BRADFORD: Modern Hardcore yang Menyayat Hati?

Untuk menyambut perilisan album ketiganya, Bradford mulai menyicil lagu-lagu unggulannya. Salah satunya mengumbar lirik kelam korban Covid-19.
bradford

Bradford sedang menyiapkan amunisi untuk album ketiganya. Dan sebagai pemanasan, unit modern/melodic hardcore asal bandung, Jawa Barat ini telah mendaratkan sebuah karya rilisan tunggal bertajuk “Misery of Losing Pain” sebagai titik awal.

Di lagu itu, Bradford mengungkapkan kisah kematian seseorang yang terjadi pada saat pandemi Covid-19 lalu, dengan esensi yang emosional dan mendalam. Tuturan liriknya mewakili kisah nyata dari sebuah wawancara eksklusif bersama yang terdampak. Karena di balik semua itu, terdapat pro kontra kondisi pada saat itu.

Para personelnya, yakni vokalis dan komposer Arvin Renaldy, gitaris Alif Rizaldy dan Rizky Adi Amarullah yang juga merangkap sebagai pengolah mixing dan mastering, bassis Willy Rizky Herdian serta dramer Deri Hendri merampungkan proses rekamannya hanya dalam satu malam. Mereka merekamnya di markas sendiri, sehingga waktu yang terpakai lebih fleksibel.

Dibanding karya rekaman mereka sebelumnya, seperti album “My Earth Not Hear” yang dirilis pada 31 Agustus 2017 serta album mini (EP) “The Impact of Complexity” yang dilepas pada 28 Januari 2023, kali ini Bradford menerapkan konsep musik yang sedikit berbeda.

Kali ini mereka mencoba membuat instumentasi yang bergaya modern dan membutuhkan alat MIDI Controller lain ketika dimainkan di panggung.

“Mungkin agar lebih mengisi suasana saja dengan tambahan sequenser, yang mana tidak ada di album sebelumnya,” seru pihak band kepada MUSIKERAS, menegaskan. 

Selain itu, dalam peracikan aransemen “Misery of Losing Pain”, band bentukan 2013 silam ini mengakui tak menetapkan referensi atau acuan band tertentu dari mana pun. Semuanya sangat acak dan tidak ada yang lebih intimate.

“Selain mengolah kemampuan personel masing masing, kami masih bertumpu pada album pertama dan kedua, yang mungkin dikemas secara berbeda saja. Ada referensi lagu alternatif dan shoegaze yang kami gabungkan, meski hasilnya menjadi modern hardcore.” 

Di luar urusan aransemen, justru penulisan liriklah yang disebut Bradford lebih mendatangkan tantangan saat penulisannya. Karena lirik yang ditulis adalah hasil observasi langsung di lapangan. Sebuah hasil wawancara nyata.

“Kami mencoba mengolah data dan mencari hal-hal yang menyayat hati karena dampak dari Covid, hingga (rasa) kehilangan seseorang atau keluarga. Kesulitannya adalah proses di lapangan dan menyusun sebuah cerita yang nyata menjadi lirik, yang (lantas) dipadukan dengan instrumen modern hardcore,” urai Bradford terus-terang.

Usai perilisan “Misery of Losing Pain”, Bradford telah merencanakan bakal menyicil peluncuran materi untuk album ketiga, yang sebenarnya sudah berada di tahap final.

“Akan dikeluarkan semuanya satu persatu, agar lebih banyak di dengar. Tinggal mengatur momen dan waktu saja, karena semuanya sudah selesai porsesnya.”

Sejak 20 Maret 2025 lalu, “Misery of Losing Pain” sudah bisa digeber via berbagai digital streaming platform. (mdy/MK01)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts
worthless
Read More

WORTHLESS: Dari Rasa Sakit Menjadi Duka

Dengan formasi terkini, Worthless tunjukkan kematangan dalam meramu karya yang penuh intensitas, lewat sebuah album mini (EP) terbaru.