Memadukan musik dengan lingkungan atau atmosfir ruang konser yang eksotis, tidak lagi hanya menjadi milik Prambanan Jazz. Khususnya di lingkup gelaran event-event hasil inisiasi pelaksana konser, Rajawali Indonesia. Pesta musik keras JogjaRockarta Festival yang baru saja rampung dihelat, tepatnya pada 24 dan 25 September 2022 lalu sepertinya sedang menuju pencitraan serupa.
Pemilihan Tebing Breksi sebagai venue di penyelenggaraan kelima JogjaRockarta Festival tersebut merupakan pilihan yang tepat, sekaligus menarik. Sesuai namanya, memang lokasi festival yang kali ini mengedepankan tema “History Continues” dijejakkan di salah sisi bongkahan batu raksasa yang menyerupai tebing. Destinasi wisata yang terletak di wilayah administratif Dusun Groyokan, Desa Sambirejo, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman dan berada di ketinggian 200m dari permukaan laut tersebut tadinya merupakan lokasi penambangan batuan kapur yang sudah tidak diaktifkan.
Nah, di salah satu sisi tebing yang membentang memanjang, pihak Rajawali Indonesia mendirikan rangka panggung yang megah. Permukaan tebing yang cadas, sarat kikisan bekas penambangan itu dijadikan sebagai latar belakang panggung. Saat konser berlangsung, khususnya di jam petang menuju gelap, permukaan batu disorot permainan tata cahaya tipis-tipis sebagai pelengkap siraman lampu gemerlap yang terpancar dari panggung utama. Suguhan visual tersebut menjadi ornamen tersendiri yang memikat, dan sangat berbeda dibanding gelaran festival-festival musik lainnya yang ada di Indonesia.
Selama dua hari pelaksanaannya, JogaROCKarta Festival terbilang lumayan sukses, dihadiri ribuan penonton yang sebagian besar beratribut serba hitam dan datang dari berbagai penjuru kota Yogyakarta serta daerah-daerah sekitarnya. Kenapa dianggap sukses? Karena sebenarnya, Tebing Breksi bukan destinasi yang mudah diakses. Lokasinya berada di ketinggian yang sarat tanjakan, dan tidak dilengkapi sarana transportasi khusus untuk umum. Penonton yang datang harus membawa kendaraan sendiri, atau menyewa jasa transportasi yang dapat dipesan melalui aplikasi atau jaringan internet.
.
Tapi memang, deretan band yang dihadirkan sebagai magnet untuk menyedot penonton terbilang bertaji. Paling tidak ada tiga band metal paling disegani di Tanah Air, yakni Deadsquad, Burgerkill dan Seringai dihadirkan untuk membantai arena festival. Lalu ada pula Death Vomit serta Serigala Malam, unit keras yang mengibarkan bendera kebanggaan skena Yogyakarta. Sementara salah satu penampil yang mewakili skena rock, massa depan panggung dibuat beringas oleh rombongan punkers asal Bali, Superman Is Dead.
Selain nama-nama tadi yang – bisa dibilang lebih mewakili generasi masa kini – disuguhkan pula macan rock dari era ’80 hingga 2000-an seperti Jamrud, Ahmad Band, Edane, Grassrock, Makara hingga Godbless. Mereka pun mampu membakar gairah penonton dengan lagu-lagu ‘nostalgia’ andalan masing-masing. Dan terakhir, juga disisipkan aksi panggung tiga wanita berhijab Voice of Baceprot yang mungkin masih menyisakan orang-orang yang penasaran untuk melihat langsung penampilannya di panggung.
Tapi di luar nama-nama tadi, JogjaROCKarta juga memberi ruang ekspresi kepada beberapa band rock yang mungkin dianggap belum punya nama besar, namun berbekal potensi yang layak dipertontonkan. Dua di antaranya merupakan pemenang program RockFiveTival, yakni Easy Peasy dan Hiatus Mantra. Mereka berbagai panggung dengan pejuang-pejuang independen lainnya macam Sangkakala, The Hydrant, Prison of Blues dan The Melting Minds.
Dua hari yang seru dan sangat berkesan. Seperti celetukan kibordis Godbless, Abadi Soesman di belakang panggung, “Saya justru merasa semakin muda berada konser seperti ini!”
Semoga di pelaksanaan berikutnya, Tebing Breksi kembali dipilih sebagai venue utama, namun dengan eksplorasi visual yang lebih ekstrim, plus solusi nyata dalam mempermudah penonton mengakses ke lokasi festival. (mdy/MK01)
.
.
Leave a Reply