Cara ‘Metalhead’ ETHNOISM Menghargai Musik Leluhurnya

Bagaikan pasar malam yang berkecamuk di kepala Satria Yulian dan Bayu Roots, duo musisi metalhead asal Bogor ini mencoba menengok warisan leluhurnya, mengeksplorasi ide-ide yang mengacu pada pelestarian bebunyian dari alat musik tradisional. Lewat sebuah entitas bernama Ethnoism, Satria dan Bayu merilis album mini (EP) bertajuk “The Rhythm Of Life”. 

Ethnoism merupakan proyek solo musik eksperimental dengan suntikan unsur elektronik dan etnik instrumental, lalu menyatukannya dengan bebunyian etnik tradisional Indonesia lewat peleburan unsur modern bernuansa elektronik, noise hingga heavy metal.

Secara abstrak, garapan konsep Ethnoism di sini seolah berangkat dari pola pikir suara-suara vintage dari peradaban musik ’70 hingga ‘80an a la band seperti Tangerine Dream dan Pink Floyd, namun lantas diaduk lebur bersama unsur-unsur punk hingga thrash metal. Karena maklum, kedua personelnya sampai saat ini masuk mengonsumsi keliaran musik-musik dari band cadas seperti The Exploited, Total Chaos, Slayer, Nine Inch Nails, Korn, Sepultura, Kreator hingga Soulfly. 

.

.

Kebetulan Satria adalah mantan gitaris dari band punk Garputala, sementara Bayu masih tercatat sebagai vokalis Roots, band yang menyampurkan metal dengan reggae. Tapi di sisi lain, Satria banyak belajar dan mengeksplorasi instrumen tradisional seperti sape Kalimantan, kecapi Sunda, gamelan dan lain-lain. Ethnoism sendiri terbentuk pada pertengahan 2020 lalu, tepatnya di padepokan seni Mahagenta di Bogor, Jawa Barat. 

“Semua berawal dari kegelisahan terhadap situasi dan refleksi diri, dimana hal yang mencakup kearifan lokal sudah hampir pada titik dimana akan padam, bunyi-bunyian yang sangat beranekaragam hanya dimainkan segelintir orang yang sudah menjadi budaya lokal masyarakat dan orang-orang di daerahnya masing-masing, dan sedikit sudah berada di tatanan budaya yang tidak populer. Ethnoism membangun sebuah pengembangan dalam musik modern dan tradisi dengan pola-pola yang sebenarnya sudah ada sejak jaman dahulu, hanya saja dikemas dengan sesuatu yang tanpa disadari akan terungkap pada notasi dan ritme suara yang kami anggap sesuatu yang baru bagi kami berdua,” beber Ethnoism kepada MUSIKERAS, mengurai alasan di balik kiprah mereka. 

Namun jangan salah kaprah, di EP “The Rhythm Of Life” ini, Ethnoism tidak menumpahkan distorsi. Bukan itu esensi musiknya. Dari sudut pandang proses kreatif, mereka mencoba meramu komposisi dari pola jamming dan improvisasi bebas. Dari situ mereka mencatat adegan, ingatan bagian per bagian dengan dasar apa yang sudah mereka bangun dari selera masing-masing. 

“Dari situlah kami menemukan sesuatu yang kami anggap sebagai pesan dasar, esensi dan bentuk suara yang kami anggap sebagai hasil dari pemikiran kami berdua, tanpa dilandasi dari sub-genre tertentu. Ethnoism secara langsung tidak terpengaruh dengan musik-musik metal, dan lain-lain. Hanya, di luar konteks proses kreatif,  kuping kami sudah berpengalaman dengan band-band heavy metal, punk hingga avant garde.” 

“The Rhythm of Life” digarap selama kurang lebih lima bulan dan menghasilkan lima lagu, yang bertajuk “Punah”, “Buyaka”, “Buruh”, “The Rhythm Of Life” dan “Free Palestine (Feat.Uyung Mahagenta)”. Semuanya direkam di padepokan seni Mahagenta, termasuk untuk eksekusi pemolesan tata suara. Khusus proses mastering, mereka percayakan digarap di Jarets Music Studio, Cikarang.

Di sanggar Mahagenta, Ethnoism mengeksplorasi kelima lagu di EP “The Rhythm Of Life” dengan berbagai alat tradisional Indonesia, mulai dari gamelan slendro Jawa Barat, kecapi Sunda, suling gambuh Bali serta kacapi kajang dari Sulawesi, dengan pola ritmik yang diimplementasikan ke dalam perangkat modular synthetizer dengan ketukan heavy metal serta teknik vokal growl dan gumam tradisi.

EP “The Rhythm Of Life” yang dirilis via sebuah label independen asal Bandung, Disaster Records sudah tersedia dalam format kaset pita dan telah diedarkan sejak 31 Januari 2021 lalu. (mdy/MK01)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts
exentrix
Read More

EXENTRIX: Ajak Kembalikan Rock yang Teknikal

Walau kini hanya diperkuat dua personel, namun Exentrix masih menyimpan energi rock yang meledak-ledak, seperti yang tersalurkan di karya terbarunya.