental di Bali. Proses pembuatan komposisi dari setiap lagu banyak terpengaruh dari band-band modern yang dipadukan dengan nuansa-nuansa musik lokal Bali yang diadaptasikan ke instrumen modern.

.

.

“Kalau referansi musik ada banyak, dan tiap personel pun punya referensi masing-masing. Jadi waktu menggarap materi ya ngeblend aja, jamming gitu sesuai dengan gaya permainannya masing-masing. Tapi kalau mengerucut ke album, kami rasa ada beberapa band yang mempengaruhi kayak Pink Floyd, Led Zeppelin, Kadavar, Black Sabbath, King Gizzard and the Lizard Wizard dan (band lokal) Sigmun,” urai pihak band kepada MUSIKERAS memperjelas.

Dari sembilan komposisi yang menjadi amunisi “R.E.D”, Cassadaga menyebut lagu “Bhuvana I”, “Bhuvana II” serta “Jamuga” yang tersulit eksekusi teknisnya saat rekaman. Dua judul pertama, menurut Cassadaga, merupakan lagu yang paling muda di antara yang lainnya.

“Aransemennya bagi kami lumayan kompleks dan waktu penyempurnaannya juga singkat banget. Kalau ‘Jamuga’ itu kesulitannya ada di perekaman vokal, karena ada perubahan formasi personel, jadi perlu ada penyesuaian vokal.”

Bukan hanya di rekaman. Saat membawakannya di penampilan panggung juga butuh tantangan tersendiri, mengingat mereka hanya bertiga. “Dengan materi di setiap lagunya yang kayak gitu dan dibawa live, kami sangat kesulitan. Untungnya kami dapat bantuan Artha Wibawa dari Concise,” seru pihak band lagi, terus-terang.

Berawal dari pertemanan sejak bangku SMA di Denpasar, bisa dibilang karir Cassadaga mulai bergulir pada 2014 silam. Tidak butuh waktu terlalu lama, mereka berhasil menelurkan karya rekaman pada 2016, berupa lagu rilisan tunggal berjudul “Black A Man” dan “Stuck In The Wrong Job”, lalu “B.L.U.R (Believe Live is UR’s)” berselang setahun kemudian. Pada 2017, Cassadaga berhasil merilis sebuah album mini (EP) bertajuk “Human Stare” yang diproduksi sendiri. Untuk mempromosikannya, mereka menggelar serangkaian konser dalam paket “Human Stare Java Tour” tahun itu juga. Dalam kesempatan itu, Cassadaga menyambangi tiga kota, yakni Malang, Bandung dan Jakarta. (mdy/MK01)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts