Lebih dari satu tahun sejak unit metalcore yang berbasis di Jakarta ini memuntahkan album mini (EP) debutnya, “Rising Beyond The Eclipse”, tepatnya pada Oktober 2023 lalu, kini Engage In Vengeance (EIV) akhirnya melanjutkan energi bermusiknya.
Tapi kali ini sedikit berbeda. Karena lewat peluncuran lagu rilisan tunggal terbarunya yang berjudul “Satu Jiwa Satu Rasa”, EIV menggaet klub sepak bola Malang, Arema FC untuk berkolaborasi. Memadukan sepak bola dan musik.
“Pada dasarnya kami juga menyukai olahraga walau kadang mungkin hanya sampai game saja,” seru vokalis Matheo In Rio sedikit bergurau.
Tapi untuk kerja sama ini, EIV sangat serius menjalaninya. Bagi para personelnya, konsentrasi mereka kali ini lebih kepada “fall down seven times; head up eight” dalam berbagai peristiwa keterpurukan dalam sebuah pertandingan, bahkan dalam satu musim laga.
“Apa yang bisa kami lakukan untuk menyemangati para pemain atau pun penonton?”
Empathy for the beauty of fooball menjadi urat nadi kerja sama EIV dengan Arema FC. EIV melihat, secara musikal, segala kejatuhan itu berkesan dark, dan itu cocok dengan karakter musik EIV.
Namun, seperti EP mereka yang bertema motivasi diri, maka menurut dramer Gilang Ardhan, pola pikir harus diubah, bagaimana dari jatuh bangun bisa memicu keceriaan, kembali gembira. “Tak hanya bergumul pada faktor kekalahan dan kekecewaan mendalam yang berlebihan.”
Dan bukan kebetulan jika EIV mengeluarkan EP debut mereka pada Oktober tahun lalu, dan kolaborasi dengan Arema FC juga terjadi di Oktober 2024. Sehingga, kedua pihak pun setuju untuk merilis lagu “Satu Jiwa Satu Rasa”.
Momennya seakan diapit peristiwa-peristiwa sakral sejarah bangsa Indonesia, yakni Sumpah Pemuda dan Hari Pahlawan, sehingga menjadi tema yang sangat tepat untuk kolaborasi tersebut.
Jika menyampaikan pesan-pesan moral kebaikan adalah tugas seniman, maka EIV ingin menjadi bagian dari itu semua. “Kalau bukan dimulai dari kami sebagai musisi kepada siapa dan kapan lagi pesan perubahan untuk menjadi lebih baik di setiap aspek ‘hobi’ dapat tersampaikan kepada pecinta musik dan pecinta sepak bola Tanah Air,” seru bassis Liya Amelia, satu-satunya personel wanita di band ini, menambahkan.
Metalcore yang Ringan
Tapi di luar misi itu, EIV tetap berusaha menjaga karakteristik musik mereka, menjadi salah satu band beraliran keras yang lebih mudah diterima oleh berbagai kalangan pecinta musik Tanah Air.
“Dengan catatan tetap tidak menghilangkan nyawa (metalcore) dari EIV sendiri,” cetus gitaris Evan ‘Nape’ Ramadhani, mempertegas.
Lagu “Satu Jiwa Satu Rasa” juga tak luput dari terapan formula itu. Namun dengan pendekatan yang tidak terlalu distortif. Menurut penuturan Evan kepada MUSIKERAS, kali ini ia mencoba racikan sound baru.
“Nggak metal banget, tapi lebih crunch, supaya lebih ringan. Referensi sound gitar lebih ke UK/British,” serunya.
Sementara untuk isian dram dan bass, kali ini Gilang dan Liya masing-masing cenderung mengadaptasi pola ketukan pop punk serta betotan bass yang bernuansa Muse. Namun sekali lagi, tanpa mengesampingkan ciri metalcore yang menjadi benang merah.
“Konsep metalcorenya,” kata Evan lagi, “tetap ada di bagian interlude dan bagian drop, namun di bagian song kami bikin lebih light dengan mengubah sound gitar dan ketukan dram.”
“Secara notasi lebih happy gitu, dan intensitas scream-nya nggak kayak di lagu-lagu kami yang lain. Jadi lebih banyak clean vocal,” ujar Matheo melengkapi.
Tapi di lini lirik, sangat berbeda dibanding materi di EP debut mereka. Karena kali ini, sesuai misi lagunya, EIV mencoba menggunakan bahasa Indonesia. Dan menurut Matheo, itu yang paling menantang dan agak menyedot waktu penulisannya.
O ya, satu hal yang lagi yang membawa suasana baru di “Satu Jiwa Satu Rasa” adalah keterlibatan Anasthasia Sadrach sebagai produser musik dalam proses kreatif penggarapannya. Ia sebelumnya pernah terlibat di proses produksi rekaman beberapa band ternama seperti Peterpan, Letto, Nidji, d’masiv, Geisha, Vierra, Iwan Fals, Chrisye, Seurieus hingga dedengkot thrash metal Tanah Air, Sucker Head.
Seperti dejavu, Anas – panggilan akrabnya – melihat EIV tak sekadar memiliki potensi, namun punya rasa hunger untuk doing more things. Karena menyoal definisi ‘indie’ kini telah berkembang luas. Saat ini, istilah tersebut menggambarkan estetika, suara, atau pendekatan tertentu terhadap musik yang dianggap independen atau alternatif, serta bagaimana gaya unik mereka dan cara mereka menciptakan musik.
“Apa tujuan dan target mereka, juga bagaimana mereka memasarkan karya mereka. Itu yang saya dan EIV komunikasikan dalam kerja sama kami,” urai Anas menjelaskan proses keterlibatannya kali ini, yang menerapkan metode dan output yang sesuai perkembangan jaman.
Sejak 11 November lalu, “Satu Jiwa Satu Rasa” yang musik dan vokalnya direkam di Terogong Musik Studio, Bros Studio dan Studio Harper (untuk mixing dan mastering) sudah terhidang di berbagai digital streaming platform.
Sementara untuk video liriknya, bisa ditonton di YouTube. (mdy/MK01)
Leave a Reply