No Remain memasuki babak baru dalam perjalanan kariernya. Di lagu rilisan tunggal terbarunya, “Cognitive Dissonance Prevails”, unit hardcore asal Tanegrang Selatan ini diperkuat vokalis baru, Latisha Adjani.
Ia melengkapi formasi gitaris Aditya Budi Saputra (Blak) dan Mizan Muhamad Andal (Andal), bassis Lancaster Januario Siregar serta dramer Tandu Arta Wiguna.
Kali ini, band yang telah menggeliat sejak 2009 lalu ini masih mempertahankan ciri energi brutalnya. Namun kini, semakin beringas dengan kehadiran Latisha, vokalis asal Jakarta yang mempunyai karakter sarat distorsi, mentah, dan tanpa kompromi.
Dengan formasi ini, No Remain semakin berkembang, lebih bising, lebih berat, lebih dingin, lebih kejam dan lebih menghantam dibanding sebelumnya. Dan tanpa filter!
Vokal Latisha yang kasar dan terdistorsi telah menyuntikkan tenaga baru dalam tubuh band ini: mengubah rasa sakit jadi amarah murni dan dorongan brutal yang tidak bisa diabaikan.
Lagu “Cognitive Dissonance Prevails” sendiri merupakan ledakan sonik frustrasi, pengekangan diri, konfrontasi mentah dengan suara-suara penghakiman, kemunafikan, pembenaran diri moral, jari tengah bagi mereka yang memihak, sebelum mereka benar-benar memahami perjuangannya.
Album ini, menurut No Remain menyerukan kemunafikan, arogansi, dan kemarahan performatif dalam budaya ruang gema dan kemegahan moral masa kini. Sebuah karya yang ditujukan bagi mereka yang lelah diremehkan, ditipu, dan dibungkam.
“Kami masih membawa semangat yang sama, pesan yang sama, tetapi sekarang lebih keras, lebih berantakan, dan bahkan lebih tanpa penyesalan!”
Bisa dibilang, proses kreatif penggarapan “Cognitive Dissonance Prevails” dimulai ketika No Remain menemukan Latisha.
Usai perilisan EP “Reminiscence”, band ini mengakui menghadapi tantangan besar. Khususnya saat vokalis sebelumnya memutuskan untuk mengundurkan diri.
Tapi momen itu, justru menjadi titik balik bagi para personel No Remain yang tersisa. Kepada MUSIKERAS, mereka menegaskan justru tidak ingin berhenti, dan langsung memulai pencarian vokalis baru.
“Dari beberapa kandidat yang kami audisi, Latisha adalah sosok yang paling menonjol dan memiliki kecocokan energi yang kuat dengan musik kami,” papar pihak band.
Proses penyesuaian pun, lanjut mereka, berjalan sangat organik. Mereka tidak memaksakan Latisha untuk meniru gaya vokalis sebelumnya. “Sebaliknya, kami ingin musik kami berevolusi dengan karakternya yang unik.”
Saat merekam “Cognitive Dissonance Prevails”, No Remain banyak menghabiskan waktu di Smallbox Studio, yang juga merupakan rumah bagi Iqbal Dykara. Musisi ini berperan ganda sebagai produser dan juga memoles mixing dan mastering lagu tersebut.
“Jadi proses brainstorming di sana sangat intens. Kami mencoba menyatukan sound hardcore khas kami dengan vokal Latisha yang agresif namun memiliki sentuhan feminin yang kuat. Proses ini memungkinkan kami menemukan identitas baru yang terasa segar dan otentik.”

Spektrum Emosi
Secara musikal, No Remain menyebut “Cognitive Dissonance Prevails” sebagai jembatan antara akar musik mereka dengan visi band selanjutnya. Mereka tetap mempertahankan kekuatan hardcore 90-an sebagai fondasi, dengan riff yang lugas dan tempo yang menghentak.
“Namun, kami membalutnya dengan sound yang lebih punchy dan modern melalui produksi yang lebih rapi dan detail,” urai mereka meyakinkan.
Jika dibandingkan dengan karya-karya rekaman mereka sebelumnya, kali ini tentu saja ada perbedaan di lini vokal. Vokal Latisha menawarkan spektrum emosi yang lebih luas. Ia memiliki kemampuan untuk menghadirkan suara yang berat, dingin, dan agresif, namun pada saat yang sama, tetap terdengar sangat feminin.
“Yang paling penting, kami tidak menggunakan geraman buatan atau teknik vokal yang dipaksakan. Ini adalah ekspresi mentah dan kemarahan yang nyata, yang membuat setiap lirik terasa personal dan kuat. Vokal ini bukan hanya sebagai pelengkap, melainkan elemen utama yang mendefinisikan sound baru No Remain!”
Saat peracikan komposisi dan aransemen “Cognitive Dissonance Prevails”, para personel No Remain tidak terpaku pada satu atau dua band saja. Inspirasi yang mereka serap datang dari spektrum musik hardcore yang luas, khususnya dari era 80-an dan 90-an.
Antara lain yang mereka dengarkan, adalah band-band legendaris mancanegara seperti Strife, Agnostic Front, Madball, 25 ta Life hingga Crown of Thornz.
Namun di luar itu, mereka juga mengambil referensi dari paham musik lainnya untuk menciptakan dinamika yang unik. Mendengarkan band-band dengan pendekatan modern yang memiliki sound yang kuat dan produksi yang bersih.
“Tujuan kami adalah mencampurkan energi mentah dari band-band klasik tersebut dengan sentuhan kekinian, sehingga lagu ini terasa familiar namun juga inovatif,” seru mereka.
Walau terbilang baru merilis “Cognitive Dissonance Prevails”, namun No Remain sudah langsung tancap gas untuk penggarapan materi album penuh. Karena menurut mereka, rilisan terbaru itu hanyalah salah satu bagian dari narasi yang lebih besar.
Saat ini, No Remain mengaku sudah memiliki lebih dari belasan lagu yang sudah mulai digarap. Dan kini sudah memasuki tahapan kurasi untuk memilih lagu-lagu terbaik yang akan dimasukkan ke dalam album. Mereka memastikan setiap trek memiliki kualitas dan karakter yang kuat.
Jika keseluruhan proses berjalan lancar, No Remain menargetkan bisa merilis album pada akhir 2025 atau awal tahun depan. (mdy/MK01)