VIRTUAL DOOM Kini Kibarkan Konsep Power Violence/Crust Punk

Sempat tertidur selama tiga tahun, namun sanggup terbangun dan bahkan langsung melepas sebuah karya album rekaman. Itulah yang dilakukan Virtual Doom, unit hardcore punk dengan sentuhan virus power violence dan crust punk dari Yogyakarta. Sebuah album mini (EP) debut bertajuk “Trapped Waste” telah mereka rilis dalam format CD dan kaset sejak 12 Oktober 2019 lalu via label Samstrong Records dan Otakotor Records.

Di album yang beramunisikan enam komposisi liar yang masing-masing bertajuk “Existence Martyr”, “Paralyzed”, “I Thirstea” (Greedy Mouth cover), “Paranoia”, “Rape Me In a Binary Holes” dan “A Poisonous Space” tersebut, Virtual Doom menggelar tumpahan lirik seputar pengalaman keseharian menghadapi kehidupan dunia baru yang semakin antah berantah, mempertahankan eksistensi, gempuran modernisasi hingga pengalaman saling-silang antar kenyataan dan harapan yang ujungnya hanya berakhir di tempat sampah.

Formasi Fika Budaya (vokal), Rangga (gitar) dan Wahyu “Soplo” Friandana (dram mengerjakan materi rekaman “Trapped Waste” di tengah kepungan jadwal sibuk para personelnya masing-masing. Ditambah lagi kesibukan Fika yang harus mondar-mandir Jakarta-Yogyakarta untuk mengurus visa ke Eropa. Menurut pihak band, saat proses rekaman berlangsung, Fika sedang menjalani proses pengurusan administrasi untuk bekerja di Eropa.

“Yang cukup menarik (saat rekaman) adalah jadwal personel yang susah banget untuk kumpul. Itu yang bikin greget. Jadwal rekaman jadi terpisah-pisah. Dan yang paling disayangkan lagi, dari enam lagu di EP, vokalis kami Fika hanya mampu mengisi dua lagu, dan sisanya sesi vokal diisi oleh Rangga. Ya itu tadi, karena emang doi udah on the way ke Eropa buat kerja,” tutur pihak band kepada MUSIKERAS, sedikit menyayangkan.

Pengerjaan keseluruhan produksi “Trapped Waste” membutuhkan waktu hampir setahun. Namun diakui oleh para personel Virtual Doom, waktu itu sebenarnya lebih banyak tersita kesibukan lain dan pengumpulan dana rekaman. Proses rekamannya sendiri dieksekusi di Watch Tower, studio rumahan yang mereka percaya sangat lihai dalam urusan pengolahan musik berkontur hardcore/punk. Termasuk untuk urusan pemolesan mixing dan mastering.

Sebenarnya, saat Virtual Doom pertama kali dikibarkan pada 2013 silam, personelnya saat itu – Fika, Rangga dan gitaris Tamim – sempat menerapkan konsep musik Fastcore/Thrashcore, seperti yang mereka tuangkan di empat lagu demo bertajuk “Toxic in Your Water”, “Boycot Future”, “Deadly Oxigen” dan “War of Industry”. Namun usai tidur panjang, Virtual Doom terbangun dengan gagasan baru untuk mengubah haluan.

“Sebenernya kami nggak begitu peduli dengan genre sih. Cuma saat Virtual Doom dibentuk ada band Fastcore yang menjadi refrensi kami. Ya, makanya kalo ditanya kami genre-nya apa, kami bilang fastcore, karena kemiripan musiknya.”

Namun sejak 2017, terjadi proses pergantian personel, dimana Rangga yang tadinya berada di balik perangkat dram bergeser ke lini gitar, dan Soplo masuk menggantikan Rangga di posisi dram. Saat itu juga, referensi Virtual Doom semakin banyak, khususnya yang masih satu garis power violence.

Lebih jauh, Virtual Doom menggambarkan konsep mereka kini terkesan lebih ‘gelap’, yang salah satunya kemungkinan dipicu oleh pemilihan riff yang mereka mainkan. Selain itu, juga datang dari referensi yang dibawa tiap personel. Fika misalnya, banyak mendengarkan Punch, band hardcore punk asal Amerika Serikat. Sementara Soplo banyak terpengaruh grindcore dan Rangga lebih tertarik pada crusty punk a la Alpinist, band punk dari Jerman.

“Kami lantas berunding lagi agar lebih matang dalam segi konsep, seperti apa yang kami mau. Akhirnya kami pilih power violence dan hardcore sebagai patokannya. Lalu untuk gitar dimasukkan unsur crusty punk. Kami ambil di (jalan) tengah, gabungin Punch, Alpinist dan asal ngebut aja. Jadilah musik Virtual Doom yang sekarang!” (aug/MK02)

.

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts
exentrix
Read More

EXENTRIX: Ajak Kembalikan Rock yang Teknikal

Walau kini hanya diperkuat dua personel, namun Exentrix masih menyimpan energi rock yang meledak-ledak, seperti yang tersalurkan di karya terbarunya.