Usai melakoni kultur pop-punk sejak 2014 silam, unit rock asal Bandung ini akhirnya menemukan ‘taman bermain’ yang lebih sesuai panggilan hati para personelnya. Lewat lima lagu yang termuat di album mini (EP) bertajuk “Hesitate”, Graysea yang diproklamirkan kelahirannya pada 2020 lalu memperkenalkan jubah barunya yang lebih kental akan corak alternative rock lawas yang pernah berjaya di era ’90 hingga 2000-an silam.
“Kerinduan kami, di mana menurut kami ’90-2000-an adalah era terbaik, dimana skena musik berkembang dengan pesat dan mampu merangkul semua kalangan. Pesan yang disampaikan juga begitu kuat dan mewakili pendengarnya hingga kini,” tutur pihak Graysea kepada MUSIKERAS, mengutarakan alasan.
Album “Hesitate” sendiri merupakan sebuah kebimbangan yang dicoret, dalam artian adalah perasaan kejujuran kita sebagai manusia yang hidup di masa kritis saat ini. Kritikan terhadap mereka atau bahkan untuk diri sendiri. Lirik dari lagu-lagunya, yakni “Gray Hall”, “Pretend for the Damned”, “Godspeed”, “Risen Sun” dan “Your History” menumpahkan berbagai keresahan serta momen inspiratif dari kehidupan yang mereka jalani di masa pandemi.
“Membuat kami semakin sadar dan kritis terhadap situasi saat ini yang lalu kami tuangkan menjadi lagu. (Pesannya) Tidak terlepas dari keadaan yang semakin hari semakin mencekik, kelahiran sang buah hati sebagai momen terindah di dalam situasi sulit. Menuntut untuk memberontak melalui aksi nyata seperti bersepeda dari Indonesia menuju Nepal. Melawan polusi udara akibat maraknya pertambangan tanpa melihat sisi pentingnya ekologi yang dikeruk hingga tak tersisa. Dibarengi dengan membawa kesadaran pentingnya menjaga kesehatan dengan berolahraga, yakni bersepeda.”
.
.
Tiga personel Graysea, yaitu J. ‘Zen’ Suryatna (gitar), Regiansyah (bass/vokal latar) dan Michael Hillarry (vokal/gitar) menggarap “Hesitate” selama 5-6 bulan. Bermodalkan alat produksi rekaman serba terbatas di studio rumahan milik Zen plus kondisi pandemi yang belum usai, menggiring kenekatan mereka untuk menggarap album. Dalan menjalani prosesnya, Graysea dihadapkan pada berbagai kejutan dan keseruan yang menghadirkan ide-ide cemerlang dari masing-masing personal. Mulai dari hadirnya sang buah hati Zen, masa-masa isoman hingga mengikuti perjalanan teman-teman Nusalayaran yang bersepeda dari Indonesia menuju Nepal.
Sementara dari penerapan konsep musikal, formula alternative rock yang mereka tuangkan sedikit banyak berkiblat pada racikan band dunia, Foo Fighters serta grup-grup ’90 dan 2000-an yang mereka tuangkan di setiap lapisan instrumentasi mereka, yang lantas dikombinasikan dengan tarikan suara parau.
“Di-mix dengan sederhana dan minimalis. (Kami) Tidak ingin sound yang ‘besar’ yang memang karena keterbatasan alat rekaman,” seru Graysea terus-terang.
Namun menurut mereka, kelebihan dari album “Hesitate” yang dirilis via Sylphs Records tersebut menjadi lebih terdengar natural. “Bagan, riff-riff dan beat-beat yang old-school, namun segar di telinga era modern. Kami, dengan percaya diri akan diterima baik oleh penikmat musik di antara kultur pop yang merajalela, dan kerinduan akan sound-sound lawas.” (aug/MK02)