Saat pandemi Covid-19 menyerang Indonesia di awal Maret 2020 lalu, Down For Life adalah salah satunya yang terkena imbasnya. Beberapa jadwal manggung, termasuk di beberapa negara Asia untuk Mei mendatang telah dibatalkan, juga termasuk tur Eropa di September. Kondisi itu membuat unit keras asal Kota Solo, Jawa Tengah ini mau tidak mau harus mencari cara agar tetap melakukan sesuatu, tetap berkarya di tengah keterbatasan karena pandemi. Hasilnya adalah single “Apokaliptika” yang diletupkan dalam format digital hari ini.
“Apokaliptika” sendiri adalah wajah baru dari “Dead Shall Rise”, lagu yang sebelumnya sudah beberapa kali dimainkan Down For Live secara live di panggung. Adalah Stephanus Adjie, vokalis dan motor penggerak utama Down For Life yang mengusulkan menggarap ulang lagu “Dead Shall Rise”, mengubah lirik dan judulnya menjadi “Apokaliptika”.
“Perubahan ini dirasa lebih relevan dengan keadaan yang terjadi,” cetus Adjie kepada MUSIKERAS, menegaskan.
Sebenarnya, bisa dibilang penggarapan single “Apokaliptika” sudah agak lama, tepatnya sejak 2018 dan pertama dibuat setelah album mini ketiga, yakni “Menantang Langit” dirilis. Proses pengolahannya dimulai dari riff gitar Rio Baskara, yang lantas diteruskan personel lainnya: Adjie, Isa Mahendrajati (gitar), Mattheus Amadeus (bass) dan Muhammad Abdul Latief (dram) hingga tercapai format aransemen yang diinginkan. Rekaman “Apokaliptika” dieksekusi pada Oktober 2019 di Drak Tones studio milik Blackandje Records di kawasan Cijantung, Jakarta Timur, bersamaan dengan single lainnya, yakni “Mantra Bentala” yang sudah dirilis lebih dulu tahun lalu.
Konsep aransemen “Apokaliptika” digambarkan Stephanus Adjie selaras dengan pergerakan bermusik Down For Life. Mereka tidak pernah membatasi proses kreatif musiknya, jadi berjalan sesuai dengan apa yang mereka inginkan dan rasakan.
“Semua lagu Down For Life adalah respon dan jawaban dari apa yang terjadi kepada kami. Secara musik mungkin lebih heavy, lebih keras, lebih kejam. Tentu ini menurut persepsi kami. Cannibal Corpse, Decapitated, Behemoth, Gojira, Thy Art is Murder, Bolt Thrower akhir-akhir ini sangat berpengaruh bagi kami. Jadi bisa dikatakan ramuan death metal dan black metal dengan balutan sound yang modern. Sesuatu yang belum pernah kami lakukan di album sebelumnya. Kami berusaha lebih memaksimalkan potensi kami dengan eksplorasi sound, juga vokal, menggali imajinasi dan kreasi bermusik. Bagi Down For Life, penggarapan single ‘Apokaliptika’ dan ‘Mantra Bentala’ adalah gambaran album keempat nantinya. kemudian hasilnya nanti bagaimana itu terserah apresiasi dan persepsi masing-masing (yang mendengarkan). Kami adalah sekumpulan pria biasa yang bermain metal di band hardcore.”
Sejauh ini, seeharusnya Down For Life sudah masuk studio rekaman lagi pada bulan puasa lalu untuk merampungkan materi album keempat. Namun sayang, pandemi telah menunda niat tersebut. Ditambah lagi kondisi personel yang terpisah-pisah. Adjie dan Mattheus di Jakarta, Rio dan Latief di Solo dan Isa di Yogyakarta, sementara rekaman dilakukan di Jakarta.
“Tapi sambil menunggu keadaan membaik, kami bisa menyiapkan materi album lebih matang lagi. Saat ini sudah ada enam lagu yang sudah jadi dan tiga lagu (lainnya) yang sedang dikerjakan. Mungkin akan dilakukan rekaman bertahap sambil menunggu pandemi ini selesai. Kami tidak mempunyai target pasti untuk kapan harus selesai karena beradapatasi dengan keadaan yang tidak dapat diprediksi. Keinginannya pandemi segera selesai dan kami segera masuk studio lagi,” beber Adjie berharap.
Down For Life yang terbentuk sejak 1999 silam sejauh ini telah merilis dua album studio, yakni “Simponi Kebisingan Babi Neraka (2008) dan “Himne Perang Akhir Pekan” (2013). Pada April 2018, Down For Life merilis dua single dalam format piringan hitam (vinyl) berisi lagu “Liturgi Penyesatan” dan “Kerangka Langit”, yang merupakan nomor daur ulang milik band rock legendaris dari Solo, Kaisar. (mdy/MK01)
.
Leave a Reply