The ASID merupakan akronim dari The Anwar Sadad Is Dead, sebuah nama yang terinspirasi dari kisah Presiden Mesir, Anwar Sadat (1970–1981), yang dikenal karena ketegasannya dalam mengambil keputusan kontroversial, terutama dalam bidang politik. Nama tersebut juga diambil dari nama lahir pendiri band, Anwar Sadad.
Anwar Sadad sendiri bukan pendatang baru di skena musik keras Tanah Air. Paling tidak, ia sebelumnya wara-wiri di skena Bandung sebagai gitaris di band Bohemians (BHMNS) dan Being Humans (BHMNS).
Bahkan bersama Bohemians, ia telah merilis serangkaian diskografi penting. Salah satunya album “Invasion” (2010) yang membawa bandnya tampil di panggung-panggung bergengsi seperti L.A. Lights Indiefest dan Java Rockin’land.
Namun pada satu titik, Anwar harus memutuskan kembali ke kampung kelahirannya di Medan Timur dan memupuk karier baru. Hasilnya adalah The ASID, trio rock yang ia bentuk bersama bassis Fazil Iskandar dan dramer Sanders Gultom.
Pada pertengahan Juni lalu, The ASID pun memperdengarkan karya rekaman perdananya, sebuah lagu rilisan tunggal bertajuk “Back Where I Belong” sebagai perkenalan.
Lagu ini, sejatinya mengangkat narasi perjalanan hidup seorang perantau yang kembali ke akar jati dirinya. Syair dari “Back Where I Belong” ini merupakan sumbangsih penuh dari rekan band lama Anwar semasa di perantauan (Bandung), yakni Luky Kusumah dari band rock, Being Humans (BHMNS).
Dari larik yang ditulis sahabatnya tersebut, Anwar lantas meracik keseluruhan lagu dengan memberi ruang perenungan yang lapang untuk para pengembara dalam kehidupan modern yang serba cepat yaitu kembali posisi semula lengkap dengan sentuhan bluesy menggugah.
Emosi Mentah
Dari sisi musikal, lagu “Back Where I Belong” sendiri menampilkan persona musikal rock n roll a la The ASID dengan beragam pengaruh dari ceruk bebunyian blues, rock hingga psychedelic.
Beberapa referensi yang sedikit banyak ikut memberi pengaruh, diutarakan Anwar kepada MUSIKERAS, di antanranya adalah Jimi Hendrix, Stevie Ray Vaughan, Marcus King, Phliip Sayce, Henrik Freischlader, The Black Crowes hingga Led Zeppelin.
“Tapi ujung-ujungnya, semua dibawa ke rasa sendiri. Ini bukan soal meniru—tapi menerjemahkan blues ke bahasa The ASID sendiri,” seru Anwar meyakinkan.
Dalam penyajiannya, “Back Where I Belong” menghadirkan distorsi enerjik menggugah nan melodius: dengan petikan gitar yang tajam, gebukan dram yang menghentak, serta dinamika musik yang emosional—hasil dari padu padan harmonisasi antara intensitas musikal dan eksplorasi tema lirik yang mendalam.
Lebih jauh, The ASID memilih pendekatan komposisi yang lebih bluesy karena paham tersebut dianggap paling jujur mencerminkan suasana hati dan perjalanan personal Anwar sendiri sebagai musisi.
“Blues itu raw, jujur, dan langsung—nggak banyak basa-basi. Setelah dua dekade merantau, gue balik ke Medan dengan banyak cerita, luka, dan pembelajaran yang nggak bisa diungkap cuma lewat gaya musik yang ‘ramai’. Gue butuh ruang untuk bicara, dan blues ngasih ruang itu.”
Selain itu, lanjut Anwar, blues juga punya kekuatan untuk menyampaikan rasa rindu, penyesalan, penerimaan, dan harapan secara bersamaan. “Dan itu semua adalah emosi yang gue bawa pulang,” seru Anwar terus-terang.
Pendekatan bluesy juga terasa istimewa buat The ASID sendiri, karena memberi ruang eksplorasi yang lebih dalam. Anwar merasa bisa melepaskan banyak improvisasi di gitar, groove yang lebih ‘manusia’ serta dinamika yang hidup.
“Lagu ‘Back Where I Belong’ contohnya. Bukan sekadar nostalgia, tapi semacam pernyataan bahwa gue kembali ke akar—secara geografis dan musikal.”
Dengan pendekatan itu juga, secara musikal membuat karakter The ASID berbeda dibanding band-band rock lainnya lantaran menggabungkan akar blues klasik dengan pendekatan psikedelik dan rock & roll yang jujur tanpa kompromi.
Bukan sekadar meniru sound retro, tapi membawa semangat kebebasan dan eksplorasi dari era Jimi Hendrix dan Cream ke konteks personal dan lokal—ke realitas musisi Medan hari ini.
“Kami nggak terlalu peduli tren atau algoritma. The ASID lebih fokus pada emosi yang mentah, tone gitar yang ‘bernapas’, groove yang manusiawi, dan lirik yang datang dari pengalaman hidup. Lo bisa dengar di lagu ‘Back Where I Belong’, ada rasa blues yang dalam, tapi juga ada momen-momen psikedelik yang liar dan solo gitar yang intuitif.”
Uniknya lagi, setiap komposisi di The ASID bukan hasil jam session ramai-ramai, melainkan lebih ke proses perenungan, eksperimen, dan rekaman yang organik.

“Musik kami dibangun dari bawah, dari kamar dan studio kecil di teras rumah di Medan. Bukan dari ruang-ruang industri besar. Itu membuat setiap track punya suara yang personal dan jujur.”
Secara teknis, seluruh proses produksi rekaman lagu “Back Where I Belong” dilakukan di Showbox Studio, Medan. Proses mixing dan mastering dipercayakan kepada IJEN dari Showboxx.
Sementara untuk rancangan artwork lagunya, dipercayakan kepada ilustrator berpengalaman asal Bandung, Luthfil Hadi dengan konsep psychedelic yang terinspirasi dari corak-corak ilustrasi Jimi Hendrix Experience—salah satu influence The ASID.
O ya, bicara tentang trek-trek lainnya, “Back Where I Belong” memang baru permulaan. Saat ini, The ASID sedang menggodok album mini (EP) dengan tema tentang pulang, tentang bertahan, dan tentang blues yang terus hidup.
Sejauh ini, bakal ada tiga lagu tambahan yang segera direkam dalam waktu dekat, untuk mengejar target perilisan EP di akhir 2025. (mdy/MK01)