Watch People Die yang menggeliat dari Bandung, Jawa Barat ini juga melampiaskan ekspresi kemuakan terhadap situasi politik Tanah Air hari ini, lewat karya rekaman yang memuat 13 amunisi panas nan brutal berdurasi 16 menit 44 detik tersebut.
Contoh paling anarkis ada di komposisi lagu bertajuk cukup tabu; “I want to see Herry Wirawan death by autoerotic asphyxiation”.
Sebuah kemarahan yang bisa Anda bayangkan tentang apa yang sebenarnya ingin disampaikan oleh Watch People Die.
Mereka tidak hanya marah terhadap koruptor. Dalam liriknya, mereka minta anak dan ibu para koruptor juga ditembak mati. Juga, mereka marah kepada para ormas, kepada para ulama Su’, para parasit skena, kepada Nazi-zionis, bahkan kepada para tetangga yang rese’!
Perlawanan Mincecore
Sementara dari sisi musikal, “Mincing The Faces Of Social Parasites” adalah ungkapan kebosanan terhadap musik keras yang dieksekusi terlalu sempurna.
Di sini, band bentukan 2023 lalu ini tidak menyemburkan grindcore yang cepat nan disiplin, namun justru memilih jalur berlawanan, yang mereka sebut dengan nama Mincecore.
Terinspirasi langsung dari Haggus (AS), Agathocles (Belgia), Archagathus (Kanada) hingga Charles Bronson (AS), mincecore merupakan sub-genre perlawanan dari grindcore yang sudah terlalu teknis.
Watch People Die mengemas musik mereka menggunakan suara-suara yang anarkis. EP yang direkam di Noise Garage Studio pada Oktober 2024 lalu dan dirilis via Cikapayang Idea Record tersebut tanpa tuntunan metronom, jadi terdengar mentah, penuh noise dan bocoran di sana-sini.
Para personel band ini – yang menggunakan nama Andri Was Mince (vokal), Viddy Drum (dram) dan Ibra Cadaver (gitar) ini juga menerapkan penggunaan pedal efek pitch shifter untuk menjadikan vokalnya terdengar seperti monster yang sedang muntah. Serupa dengan band panutannya, Haggus dan Archagathus.
Tidak ketinggalan, mereka juga menggunakan snare drum ukuran kecil, yang membuat suaranya terdengar berdentang seperti kaleng yang sedang dipukul.
Mutilasi Menantang
Lagu-lagu yang termuat di “Mincing The Faces Of Social Parasites” lahir dari ritual yang biasa dilakukan Andri, Viddy dan Ibra, dimana mereka saling melempar referensi musik serta keresahan-keresahan.
Dari obrolan tersebut, urai mereka kepada MUSIKERAS, lalu menghasilkan ide riff gitar atau cuapan vokal di rumah masing-masing.
“Riff dan cuapan tadi, biasanya kami kirim ke grup. Lalu nantinya kalo ada riff atau cuapan yang disepakati akan dimasukkan ke dalam lagu. Kami proses di studio dan dikasih judul lagu.”
Sedangkan untuk hal teknis, lanjut mereka lagi, mereka menghindari penggunaan software untuk mengakali minimnya pendanaan produksi. Jadi jauh sebelum rekaman, mereka banyak mengakali tone instrumen menggunakan pedal.
“Demi menyulap suara gitar jazz agar terdengar gahar, mengakali suara vokal agar terdengar seperti monster yang lagi muntah dan mengulik drum snare yang murah agar terdengar seperti kaleng yang dipukul. This is ain’t DIY, we sold our lives to live Mincecore!”
Mengapa memilih untuk menggeber paham mincecore?
“(Karena) Kami bosen dituntut memainkan musik yang terlalu perfect. Tapi pada akhirnya malah membuat kami tidak produktif karena menghadapi berbagai macam drama demi mengejar tuntutan tadi.”
Buat mereka, yang terpenting bukan pamer kemampuan teknis atau ideologi. Mereka hanya ingin produktif dan marah-marah. Itu saja! terbukti, walau baru berusia dua tahun, namun mereka telah mengantongi 28 lagu. Dan 18 di antaranya bahkan telah direkam.
“Progres kami yang bagus atau tatanan masyarakat kita yang bermasalah,” seloroh band ini sedikit bercanda.
Walau cenderung menjauhi kesempurnaan teknis, namun dari 13 lagu yang disuguhkan di EP, Watch People Die mengakui “Surade 240808 Termutilasi” sebagai lagu yang cukup membuat mereka tertantang dalam pengeksekusiannya di rekaman.
Di liriknya, lagu itu menceritakan kisah nyata seorang kakek yang dimutilasi ODGJ (Orang dengan Gangguan Jiwa). Direkam sekitar pukul 11 malam, di ruangan yang luas dengan latar belakang hitam. Rasanya kayak sang kakek datang dan hadir.
“Akibatnya, pas ngisi vokal sangat menantang. karena harus teriak dengan power yang kuat sambil menahan rasa takut, hehehe!”
Lantas, karena sang dramer terbilang malas berolahraga, tapi rajin ngopi dan rebahan, maka tentunya trek lagu yang banyak menerapkan teknik blasting tersebut sangat menantang baginya.
“Sehingga setiap track yang banyak blasting-nya harus disimpan di awal rekaman, demi power yang tetap terjaga. Tapi nggak nyangka, walau tanpa metronom, ternyata keseluruhan instrumen di EP ini bisa direkam kurang dari dua shift!”
Sedangkan untuk gitaris Ibra, tantangan yang ia hadapi lebih ke urusan mental, lantaran dia masih duduk di bangku sekolah dan ini pertama kalinya ia melakukan rekaman.
Walau telah merilis sebuah EP, bukan berarti Watch People Die bisa beristirahat dan menanti efek domino dari muntahan lirik-liriknya. Karena saat ini, mereka juga tengah menyiapkan perilisan sebuah album split bersama band asal Jepang dan Rusia.
Sejauh ini materi untuk album split bersama band Jepang sudah selesai direkam, tinggal menyisakan rekaman materi untuk album bersama band Rusia. Dan mereka menragetkan semuanya sudah bisa diperdengarkan secara resmi ke publik metalhead sebelum 2025 berakhir.
EP “Mincing The Faces Of Social Parasites” sendiri sudah tersedia dalam format digital di kanal Bandcamp (klik tautannya di sini), dan tidak dirilis via Spotify. Oleh pihak Cikapayang Idea Records, EP itu juga diedarkan dalam bentuk kaset pita dalam jumlah terbatas. (mdy/MK01)