“Saya berambut gimbal karena Max Cavalera dari Sepultura, bukan (karena) reggae, hahaha…!”

Sepintas, melihat tongkrongan Bayu Setiawan – atau yang lebih dikenal dengan nama Bayu Roots – memang terlihat seperti seorang musisi reggae. Berambut panjang dan gimbal. Dan memang, ia sempat tergabung sebagai gitaris di Gangstarasta, band beraliran reggae, pada 2005 silam. Tapi sebenarnya, kecadasan metal-lah yang lebih mendominasi aliran darahnya. Bayu berangkat dari referensi thrash metal dan jazz, yang lantas menggelora ke ranah nu metal saat band-band seperti Korn, Soulfly, Deftones, Sevendust, Faith No More, System of A Down, P.O.D. hingga 311 mengharu-biru panggung metal di era 2000-an.

“Nu metal ini mewakili saya bana (gue banget)! Semua elemen musik yang saya suka ada di nu metal,” seru Bayu kepada MUSIKERAS, menegaskan.

Berangkat dari selera itulah, akhirnya Bayu meracik konsep musik yang ia inginkan sendiri di bandnya yang bernama ROOTS, pada 2009 silam. Hingga hari ini, tepatnya sejak 16 Juni 2022 lalu, Bayu terus menunjukkan taring eksistensinya, dengan meluncurkan album mini (EP) beramunisi empat lagu, sekaligus mempromosikan lagu rilisan tunggal unggulannya yang bertajuk “Pe-Ka (Pembunuh Karakter)”. 

Tapi nu metal – di tangan Bayu – tidak seperti apa yang dibayangkan banyak orang. Eksperimen serta eksplorasi berbagai elemen menjadi nyawa utamanya. Lebih terkesan seperti persilangan (crossover) berbagai elemen musik. Khususnya di EP terbaru tadi, dimana ia mengombinasikan perkusi Latin dan suara Serunai khas Minangkabau, Sumatra Barat di beberapa bagian. Sementara di vokal, Bayu memadukan gaya metal dengan reggae. Ada growl, scream, ragga plus liukan reff yang bisa mengajak ‘sing along’. Sementara di lini distorsi, Bayu menerapkan riff gitar di register rendah (low tune) hasil penalaan standar A, dalam iringan ketukan tempo ala nu-metal. 

“Sebetulnya, aransemen musik yang saya buat seperti ini sudah banyak dilakukan beberapa musisi lain juga. Crossover. Hanya, masing-masing musisi punya akar musiknya tersendiri. Saya bikin lirik dan aransemen lagu sendiri untuk kepuasan batin sendiri, juga mewakili berbagai genre musik dan pengalaman yang pernah saya mainkan sejak 1997. Banyak eksplorasi dan belajar menge-mix dengan elemen musik lain yang saya suka,” tutur Bayu mengungkap latar belakang proses kreatifnya.

Proses penggarapan EP dan “Pe-Ka (Pembunuh Karakter)” sendiri menghabiskan waktu hampir dua tahun, lantaran Bayu benar-benar ingin menampilkan sesuatu yang berbeda. Keseluruhan tahapan dieksekusi dan diproduseri oleh Bayu Roots sendiri, dan merekamnya di Tonebetter Studio Lab bersama sound engineer, Rsharsh Leonard di Bogor, Jawa Barat.

Di lirik lagu “Pe-Ka (Pembunuh Karakter)”, Bayu ingin memberitahukan kepada setiap orang bahwa jangan menjadi ‘pembunuh karakter’ yang mengubah diri sesorang yang terinjak-injak karena omongan dan gosip (hoax) yang tidak benar. “Mewakili pengalaman hidup diri saya sendiri dan mungkin berbagai pengalaman yang pernah dialami banyak orang. Hak-hak kita terinjak oleh omongan, gosipan, yang belum tentu ada kebenarannya. Dan sebagian orang-orang kita lebih percaya hoax, daripada sebuah kebenaran.”

Selain “Pe-Ka (Pembunuh Karakter)”, di EP juga termuat lagu “Killing Me”, “Nosey” serta “Suara Alam”, dimana Bayu mengolaborasikan lirik berbahasa Sunda dan Minang. “Karena kebetulan saya keturunan Minang (Padang), jadi saya pakai lirik berbahasa Minang di beberapa lagu ROOTS.”

.

.

Oh ya, walau terkesan mengedepankan pencitraan sebagai sebuah band, tapi ROOTS sebenarnya lebih tepat dikatakan sebagai proyek solo dari Bayu. Sejak awal, saat menggarap karya lagu rekaman pertamanya di studio milik Ade Kunci (dramer band Kunci) di kawasan Minangkabau, Manggarai, Jakarta hingga penyempurnaan rekaman di studio EC3 Rawamangun, milik Fajar Satritama (Edane), Bayu sudah mendominasi keseluruhan proses.  

“Memang sangat nggak mudah proses membuat genre persilangan metal dan reggae. Tidak semua personel memahami cara saya, gaya saya membuat lagu-lagu dan cara gerilya musik saya. Karena saya selalu bikin lagu nge-take gitar, bass dan instrumen lainnya sendiri, mereka tinggal ngikutin aja instruksi dari saya. Kebanyakan dari mereka udah pesimis ROOTS ini tidak akan jadi apa-apa. Walaupun saat itu, tawaran manggung di pensi SMA, kampus-kampus sampai event-event banyak di Jakarta,” ujar Bayu mengenang.

Demi memuluskan visinya, Bayu mau tak mau menjalani ROOTS dalam kondisi yang tidak nyaman. Tak pernah ada personel tetap. Bahkan pernah memboyong penyanyi latar untuk isian ragga langsung dari Jayapura, Papua atas biaya sendiri. Lalu sempat pindah bergerilya ke kota Bandung pada periode 2013-2017, dan tak juga menemukan tandem yang sehati. Selanjutnya, Bayu pulang ke Bukittinggi, Minangkabau dan meneruskan karir ROOTS di sana, tapi juga tak bertahan lama lantaran terkendala biaya tinggi operasional bolak-balik Bukittinggi – Jakarta. Pada pertengahan 2019, Bayu memutuskan kembali ke Jakarta dan memanfaatkan additional player dari berbagai band di Jakarta untuk memperkuat ROOTS. Hingga akhirnya, Bayu kini memilih menetap di kota Bogor dan tetap menjalankan ROOTS sendirian.

“Semoga saja nanti akan ketemu musisi yang berani mau berjuang bareng di ROOTS,” ujarnya berharap.

Sebelum EP barunya, ROOTS yang tercatat pernah manggung di Fujiyama Fest 2012, Jepang dan Asian Fest 2011 di Thailand juga sudah pernah melepas lagu rilisan tunggal seperti “Faith”, “Movin” dan “Rebelution” (2010), lalu “Manusia Beringas” (2016), album “Rising Sun”  dengan lagu andalannya, “Rising Sun” dan “Malaikat Kematian” (2018). Lagu “Pe-Ka (Pembunuh Karakter)” sendiri kini bisa didengar secara penuh via berbagai layanan musik digital seperti Spotify, Joxx, YouTube, Bandcamp hingga Deezer. EP juga bakal dihadirkan dalam format cakram padat (CD) yang akan diproduksi dan diedarkan oleh Marawa Records, mulai Agustus 2022 mendatang dalam jumlah terbatas. (mdy/MK01)

.

.