Ia awalnya besar di ranah pop, country dan folk, dengan tema lirik yang menyeimbangkan sensitivitas realita kehidupan sehari-hari, problema cinta picisan yang membumi hingga kritikan pedas terhadap ‘sandiwara’ panggung politik. Tapi sejak berkolaborasi dengan gitaris God Bless, Ian Antono di album “1910” pada 1988 silam, sosok Iwan Fals berubah drastis. Menjadi lebih lantang dan beringas. Gitar akustik dan harmonika yang biasanya lekat dalam citra dirinya kini ditopang raungan gitar berdistorsi plus geraman vokal yang lebih serak dan meledak-ledak.

Dari “1910” yang antara lain melejitkan lagu “Ada Lagi yang Mati”, “Balada Orang-Orang Pedalaman”, “Pesawat Tempurku”, “1910” dan “Buku Ini Aku Pinjam”, kerja sama dengan Ian Antono lantas berlanjut di album “Mata Dewa” (1989). Album rilisan AIRO Records dan Musica Studio’s tersebut konon digarap secara profesional. Adalah musisi, budayawan dan pengusaha Setiawan Djody yang membiayai produksi rekamannya, yang mengandalkan teknologi terbaik era itu.

Secara komersil, karya ini pun meraup kesuksesan dan sekaligus menempatkan Iwan Fals di deretan rocker elit Indonesia masa akhir ‘80an. Imbasnya lumayan fantastis. Popularitas Iwan juga menyeretnya menjadi bagian dari sebuah kolusi paling fenomenal dan berani dalam sejarah musik rock Tanah Air.

Atas prakarsa Setiawan Djody pula, Iwan dilibatkan di proyek album musikal paling ‘badung’ bernama “Swami I” (1989) serta “Kantata Takwa” (1990). Di Swami, Iwan bersinergi dengan Sawung Jabo beserta personel band Sirkus Barock lainnya. Sementara di Kantata Takwa, ada bauran energi kreativitas bersama mendiang musisi legendaris Jockie Surjoprajogo (God Bless) dan budayawan dan penyair WS Rendra, disamping Sawung Jabo dan Setiawan Djody. Formasi ini juga diperkuat barisan musisi rock papan atas seperti Donny Fattah (God Bless), Eet Sjahranie (Edane) hingga Toto Tewel (Elpamas).

.

.

Lebih dari 30 tahun kemudian, tepatnya pada peringatan Hari Musik Nasional yang jatuh pada hari ini, 9 Maret 2021, album “Mata Dewa” yang antara lain beramunisikan lagu “Air Mata Api”, “Berkacalah Jakarta”, “Yang Terlupakan”,” PHK”, “Puing” serta “Mata Dewa” akhirnya kembali diabadikan lewat rilisan berformat piringan hitam (vinyl). Sebelumnya, Musica Studio’s juga telah meluncurkan “1910” dalam format yang sama. 

Memang, tren mengonsumsi musik dari media piringan hitam yang melanda dunia nampaknya menjadi momentum yang paling masuk akal dalam melestarikan karya-karya rekaman fisik saat ini. Cakram padat (CD) tidak lagi menjadi primadona ketika teknologi digital streaming menyalip. Tapi piringan hitam mampu membayang-bayangi penjualan digital dan berada di peringkat kedua dengan catatan penjualan yang terus meningkat dibanding CD dan kaset, dari tahun ke tahun.

Mengintip data yang dikeluarkan oleh Official Charts Company (OCC) Inggris, penjualan piringan hitam di negara tersebut hampir mencapai 4,8 juta pada 2020, atau meningkat sebanyak 11.5% dibanding tahun sebelumnya. Di Amerika Serikat, penjualan piringan hitam menyentuh angka 27.5 juta, atau naik sekitar 46 % dibandingkan 2019. Sementara menurut perhitungan portal Discogs, 2020 dihujani penjualan rilisan fisik mencapai 16 juta di seluruh dunia, dan 12 juta di antaranya adalah piringan hitam!

Di Indonesia, tidak jauh berbeda. Minat mengonsumsi piringan hitam juga meningkat secara signifikan. Memang – seperti biasa – tidak ada data pasti secara statistik mengenai angka penjualannya. Namun bisa dilihat lalu lintas penjualan piringan hitam di berbagai pasar daring atau media sosial yang terbilang sangat aktif. Seiring dengan keluarnya berbagai model pemutar piringan hitam modern, dengan harga yang ekonomis, yang juga berhasil merebut perhatian konsumen remaja, atau generasi baru pelahap produk-produk fisik. 

Tak lupa, tidak sedikit pula band – khususnya di ranah rock dan metal – yang juga memilih piringan hitam sebagai salah satu opsi format perilisan album. Sebutlah di antaranya seperti Godbless, Rotor, Seringai, Burgerkill, Deadsquad, Koil, The SIGIT, Kelompok Penerbang Roket, Death Vomit hingga Siksakubur yang telah melakukan itu.

Kembali ke album Iwan Fals. Kehadiran “1910” dan “Mata Dewa” – dan konon menyusul pula album “Swami I” dan “Kantata Takwa” – adalah angin segar dalam pelestarian sejarah musik Tanah Air. Khususnya di skena rock. Mengingat rilisan album-album legendaris tersebut sudah menjadi artefak langka di pasaran. Layak diapresiasi. Kalau pun ada ‘cacat’, hanya di perancangan kemasan yang masih terkesan asal repro, malas dan kurang usaha. Tidak digarap secara serius sebagai sebuah sampul piringan hitam yang proporsional dan representatif. (mudya mustamin/MK01)