Jingar antara lain menyerap beberapa pengaruh dari beberapa monster cadas mancanegara, seperti Sodom, Enforced, Slayer, Power Trip hingga pejuang hardcore Terror dalam menggarap empat lagu yang termuat di “No One Defends”.
Sebuah konsep persilangan (crossover), yang mereka klaim jarang ditemukan di kota asal band ini, yaitu Medan, Sumatera Utara.
“No One Defends” sendiri merefleksikan kekecewaan terhadap kekerasan politik dan ketidakadilan yang ada lewat muntahan lirik lagu-lagunya. Karena mereka beralasan, hal itu disadari berdampingan terus dengan hidup mereka.
Misalnya, khususnya yang terjadi di Palestina, dimana kekerasan politik dan kekuasaan negara maju mendukung terjadinya genocide. Kenyataan itu akhirnya juga menjadi pemicu bagi Jingar untuk menggarap “No One Defends”.
Adalah gitaris M. Al Qodri (Ary) yang memulai proses penggarapan EP tersebut. Ia bermodalkan nada di gitar, yang lantas dibawa ke personel lain untuk mendiskusikan pengembangannya. Setelah melalui proses revisi, Ary dan vokalis Jawara Adhiyata, bassis Yusril Maafif Harahap dan dramer M. Al Hudawi (Alwi) lantas merekamnya di ponsel.
Langkah berikutnya, Alwi kemudian membuat aransemen dan isian dramnya, juga menentukan tempo yang pas, berdasarkan rekaman gitar Ary tadi. Setelah aransemen rampung, langsung dilanjutkan dengan menjajalnya di studio.
Ketika semuanya dirasakan sudah matang, Jingar pun merekamnya di Qils Music untuk instrumentasi. Sementara untuk pemolesan mixing dan mastering dieksekusi di Noise Company.
Memaksimalkan Keterbatasan
Keseluruhan proses produksi “No One Defends”, menurut ungkapan Jingar kepada MUSIKERAS, lumayan memberikan tantangan untuk mewujudkannya.
“Dengan alat yang sederhana, cukup memakan waktu untuk mencari sound yang cocok dengan porsi musik Jingar,” seru pihak band, terus-terang.

Misalnya di gitar, Ary hanya mengandalkan preamp, booster dan noise supressor, yang langsung dialirkan ke perangkat DAW (digital audio workstation) dan mencari cabinet simulator yang cocok untuk gear-nya.
“Selain gitar, vokal juga menjadi tantangan tersendiri dengan waktu yang terbatas. Memakan waktu yang lumayan panjang karena setelah rampung empat lagu, kami mencoba mendengar kembali demo yang sudah jadi dan ada part tertentu yang dirasa kurang menyatu dengan aransemen musik, dan memutuskan untuk retake untuk hasil yang lebih maksimal.”
Suntikan Sarune
Hasil akhir rekaman empat lagu yang disuguhkan di “No One Defends”, secara teknis, cukup memuaskan bagi Jingar. Namun khusus di lagu “Discrimination”, mereka menyebutnya lebih spesial.
“Karena kami menggabungkan alat musik tradisional Batak Toba dan Karo, yaitu ‘sarune’ yang diisi oleh teman kami, Riswan selaku pemain musik tradisional Batak. Sesuai dengan nama Jingar yang (juga) merupakan bahasa suku Batak Toba.”
Ide pemilihan Jingar sebagai nama band sendiri tercetus pada pertengahan 2022 lalu, ketika pertama kali band tersebut diputuskan terbentuk. Waktu itu terceletuk kata ‘na jingaran’, yang dalam bahasa Batak Toba kurang lebih bermakna ‘rebel’.
Kini, EP “No One Defends” yang juga memuat lagu berjudul “Full of Anger”, “Burning Soul” dan “No One Defends” sudah bisa disantap di berbagai digital streaming platform sejak 12 Desember 2024 lalu.
Untuk peredarannya, Jingar bekerja sama dengan label asal Medan, Bukan Records. Rencananya, awal tahun depan, EP tersebut juga bakal diluncurkan dalam format kaset pita. (mdy/MK01)
Leave a Reply