Sejak 17 Maret 2017 lalu, salah satu album penting dalam perjalanan sejarah musik rock Indonesia, yakni “Philosophy Gang” karya The Gang of Harry Roesli akhirnya resmi dibangkitkan kembali. Dirilis ulang oleh La Munai Records dalam format piringan hitam (vinyl) berbobot 180 gram, dan menyusul kemudian dalam format cakram padat (CD). 

Ketika pertama kali dirilis oleh Lion Records pada Juni 1973 silam, “Philosophy Gang” tak sempat beredar luas, namun hanya dibagi-bagikan secara gratis. Sehingga wajar, gaungnya tak segesit dan semasif – katakanlah – album-album milik God Bless, Shark Move, Giant Step, The Rollies, AKA hingga Panbers yang pada masa itu berjaya lewat karya-karya album.

Tapi entah bagaimana caranya, salah satu lagu dari album ini yang berjudul “Malaria” berhasil mencuri perhatian khalayak musik dan bahkan kerap didaur ulang oleh beberapa musisi dari generasi selanjutnya. Salah satunya yang terabadikan dalam sebuah album karya Erwin Gutawa Rockestra feat. Kikan pada 2007.

Jujur, memang “Malaria”-lah yang paling bisa dikategorikan easy listening, lumayan ramah di kuping. Komposisi lain di “Philosophy Gang” – sesuai siratan judul albumnya – tergolong liar dengan muatan aransemen yang lebih pas dikelompokkan ke ranah progresif, psikedelik serta jazz rock, plus lirik yang cenderung surealis.

Muatan album ini, jelas, tak lepas dari dominasi mendiang Harry Roesli (meninggal pada 11 Desember 2004) yang dikenal gemar melakukan penjelajahan musik yang ekstrim. Seperti yang diungkapkan oleh seorang pelukis dan juga sahabatnya, Herry Dim lewat tulisan di booklet yang menyertai versi reissue “Philosophy Gang”.

“Tidak ada satu pun pemusik Indonesia lainnya yang melakukan penjelajahan musikal seluas dirinya. Harry Roesli begitu merdeka melakukan lintasan musikal dari gaya musik populer hingga kontemporer. Tembok kaku pembatas antara musik tradisi dan musik baru pun ditabrak dan dibongkarnya. Banyak ‘kenakalan’ Harry Roesli yang ditandai dengan mengotak-atik wilayah tonal sekaligus atonal.”

Lewat komposisi “Peacock Dog”, “Roda Angin”, “Borobudur”, “Imagine (Blind)” dan “Malaria” (dua lagu lainnya, yakni “Don’t Talk About Freedom” dan “Roses” diciptakan oleh gitaris Albert Warnerin), Harry Roesli membiarkan imajinasinya melesat bebas dalam mengeksplorasi berbagai elemen musik. Eksplorasinya yang maksimal – yang terdengar seperti sebuah petualangan musikal tanpa tepi – sepertinya paling kental terasa di komposisi “Borobudur” (dan juga “Don’t Talk About Freedom”) yang menghipnotis, menghadirkan kolaborasi instrumentasi yang dinamis dan berani.

Penggarapan rekaman album “Philosophy Gang” sendiri dieksekusi di Musica Studios, Jakarta dalam format jamming, hanya menghabiskan waktu selama lima hari untuk merampungkan tujuh lagu. Selain Harry Roesli yang memainkan bass, perkusi, gitar akustik dan mengisi vokal, juga melibatkan Albert Warnerin (gitar elektrik/perkusi/vokal), Janto Soedjono (drum/perkusi), Indra Rivai (organ/piano), Harry Pochang (harmonika/perkusi/vokal) serta Dadang Latief (gitar akustik). Salah satu lagu dari album ini, yakni “Don’t Talk About Freedom” pernah termuat di album kompilasi bertajuk “Those Shocking, Shaking Days, Indonesian Hard, Psychedelic, Progressive Rock and Funk: 1970-1978” yang dirilis oleh Now Again Records, sebuah label independen dari Amerika Serikat.

Sepanjang hidupnya, Harry Roesli yang dilahirkan di Bandung pada 10 September 1951 dikenal sebagai penggerak budaya musik kontemporer yang unik, namun komunikatif dan konsisten melancarkan kritikan sosial. Selain melahirkan banyak karya album musik yang nyeleneh, warisan lain dari cucu pujangga besar Marah Roesli ini adalah Depot Kreasi Seni Bandung (DKSB) yang didirikannya di rumahnya di Bandung sebagai wadah berkumpulnya para para seniman jalanan dan tempat berdiskusi para aktivis mahasiswa. Disamping Gang of Harry Roesli yang dibentuknya pada awal era ‘70an bersama Albert Warnerin, Indra Rivai dan Iwan A Rachman, Harry juga tercatat pernah mendirikan kelompok teater bernama Ken Arok pada periode 1973-1977. (MM)

.