MARRYANNE: “Kami Bukan 100% Shoegaze!”

Menyongsong tur akhir tahun yang akan mereka jalani, Marryanne rilis ulang album mini (EP) “Into The Void”, sambil siapkan materi karya berikutnya.
marryanne
MARRYANNE

Marryanne akan melangsungkan rangkaian tur di beberapa kota di Pulau Jawa. Dimulai awal November dan digulirkan hingga Desember, mendekati tahun baru.

Nah, untuk memanaskan misi itu, band yang dihuni formasi vokalis Erlinda Nazwa Rahmadani, gitaris/vokalis Cyril Muhammad Falih, bassis Andhika Dwi Himawan, dramer Arrest Bupala Rafiadi dan gitaris Erlangga Eka Pratama ini pun menghadirkan EP “Into The Void” kembali (reissue) dalam format fisik (CD).

Perilisannya dipaketkan dengan merchandise tshirt yang telah mulai dijajakan melalui kanal Instagram Atlas Records, label asal Semarang, Jawa Tengah yang mengedarkan EP tersebut.

Paket CD dan tshirt dibandrol seharga Rp210.000. Sementara jika dibeli terpisah, masing-masing dihargai Rp50.000 (CD) dan Rp170.000 (tshirt).

marryanne

Bookshelves Epilogue

Di EP “Into The Void”, Marryanne mengemas empat lagu penuh yang sarat nuansa drive, dibalut reverb mengawang serta ambience yang dirangkai menjadi suatu melodi yang membuat isi hati menjadi sendu.

Menurut tuturan unit shoegaze/alternative asal Kota Cirebon, Jawa Barat ini kepada MUSIKERAS, mereka mendeskripsikan formula musiknya dengan istilah shoegaze alternative.

Penambahan kata ‘alternative’ sendiri didasari alasan bahwa Marryanne sebenarnya karena merasa belum terlalu percaya diri menyebut musiknya 100% shoegaze.

“Tapi balik lagi, yang bisa menilai ya pendengar kami, dan tentu saja media-media yang mengulas lagu-lagu kami. Tentu saja, kami bebaskan dalam mengkategorikan musik kami masuk ke dalam genre tertentu,” urai gitaris Cyril, mewakili rekan-rekannya di band.

Bicara tentang shoegaze sendiri, Cyril mengungkap cukup banyak referensi yang mereka jadikan acuan saat menggarap “Into The Void”.

Saat perumusan lagu-lagunya, ia sedang getol mendengarkan karya-karya lagu dari DIIV, band rock berelemen shoegaze asal New York, AS.

“Karena saat itu mereka beberapa kali rilis single menuju album penuhnya yang berjudul ‘Frog in Boiling Water’.”

Di luar DIIV, Cyril juga merujuk pejuang-pejuang shoegaze lainnya, yang ia akui mungkin cukup familiar bagi kebanyakan orang.

Di antaranya macam Slowdive dan My Bloody Valentine (Inggris), Pinkshinyultrablast (Rusia), They are Gutting A Body of Water (AS) dan banyak lainnya.

“Sama lagunya (band Bandung) Puremoon yang judulnya ‘Agony’ itu juga lumayan sering didengerin saat produksian EP tersebut,” seru Cyril lagi menambahkan.

“Bookshelves Epilogue”, salah satu lagu yang termuat di EP, secara personal disebut Cyril merupakan lagu paling rumit dalam hal teknis pengeksekusiannya.

Karena di lagu itu, pertama kalinya ia mencoba vokal latar dengan lapisan (layering) yang lumayan banyak. Begitu juga dengan isian gitarnya. 

Selain “Bookshelves Epilogue”, EP “Into The Void” (dengarkan di tautan kanal Bandcamp) juga dijejali komposisi berjudul “Solitude (feat. Jjyoshu)”, “Violet” dan “Numb”. (aug/MK02)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts
worthless
Read More

WORTHLESS: Dari Rasa Sakit Menjadi Duka

Dengan formasi terkini, Worthless tunjukkan kematangan dalam meramu karya yang penuh intensitas, lewat sebuah album mini (EP) terbaru.