“Karena sudah memasuki tahun politik dan kebetulan Allan Soebakir selaku sutradara ingin menganalogikan belatung seperti politik.”
Celetuk pihak band kepada MUSIKERAS, tentang konsep di balik visualisasi video musik dari salah satu lagu Lingkar Cendala yang bertajuk “Kaki Seribu”. Sang sutradara sendiri mewakili rumah produksi independen Sinema Pinggiran yang dipercayakan menggarap video musik tersebut, yang dieksekusi di Hide in Hidden, Jakarta.
Konsep video menggabungkan citra nyentrik dari personel Lingkar Cendala, dengan usungan ide di ranah semiotika visual atas ‘belatung-belatung penggerogot’. Ide tersebut diambil lantaran Allan ingin menjalin keselarasan visual dengan lirik bertema ‘politik’ yang tersemat dalam lagu “Kaki Seribu”.
“Politik bagi gue hal yang jorok. Gue menganalogikannya seperti belatung. Menggerogoti daging tempat dia lahir dan tinggal, hingga menjadi bangkai dan tak tersisa. Menurut gue seperti itu ekosistem politik di negeri kita ini,” seru Allan blak-blakan.
Desta Ericksen, gitaris dan vokalis, sekaligus motor utama Lingkar Cendala lalu menambahkan, karya ini berkisah tentang tatanan sosial politik, dimana kapitalis birokrat selalu mempunyai cara untuk menindas kelas proletariat. “Semuanya terbentur oleh keadaan realita dunia yang makin hari semakin dikuasi oleh para pemodal licik yang menguasai segala sektor, yang membuatnya bagai seekor, Kaki Seribu.”
“Judul lagu ‘Kaki Seribu’, visual video klipnya belatung terkesan tidak berkorelasi, tapi gue nggak peduli,” ujar Desta lagi. “Sama persis seperti politikus yang nggak peduli juga terhadap rakyatnya yang kesulitan, padahal demo terjadi di mana-mana. Ye kan?”
Selain lirik lagu tersebut memiliki pesan yang cukup vokal dari kaum proletar kritis dengan diksi garang, musiknya juga terpatri atmosfer murka yang sengaja mereka tumpahkan pada setiap irama tegas melodi minor pentatoniknya.
“Garage rock funky ‘n roll!” Begitu Lingkar Cendala yang juga dihuni Rifki Azfa Wirdiansyah (gitar), Briansyah Putra (bass) dan Septian Satriani (dram) menyebut konsep musiknya. “Dengan riff gitar pentatonik yang liar, suara dram yang mengentak, bass yang mencekam dan gaya vokal yang parau,” ujar mereka menandaskan.
O ya, lagu “Kaki Seribu” sendiri merupakan salah satu komposisi liar dari album mini (EP) perdana Lingkar Cendala, “Manifesto Alegori Cendala”, yang dirilis Unseen Records pada Juni 2023 lalu. Penggarapan keseluruhan EP berlangsung selama kurang lebih enam bulan, terhitung sejak akhir 2022. Setiap lagu ditulis dan dibuat atas keresahan masing-masing personel, yang berkisah tentang perjalanan mereka sebagai kaum proletariat. Diawali demo dan lirik yang digarap oleh Desta, lalu direvisi dan diaransemen bersama, dan direkam di Unseen Record Music, studio rekaman rumahan milik Septian Satriani. Sementara untuk pemolesan mixing dan mastering dipercayakan kepada Wanda Hidayat di Swara Studio, Hexa Space.
Khusus untuk penggodokan komposisi dan aransemennya, para personel Lingkar Cendala banyak mendengarkan referensi musik luar. Mereka menyebutkan, antara lain dari album “Raw Power” (The Stooges), “By the Way” (Red Hot Chili Peppers), “The Datsuns” (The Datsuns), “12 X 5” (The Rolling Stones), “Electric Sweat” (The Mooney Suzuki) hingga The Mothers of Invention/Frank Zappa.
Sebelum “Kaki Seribu”, Lingkar Cendala juga telah meluncurkan video klip pertamanya, dari lagu “Langkah Kidal” pada 2022 lalu. Visualisasi “Kaki Seribu” sendiri sudah ditayangkan di kanal YouTube Sinema Pinggiran sejak 18 Juni 2023 lalu. (aug/MK02)
.
.