Seiring dengan meningginya minat penikmat musik untuk mengonsumsi musik dari media piringan hitam (vinyl), salah satu label rekaman tertua di Tanah Air, Musica Studio’s pun bergerak cepat memanfaatkan momentum untuk menyesaki ceruk pasar tersebut.
Iwan Fals adalah salah satu katalog artis yang dinaunginya, yang kemudian ‘dieksploitasi’ karya-karya rekamannya ke format piringan hitam. Beberapa album yang sudah dirilis antara lain “1910” (1988) dan “Mata Dewa” (1989) dimana Iwan bekerja sama dengan gitaris Godbless, Ian Antono sebagai aranjer serta proyek Swami yang menghadirkan kolaborasi Iwan dengan para personel grup Sirkus Barock, yakni Sawung Jabo, Naniel, Nanoe dan Innisisri. Album pertama “Swami I” (1989) dikenal melejitkan lagu yang sarat kritikan kepada penguasa, yakni “Bento” dan “Bongkar”.
Kini, yang terbaru, adalah album mahakarya epik “Kantata Takwa”, yang telah memenuhi lapak-lapak piringan hitam di sleuruh Indonesia sejak akhir Oktober 2022 lalu. “Kantata Takwa” sendiri pertama kali dirilis pada Mei 1990 silam, via Airo Records, label rekaman milik pengusaha, musisi dan budayawan, Setiawan Djody. Saat pertama kali dilepasliarkan dalam format kaset, berhasil terjual sebanyak ratusan ribu keping. Angka yang fantastis untuk era itu.
Selain melibatkan Iwan dan Djody, juga ada Sawung Jabo, mendiang Jockie Surjoprajogo (Godbless) dan penyair jalur keras, WS Rendra yang menjadi otak utama proyek musikal ambisius tersebut. Sementara musisi yang dilibatkan mengeksekusi musiknya di antaranya bassis Donny Fattah (Godbless), gitaris Eet Sjahranie (Godbless/Edane) dan dramer Budhy Haryono (Krakatau/Gigi). WS Rendra juga mengajak para anak asuhnya yang tergabung di Kelompok Bengkel Teater untuk menyumbangkan isian vokal latar.
.
.
Bagaikan sebuah pertunjukan teater, 10 lagu berdurasi lebih dari 57 menit yang menjadi hulu ledak “Kantata Takwa” teracik lewat komposisi rock yang tanpa sekat. Tidak biasa. Teatrikal, sarat manuver gagasan nada yang mendebarkan, sekaligus epik. Sungguh memaksimalkan interpretasi lirik-liriknya yang bermakna pekat, tentang isu kegelisahan sosial budaya, potret kehidupan kaum tertindas hingga refleksi kepasrahan manusia di hadapan Tuhan.
Itu semua, antara lain tergambarkan di lagu “Kantata Takwa”, “Kesaksian”, “Orang-orang Kalah”, “Nocturno”, “Gelisah”, “Air Mata” serta lagu yang terinspirasi dari sajak karya Rendra, “Rajawali” dan “Paman Doblang”.
Inisiatif Musica Studio’s untuk menghadirkan kembali album ini – yang kini sudah menjadi produk langka di pasaran – tentunya layak diacungi jempol. Karena “Kantata Takwa” adalah salah satu sejarah penting dalam perjalanan musik di Indonesia yang sangat layak didokumentasikan dan dilestarikan. Hanya pernah terjadi sekali seumur hidup. Walau Setiawan Djody sempat melanjutkannya lewat album “Kantata Samsara” (1997) dan “Kantata Revolvere” (1999), namun hasil persilangan ego para personelnya sudah mencapai klimaks di album pertama.
Piringan hitam “Kantata Takwa” sendiri dikemas dalam dua keping berbobot 180 gram. Lagu-lagunya dipecah menjadi empat bagian, yakni sisi (side) A, B, C dan D. Kualitas suara tentu saja jauh lebih bening dibanding versi kaset. Paling tidak lumayanlah untuk sebuah misi pelestarian. Yang disayangkan hanya satu, cuma ada lembaran lirik yang disertakan di kemasan seharga Rp. 750,000 ini. Tanpa data produksi dan kredit para musisi yang terlibat di proses rekamannya, seperti yang sebelumnya terabadikan di versi kaset. Nanggung banget! (@mudya_mustamin/MK01)

.
.
Leave a Reply