Sunlotus telah menuangkan ekspresi kehilangan, kehampaan dan kerinduan kepada suatu entitas, lewat sebuah lagu baru berjudul “Self Bondage”.
Dibalut dengan karakter khas mereka, unit shoegaze/alt-rock asal Yogyakarta yang dihuni vokalis/gitaris Made Dharma, gitaris Dzul Fawaid Ahmad dan dramer Bagus Pratama ini memainkan perasaan dengan dinamika crescendo antara clean dan distorsi gitar, juga dengan gaya vokal yang lebih ekspresif dibandingkan dengan karya-karya Sunlotus sebelumnya.
“Self Bondage” sendiri direkam para personel Sunlotus di studio Watchtower Records, yang berletak di Bantul, Yogyakarta, dengan menggandeng partner studio kawakan mereka, Yuda ‘Bable’ Sagala, sebagai teknisi tata suara.
Sementara untuk pemolesan mastering dipercayakan kepada Zac Montez di Time Well Recordings yang berlokasi di Chicago, Illinois, AS. Zac juga dikenal pernah mengerjakan karya-karya dari beberapa band shoegaze macam Cloakroom, Keep, No Sun hingga Whirr.
Khusus kepada MUSIKERAS, Sunlotus – yang diwakili oleh Made Dharma – mengulas tentang proses kreatif di balik penggarapan “Self Bondage” dan “Behind Closed Doors” keseluruhan. Termasuk konsep musiknya, serta alasan-alasan di baliknya.
Proses kreatif saat merekam single “Self Bondage” dan “Behind Closed Doors” keseluruhan:
Materi lagu dari “Behind Closed Doors” mulai dikerjakan saat kami menunggu proses rilis (album mini) EP “Fever”, yang dirilis tengah 2023 silam. Ketika itu, kami tidak punya banyak waktu manggung, dan menunggu antrian rilis kurang lebih selama empat bulan.
Sudah menjadi rutinitas kami, khususnya saya dan Bagus untuk melakukan latihan rutin tiap minggu di studio. Jadi, ketika kami memiliki waktu kosong sepanjang itu, kami memutuskan untuk mulai menulis. Biasanya, kami mulai dengan menulis lagu acak melalui jamming sebanyak 2-4 lagu, yang kemudian saya teruskan dengan membentuk tema besar kasar album yang akan kami konsepkan.
Lagu “Self Bondage” ditulis menggunakan formula yang, untuk saya pribadi, lucu atau jahil. Ketika menulis lagu tersebut, saya mencoba menulis dengan gaya penulisan musik pop-punk sederhana ala Blink-182. Saya bersama kawan-kawan tongkrongan dulu, suka bergurau bagaimana cara mereka menulis sangatlah sederhana.
Bahkan progresi kord yang ditulis untuk lagu lain nyaris sama, selalu menggunakan formula I-V-VImin-IV, yang umum digunakan penulis lagu pop barat.
Saya mencoba memodifikasi formula tersebut, dengan mengubah tema dasarnya menjadi kord minor semua, di luar root lagu (I-Vmin-VImin-IVmin), serta memasukkan elemen choir untuk mendapatkan perasaan dan sound yang lebih besar di lagu tersebut.
Mungkin bagi beberapa telinga, lagu tersebut terdengar sedikit off, karena memang kami terbiasa mendengarkan aransemen dengan formula tadi yang saya sebut, yang sebenarnya sudah lumayan umum menjadi paten formula lagu pop yang mudah diterima.
Saya suka memasukkan elemen twist di lagu yang kami tulis. Kami melakukan proses penulisan lagu selama kurang lebih satu tahun, dan mengaransemen kurang lebih 16 lagu. Ketika dirasa sudah cukup, kami melakukan proses kurasi dengan pertimbangan tema dan konsep album keseluruhan yang sudah saya sempurnakan.
Beberapa lagu terkurasi yang dirasa mampu mengejawantahkan tema dan konsep tadi, beberapa ada yang digubah ulang karena masih berupa ‘sketsa’ kasar, untuk menyesuaikan kembali dengan tema album.
“Behind Closed Doors” mulai direkam di bulan September 2024, persis satu minggu sebelum kami bertandang ke Pestapora Festival 2024, dan terus berlanjut di tengah agenda kami tur ke Asia Tenggara.
Proses rekaman selesai di Februari 2025, dan mixing selesai di sekitar bulan Maret 2025 di Watchtower Records oleh Yuda Bable. Namun, studio dan teknisi mastering yang kami incar ketika itu, Zac Montez di Timewell Recordings, AS sedang melakukan tur sebagai teknisi FOH (front of house) bersama (band rock) Turnover.
Di masa itu, kami juga sedikit mengkhawatirkan biaya yang akan dikeluarkan untuk membayar jasa master karena harga rupiah terhadap Dolar AS sedang jatuh akibat perang tarif yang dikeluarkan oleh (Presiden AS) Trump. Oleh Zac, kami diminta menunggu dia selesai tur di bulan Juli 2025, yang untungnya, harga Dolar AS juga kembali sedikit stabil.
Perbedaan dan perubahan dibanding album sebelumnya, dari segi musikal:
Sedikit-banyak, ada. Kami mulai introspeksi terhadap gaya penulisan kami pada karya sebelum-sebelumnya, menelaah dan membongkar kembali apa yang menjadi kebiasaan kami; semacam pola, repetisi, formula progresi kord, struktur lagu, serta tema.
Beberapa ada yang kami pertahankan, beberapa ada yang kami tanggalkan, sehingga kami mencoba melihat diri kami kembali, apa sebenarnya esensi yang dibawa ketika kami melakukan proses penulisan karya?
Secara tematis, materi di album ini lumayan menelanjangi saya sebagai penulis utama serta penulis lirik. Secara aransemen, lagu-lagu yang kami tulis dan pilih merupakan karya dengan komposisi yang lumayan pop, di ukuran dan pandangan kami.
Mungkin bagi beberapa pihak, menulis lagu dengan nuansa pop merupakan hal yang tidak terlalu sulit. Namun, tidak bagi kami, hahaha. Menulis lagu dengan nuansa seperti itu tidak lazim kami lakukan, melihat latar belakang bermusik kami dengan band-band kami sebelumnya.
Jadi, bagi kami ini merupakan sebuah tantangan lumayan, bagaimana menulis lagu yang tidak terbiasa tanpa melepas identitas bermusik kami bertiga secara personal.
Salah satu kesulitan yang kami alami adalah menulis lagu dengan durasi normal 3-4 menit. Beberapa lagu yang kami tulis sebagai sketsa, banyak yang berdurasi 7-10 menit, sehingga itu menyulitkan kami untuk merangkum lagu-lagu tersebut dengan target album berdurasi maksimum 45 menit.
Hal menarik sekaligus menantang dalam memainkan genre shoegaze:
Tantangan terbesar dalam genre ini – yang saya yakin juga ditemui bukan hanya di shoegaze, tapi hampir semua genre musik lain – adalah banyaknya template serupa yang diaplikasikan band-band sejenis ketika genre tersebut meledak.
Mungkin ada masanya, template tersebut mengacu di My Bloody Valentine, Slowdive dan sejenisnya di medio jaman silam. Di masa sekarang, yang saya lihat adalah Whirr dan Nothing.
Memang tidak bisa dipungkiri, mereka menjadi pilar dari berdirinya genre ini, beserta wave yang mengikuti. Namun, banyak pengkarya yang akhirnya terjatuh di template sama tersebut dan ini mengakibatkan banyak band memiliki nuansa, aransemen, vibe dan sound yang saling mirip satu sama lain.
Lantas, apa yang bisa membuat mereka outstanding?
Eksperimentasi adalah kuncinya. Karena, kalau kita coba telaah, bukankah band seperti DIIV, Nothing, Cloakroom, dan lain-lain juga melakukan eksperimen mereka sendiri sehingga akhirnya membentuk karakter mereka dan menciptakan wave yang sekarang tengah atau dulu pernah digandrungi…?
Bukan berarti kami tidak menggemari dan terinspirasi band-band tersebut di atas atau band sejenis lainnya. Tapi, bagi saya, saya membenci trademark yang acap kali ditempel kepada banyak band Indonesia, seperti, ‘wah, ini Metallica-nya Indonesia nih…’
Saya menghindari premis dan mendapatkan trademark seperti itu, karena saya tidak ingin kami disamakan sebagai ‘band A dengan harga diskon’.
Karena, lagi, bagi saya pribadi, itu hanya menjadi demotivasi dan penghalang bagi pengkarya menerjemahkan karyanya. Tidak bisakah kita melakukan usaha yang lebih baik dan bereksperimen sendiri sehingga kita mampu menunjukkan identitas kita sendiri? Apakah kita perlu tunduk terhadap inferiority kompleks semacam itu?
Dalam perspektif yang coba kami terapkan, masih dalam konteks menggemari dan terinspirasi band-band tersebut di atas, kami juga menelaah apa saja ide-ide yang mereka coba kembangkan dalam koridor yang terbatas oleh satu sekat genre ini?
Apa yang menginisiasi ide mereka untuk melakukan eksperimentasi dan pengembangan gaya penulisan lagu mereka?
Secara filosofis, apa maksud serta tujuan awal kami memainkan dan membuat karya dengan koridor genre seperti ini? Apakah ada sebuah perasaan yang perlu diterjemahkan? Adakah urgensinya? Ataukah sekadar FOMO (Fear Of Missing Out)? Apakah hanya ingin viral?
Bahkan, eksperimentasi karya bisa dilakukan sesederhana seperti yang saya jabarkan di atas ketika melakukan proses kreatif lagu “Self Bondage” yaitu mencoba memodifikasi formula yang umumnya menjadi paten bagi banyak produser lagu.
Meskipun beberapa lagu kami memang terdengar poppish karena lumayan banyak elemen melankolis, tapi sebenarnya banyak pertimbangan detail serta eksperimentasi dalam voicing, serta aransemen yang kami buat. Kami berasa seperti dalam substance ketika membuat karya. On steroids. Dan itu hal yang kami coba pertahankan sampai sekarang ini.
Menjadi band yang sekarang berbasis di Daerah Istimewa Yogyakarta juga memberikan banyak keuntungan bagi kami dalam membentuk karakter kami. Di tengah lingkungan dengan banyak seniman yang memiliki gaya khasnya masing-masing membuat kami memiliki motivasi yang lebih solid untuk keluar dari sekat-sekat template dan status quo.
Jadi, motivasi kami pun tidak hanya datang dari sesama kolega musisi saja. Satu contoh lain yang kami pikirkan secara detail adalah menggandeng Tesla Manaf (Kuntari) untuk mengisi terompet di lagu kami yang berjudul “Glacial”.
Lagu tersebut menyalurkan perasaan kehilangan yang sangat mendalam. Bayangkan saja perasaan ketika salah satu keluarga tersayang meninggal. Itu adalah sebuah perasaan yang sangat sulit disalurkan melalui medium apapun, kan?
Ketika saya berdiskusi dengan Tesla mengenai referensi dasar tersebut, dia mengatakan bahwa terompet dia sudah rusak akibat tur dan penggunaan dia yang ekstensif, sehingga tidak bisa di-tune dengan sempurna, ditambah gaya permainan dia yang lumayan atonal.
Bagi saya, itu justru menjadi sebuah elemen dan detail penting untuk bisa menggambarkan pengalaman serta perasaan dalam lagu tadi. Memang tidak bisa dideskripsikan dengan sempurna perasaan kehilangan yang sangat mendalam tadi. You’re broken, beyond belief. Never the same person as before again.
Referensi dalam meracik komposisi serta aransemen seluruh lagu di “Behind Closed Doors”:
Kami bertiga pastinya memiliki referensi yang berbeda-beda, dan itu yang saya coba maksimalkan potensinya ketika kami membuat komposisi karya. Melihat materi yang terpilih secara keseluruhan, tidak bisa dipungkiri, justru aura prog-rock mulai terasa di album “Behind Closed Doors”.
Ini secara tidak sadar lumayan terpengaruh karena ketika itu saya lumayan mempelajari secara seksama bagaimana band Opeth dan Steven Wilson membuat komposisi dan olah karya mereka. Beberapa elemen tersebut bisa dirasakan dari gaya vokal, beat dram, solo gitar yang saya tulis pun tidak hanya berisi ambient fills yang umumnya ditulis band sejenis, dan juga perubahan tema, progresi stanza, serta twist di dalam beberapa lagu.
Tidak semua referensi juga berasal dari musik yang berupa band. Saya masih ingat, di tahun penulisan lagu ini, saya tengah menggandrungi sebuah gim Playstation, yang kemudian soundtrack-nya menjadi referensi dasar salah satu lagu yang tertuang di album ini.
Kami pun menyadari, kadang kami bereksperimen terlalu jauh, sehingga kami melempar pertanyaan ke kami sendiri, ‘Ini masih shoegaze gak, ya?’
Mungkin karena kami sedikit-banyak memiliki mental attitude dari lirik lagu milik Darkthrone, ‘Fuck off and die!’, sehingga kami coba jalan terus dengan ide-ide jahil kami.
Kebanyakan dari lagu yang kami tulis, kami lakukan secara jamming spontan dalam studio. Tidak jarang, ketika kami masuk studio, kami belum mempersiapkan ide apapun. Jadi, insting naluri bawah sadar kami yang turut banyak membantu dalam menjadi acuan.
Tapi, jika memang perlu menyebutkan beberapa nama yang menjadi acuan dan inspirasi saya di dalam koridor shoegaze ini, saya akan menyebut Justin K. Broadrick, Kevin Shields, Doyle Martin serta Thom Wasluck adalah beberapa nama yang bertanggung jawab memotivasi pembentukan karya ini.
Eksperimentasi yang mereka terus kembangkan dalam koridor shoegaze terus menginspirasi saya sebagai musisi.
Di luar koridor tersebut, David Gilmour (Pink Floyd), Mikael Akerfeldt (Opeth), Steven Wilson (Porcupine Tree), Nobuo Uematsu (komposer), Michael Keene (The Faceless), Rully Shabara (vokalis yang tinggal di Yogyakarta) dan banyak nama lain, menjadi inspirasi saya sebagai penulis lagu di album ini.
Berbicara soal solo gitar yang saya sebut di atas, saya juga merasakan tidak banyak lagi band seangkatan atau lebih muda yang menyisipkan solo gitar di karya mereka. Khususnya di shoegaze, banyak isian gitar hanya berupa riff, passage atau melody line yang hanya mengikuti alur melodi vokal. Mungkin ini acuan inspirasi naluri bawah sadar saya, sebagai orang yang tumbuh besar mendengarkan banyak band rock boomer, hahaha.
Persiapan menuju perilisan album:
Sejauh ini kami sudah melakukan perilisan satu single yang akan disusul oleh dua single lain dalam waktu dekat, dari total delapan lagu berdurasi total 45 menit dalam album “Behind Closed Doors”.
Selain itu, kami juga tengah menyusun tur lima negara untuk membantu promo perilisan album tersebut di Oktober dan November tahun ini, juga beberapa tur lain untuk tahun depan.
Kami juga sudah dalam proses menulis materi baru lagi, dan kemungkinan akan masuk studio rekaman kembali dalam waktu dekat sembari menunggu proses rilis album ini. Kami tidak suka terlalu lama menganggur.
Album “Behind Closed Doors” yang memuat lagu “Self Bondage” dari Sunlotus akan dirilis pada Oktober 2025 via label Lawless Jakarta Records, dalam format digital dan rilisan fisik. (mdy/MK01)