Siements (Sonic Insanity Interpreting Massive Noises and True Sounds) menghadirkan lima trek yang intens dan dinamis di EP terbarunya.
Di liriknya, unit rock asal Jakarta ini menangkap keresahan sosial, dinamika kehidupan urban, serta perjalanan emosional penuh kontradiksi antara kemarahan dan refleksi, antara kebisingan dan keheningan.
Dibanding EP mereka sebelumnya, “Parabellum” yang dirilis pada 22 November 2024 lalu, kali ini vokalis, gitaris sekaligus produser Muhammad Daniswara Rabani (Danes) mengarahkan formula musiknya lebih berlapis dan terkonsep.
Ya, Danes memang memegang peran kunci dalam arah artistik Siements, yang lantas dilengkapi oleh bassis Aryasuta Azrielbarraq (Azriel), gitaris Muhammad Syafiq Yulando (Syafiq) dan Dafa Dhiyaul Taqi (Dafa) serta dramer Fahmi Bukhari Nasution (Fahmi).
Secara musikal, menurut tuturan Danes kepada MUSIKERAS, “House of Vultures” membawa konsep rock yang lebih gelap, padat, dan agresif, mengingat tema yang dibawa dalam EP ini juga sebuah topik yang penuh amarah dan duka.
“Maka dalam proses pencarian sound, kami berusaha untuk mendapatkan nuansa itu melalui tone yang kami gunakan. Dalam mengerjakan EP ini, kami banyak ngulik tekstur gitar karena format tiga gitar di Siements membuka ruang yang luas buat harmoni, counter melody dan riff yang saling bertabrakan tapi tetap terkontrol.
Untuk menjelaskan EP barunya secara keseluruhan, Danes menegaskan bahwa ia mencari nuansa vintage rock, namun harus tetap terasa modern agar tetap relevan dan fresh.
Lalu dari segi teknis rekaman, jika di “Parabellum” lebih terasa ‘kasar’, maka di “House of Vultures” dibuat lebih berlapis dan terkonsep. Sebab perjalanan mereka dalam rekaman, mereka anggap sama dengan proses belajar.
“Maka yang kami lakukan di EP yang baru ini adalah hal-hal baru yang kami pelajari, yang belum kami lakukan sebelumnya,” cetus Danes.
“Kami masukin banyak detail di aransemen, ngebangun atmosfer yang lebih mencekam, dan ngasih ruang buat transisi yang lebih dinamis. EP ini juga jauh lebih konseptual, baik dari sound, tema, sampai mood keseluruhan.”
Instrumental Rumit
Tapi dari lima lagu yang disuguhkan di EP, Siements menyebut “Sparks of Sorrow” paling menantang penggarapannya. Sebuah komposisi instrumental yang ditempatkan sebagai trek pembuka.
Bagi band bentukan pertengahan 2024 ini, walaupun baru merilis dua EP, namun mereka menganggap menulis satu trek instrumental ke dalam EP atau album sebagai sebuah kewajiban.
“Lagu ini punya struktur dan dinamika yang jauh lebih kompleks dibanding track lainnya. Mulai dari riffing yang padat, tempo yang berubah-ubah, sampai sinkronisasi antar tiga gitar yang harus rapet banget butuh presisi yang ekstra.”
Selain itu, vibe emosional dari lagu ini juga membuat proses rekaman harus benar-benar tepat. Tak cukup sekadar bermain bersih, tapi tiap lapisan harus ‘kena’ dari segi rasanya.
Secara utuh, mereka sepakat untuk membuat lagu tersebut sarat nuansa yang penuh amarah. Terutama di bagian akhir lagu, dimana mereka berusaha untuk mendapatkan suasana mencekam. Seakan-akan lagunya berteriak.
“Maka kami gunakan whammy bar di gitar untuk mendapatkan sound yang kami inginkan. Itu adalah salah satu bagian yang harus berulang-ulang kami rekam sampai dapet energi yang cocok.”
“Sparks of Sorrow” pada akhirnya menjadi lagu yang paling rumit bagi para personel Siements, sekaligus menjadi salah satu track paling memuaskan hasil akhirnya.

Bebas, Eksploratif
Dalam meracik komposisi serta aransemen lima lagu di “House of Vultures”, Siements antara lain menyebut band rock legendaris dunia, Black Sabbath dan Led Zeppelin sebagai referensi utamanya.
“Terutama bagaimana mereka ngebangun riff yang memorable, serta vibe gelap yang nempel banget,” seru Danes meyakinkan.
Namun jika bicara tentang sound, Siements lebih mengarah ke karakter yang modern dengan penggunaan rentang frekuensi yang lebih luas. Salah satu band yang menjadi referensinya adalah Queens Of The Stone Age.
Selain itu, mereka juga mengambil energi dari salah satu band hardcore bernama Speed untuk mendapatkan suasana ‘kejar-kejaran’, serta beberapa elemen dari lagu-lagu metal lain yang punya karakter agresif dan cepat.
“Kami mencoba untuk menyerap spirit-nya, bagaimana mereka bikin tensi, narik ambience, dan ngolah dinamika. Dari situ, kami adaptasi ke format Siements yang punya tiga gitar, sehingga setiap referensi itu diproses ulang jadi identitas kami sendiri.”
Proses total penggodokan EP “House of Vultures” sendiri menghabiskan waktu selama kurang lebih enam bulan. Cukup lama lantaran dikerjakan bersamaan dengan kesibukan kuliah masing-masing personel.
Lagu-lagu di EP tersebut direkam di studio Danes dengan mengandalkan perangkat rekaman rumahan. Sementara khusus untuk rekaman isian dram dieksekusi di High Ground Studio.
“Jadi suasana (rekaman) cukup intim, bebas, dan eksploratif, karena dikerjain di home studio. Kami punya kebebasan penuh buat ngulik sound, nyari tone gitar yang paling pas menurut kami, nyusun layer, sampai nyempurnain dinamika tiap lagu, tanpa tekanan waktu diiringi dengan proses belajar juga.”
EP “House of Vultures” yang diedarkan via Firefly Records sudah bisa digeber via berbagai platform digital sejak 27 November 2025 lalu. Video lirik bisa disaksikan di tautan kanal YouTube ini. (mdy/MK01)