Pop tapi gahar. Itu konsep yang dikejar oleh Pentagressive, sebuah nama baru di skena musik cadas Tanah Air, yang baru saja merilis single debut bertajuk “Alive” via berbagai gerai digital. Mereka memanfaatkan ‘kemanisan’ melodi dari permainan synthesizer, yang dicemplungkan dalam komposisi berkonteks cadas. Sebuah ramuan musik yang terjalin dari berbagai pengaruh dari band-band dunia seperti The Beatles, Rush, L’arc~en~ciel, Nirvana, King Crimson, Karnivool, Slipknot, Meshuggah, Tricot, Chon hingga karya-karya komposer soundtrack macam Nobue Uematsu, Johann Johanson Gustav Holz.

“Idenya, gue ingin bikin lagu rock yang mood dan feel-nya cerah dan gembira. Sepertinya gue merasa kok gue sering bikin musik yang gelap, padahal personality gue nggak gitu-gitu amat,” ungkap Didi Priyadi kepada MUSIKERAS, vokalis dan gitaris yang sebelumnya dikenal lewat band progressive/avant-garde asal Jakarta, Kelakar.

Dari situ, lanjut Didi, ia merasa tiba-tiba ingin membuat lagu atau band yang musiknya kencang, tapi nada dan feel-nya uplifting. Jadi di lagu “Alive” tersebut, Didi bersama personel Pentagressive lainnya – Mattheus Aditirtono (vokal/bass), Wisnu Adrian (kibord) dan Bistok Rukanzi (dram) – sepakat lebih mengedepankan melodi vokal yang cerah.

“Progresi kordnya berputar-putar, tapi ada modulasi atau perpindahan kunci nadanya. Walau begitu, tetap saja kalau didengar, masih terasa ringan dan cerah. Namun sebagai penggemar musik cadas tentunya kami tetap cinta gitar distorsi, lantas Bistok itu juga pecandu double pedal drumming. Nah, elemen itu tetap ada. Kibord synthesizer di lagu ini juga dieksplor sebagai elemen melodi untuk intro dan filler. Gue sendiri terinspirasi banget sama harmoni vokal dari The Beatles, Queen dan Pink Floyd, khususnya di lagu ‘Us and Them’. Elemen vokal harmoni dan synthesizer itu membuat distorsi gitar dan double kick drum-nya tidak terasa agresif, jadi ramah telinga,” urai Didi lagi, memperjelas.

Proses kreatif penggarapan single “Alive” sendiri lebih mengandalkan teknologi musik, tanpa melalui proses workshop di studio latihan. Mengingat masing-masing personel Pentagressive sibuk dengan kegiatan bermusiknya yang sangat padat. Didi memulainya dengan menulis lagu dasar, melodi dan lirik, lengkap dengan isian dram, gitar dan bass dalam format MIDI menggunakan plug-in virtual instrument (VST).

“Begitu semua sudah memberikan input, komentar dan akhirnya sepakat dengan aransemen yang disetujui, maka kami mulai proses rekaman dram di Leitstar HQ. Setelahnya, semua proses rekaman dilakukan di rumah masing-masing menggunakan perangkat home studio.”

Bagi Bistok dan Mattheus yang sama-sama juga aktif di grup band alternatif prog metal D’ark Legal Society, Pentagressive memerikan ruang ekspresi musikal yang lebih berkembang. Lebih variatif. “Punya variasi dan karakter yang berbeda dibanding musik rock pada umumnya,” tegasnya.

Ihwal kelahiran Pentagressive yang baru disahkan terbentuk pada 18 September 2018 lalu berawal dari band Kelakar. Kebetulan, Didi, Bistok dan Mattheus memang tergabung di band tersebut. Hingga suatu hari, Didi tiba-tiba mendapatkan inspirasi untuk membuat lagu “Alive”, namun konsepnya sangat jauh dari Kelakar. Ketika diperdengarkan ke personel Kelakar lainnya, semuanya tertarik bergabung, kecuali kibordisnya, Reynold yang belakangan mengembangkan proyek band lain bernama Morgia. Akhirnya, ketiganya pun memutuskan untuk meneruskan proyek tersebut dengan nama baru.

Soal penggunaan nama, menurut Mattheus, Pentagressive bisa diartikan dua aspek, yakni ‘Penta’ yang berarti ‘lima’. Musik Pentagressive lahir dari garapan lima instrumentasi, yakni dram, bass, synth, gitar dan vokal. Sementara untuk kata ‘gressive’ tentunya diambil dari kata ‘progressive’. Karena pada dasarnya, idealisme untuk karya-karya Pentagressive bisa terus ber-progress.

“Nggak berarti harus main genre progressive. Selain itu, aspek lainnya, kami berharap di musik ini kami bisa berkomunikasi secara lima arah, yakni dari masing-masing personel yang jumlahnya empat orang, sementara yang kelima adalah si pendengar atau penikmat musik kami.” (mdy/MK02)

.