Sebuah band penggeber grindcore bernama Pemberontak yang sudah eksis sejak 2002 silam di Bandung, kini melakukan reinkarnasi. Sejak tahun lalu, kini hadir dengan identitas baru dengan mengibarkan nama Motorgrind agar bisa lebih mengeksplorasi beragam referensi secara musikal.

Hasil pengembangan itu, kini sudah dilampiaskan lewat sebuah karya rekaman album debut bertajuk “Massacre and Resistance” yang beramunisikan 10 lagu tentang kemarahan, keresahan, protes, kehancuran negara, pembalasan dan pembantaian yang dilakukan kaum kuasa yang semena-mena terhadap rakyatnya sendiri. 

Kepada MUSIKERAS, pihak Motorgrind menegaskan bahwa untuk lirik, mereka memang lebih banyak mengambil tema sosial, politik, perlawanan dan keresahan terhadap kondisi saat ini. Tema lirik itu, sesuai dengan semangat musik yang mereka gaungkan. Buat mereka, grindcore memang terlahir dari banyak keresahan.

Dengan berbekal ‘hasrat’ yang menggebu, Motorgrind yang dimotori vokalis Chandra Hermawan (Conot), gitaris Faisal Rahman (Bobby), bassis Teuku Cut Adli Hafidli (Kudil) dan dramer Taufik Sutisna (Omo) akhirnya bisa menyelesaikan materi album tersebut, dengan berbekal berbagai referensi.

“Untuk acuan referensi, tentunya band-band grindcore seperti Napalm Death, Nasum, Pig Destroyer, Nails dan Phobia,” cetus Motorgrind lagi, memperjelas.

motorgrind

Tapi yang membuat musik Motorgrind sedikit berbeda, adalah adanya bekal pengalaman dalam bereksplorasi selama 20 tahun, saat masih mengibarkan nama Pemberontak. 

“Agar kami bisa lebih bereksplorasi lebih luas lagi tentang musik grindcore dan memaknai protes dan keresahan di jaman sekarang, di kondisi hari ini.”

Proses pembuatan musik “Massacre and Resistance” secara keseluruhan dilakukan di studio, memanfaatkan momen saat mereka rehearsal. Pembuatan ritme vokal, riff gitar, bass serta pola ketukan dram, banyak dilakukan melalui proses trial and error untuk mendapatkan komposisi dan hasil yang sesuai keinginan mereka.

“Setelah mendapatkan hasil yang sesuai, kami merekamnya di Dark Studio,  milik dramer kami dan vokal di Yans Studio. Untuk proses keseluruhan mixing dan mastering kurang lebih 3-4 bulan lamanya.”

Dari 10 lagu yang mereka muntahkan, para personel Motorgrind sepakat menyebut lagu yang berjudul “Bunuh Dia” dan “Omong Kosong” sebagai komposisi yang cukup menantang eksekusinya di studio. Walau kelihatannya lagu-lagu mereka, secara keseluruhan berdurasi singkat dan terkesan mudah dibuat, akan tetapi untuk dua lagu tadi sedikit berbeda. 

“Cukup banyak bongkar-pasang riff gitar dan beat dram agar selaras dengan ritme vokal, dan lirik juga menyesuaikan dengan tema album kami. Lagu tersebut cukup berbeda dengan lagu lain yang kami suguhkan, terdengar lebih agresif dan tajam.”

“Massacre and Resistance” sudah dirilis bulan ini, diedarkan via label rekaman lokal asal Bandung, Stockers Records dalam format digital, juga fisik seperti kaset dan CD. (aug/MK02)