(Artis) God Bless – (Album) Anthology: 50th Year Anniversary with Tohpati & Czech Symphony Orchestra – (Prod.) 2023 Rumah Musik Kita

Oleh @mudya_mustamin

“Peran aransemen orkestrasi di album ini merupakan penyegaran bagi siapa saja yang sudah terbiasa mendengar lagu-lagu God Bless.”

Kalimat di atas diucapkan gitaris dan komposer Tohpati Ario Hutomo via siaran pers perilisan album “God Bless Anthology: 50th Year Anniversary with Tohpati & Czech Symphony Orchestra”, terkait kontribusinya sebagai penata musik. Tepatnya, ia diberi tanggung jawab untuk meracik orkestrasi 11 lagu terbaik God Bless sepanjang karirnya, plus satu komposisi epik berformat instrumental di album tersebut. 

Kata ‘penyegaran’ mendeskripsikan “Anthology” dengan sangat tepat. Sosok Tohpati sendiri jelas merupakan penyegaran bagi Achmad Albar (vokal), Ian Antono (gitar), Donny Fattah (bass), Abadi Soesman (kibord) dan Fajar Satritama (dram). Di sini, ia seolah menjadi personel keenam di formasi God Bless, dan ide-ide dari ‘luar pagar’ biasanya memang lebih mengusik.

Penyegaran lainnya, tentu saja di pengolahan lagu-lagunya. Sebab, keseluruhan materi yang dieksekusi bukan rangkuman nada-nada asing di kuping publik rock Tanah Air. Kecuali nomor “Jalan Pulang” dari album “36th” (2009) yang tidak begitu popular, 10 lagu lainnya terbilang nomor wajib di setiap gelaran konser God Bless. 

Dari dua album tersukses God Bless saja, yakni “Semut Hitam” (1988) dan “Raksasa” (1989) sudah diwakili enam karya terbaik mereka, yakni “Kehidupan”, “Semut Hitam”, “Bla Bla Bla”, “Rumah Kita”, “Menjilat Matahari” dan “Maret 89”. Lebih dari setengah porsi keseluruhan album. Sementara sisanya mewakili album debut, “God Bless” (1975) lewat lagu “Huma di Atas Bukit”, lalu lagu “Balada Sejuta Wajah” dan “Musisi” dari album “Cermin” (1980) dan “Srigala Jalanan” dari album “Apa Kabar?” (1997). Sementara di komposisi instrumental yang menjadi gerbang album, Tohpati menganyam nada-nada tematis dari tiga lagu tenar God Bless lainnya, yakni “Anak Adam”, “Cermin” dan “Rumah Kita”.

Ketimbang merilis album berisi rangkuman audio asli dari lagu-lagu terbaiknya, kemudian melabelinya dengan judul “The Best Of”, “Greatest Hits” atau semacamnya, God Bless memilih jalan yang lebih berkelas, walau bernilai mahal. Ya, mahal dalam arti yang sebenarnya. Konon untuk mewujudkan proyek ini, kira-kira pihak God Bless yang didukung Hendra Lie dari Mata Elang sebagai produser eksekutif, menghabiskan dana lebih dari satu milyar. Mencakup biaya produksi rekaman hingga eksekusi orkestrasi 12 komposisi di Czech Television Studio, Praha, Republik Ceko yang melibatkan kolaborasi Tohpati dan Czech Symphony Orchestra.

Tapi usaha ambisius tersebut terbayar dengan apik. Paling tidak, hasil akhir “Anthology” yang direkam di Rumah Kita Studio dan Slingshot Studio, Jakarta membuat God Bless naik kelas. Mewah, gempita, epik sekaligus menawan. Memang sudah semestinya!

Nah, kembali ke kata ‘penyegaran’ tadinya. Tentu tidak mudah meracik ulang lagu-lagu yang sudah sangat popular, yang sudah terpatri kuat di kuping para pemuja band bentukan 5 Mei 1973 tersebut. Jika salah perhitungan, “Anthology” bisa berubah menjadi proyek mubasir, dimana penggemar God Bless akan menganggapnya angin lalu setelah sekali dengar, lalu tetap memilih mengonsumsi lagu-lagu versi rekaman aslinya.

“Hal itu yang selalu menjadi mindset kami, bahwa jangan sampai album ini lebih kendor dibanding versi aslinya. Harus ada unsur megah yang menambah nyawanya,” seru Fajar Satritama, meyakinkan misi di balik “Anthology”.

Sebagai penata musik, Tohpati menyadari betul tantangan tersebut. Dengan hati-hati, ia mengaku kerap harus mengubah beberapa bagian lagu untuk menyesuaikannya dengan kebutuhan orkestrasi. Tentunya setelah berdiskusi ketat dengan Ian Antono, yang juga punya riwayat panjang sebagai produser dan penata musik. Contoh paling jelas, antara lain ada di lagu “Kehidupan”, dimana Tohpati dan God Bless sepakat menyelipkan patahan breakdown yang bernyali pada menit ke 2:23. Berhasil keluar dari belitan pakem aransemen aslinya.  

“Ya, sepanjang lagu gue harus terus merespon, mengikuti nada-nadanya, supaya dapat aransemen yang penuh dan megah,” ujar Tohpati kepada MUSIKERAS sedikit menjelaskan proses kreatifnya. 

Target utama yang ingin dicapai adalah bagaimana menghasilkan komposisi lagu yang tetap berkadar rock kental, walau dihujani ornamen orkestrasi. Orkestra diproyeksikan bukan sekadar pengiring, namun terlibat penuh membangun dinamika, merajut energi yang bisa menyambar dari berbagai arah. Bisa menjadi liar, sekaligus mengalun anggun.

Rasanya tidak berlebihan jika penetrasi orkestra di “Anthology” ini kami anggap berhasil dan memuaskan. Tak ada lagu yang terasa menurun gregetnya, saat membandingkannya dengan versi asli. Apalagi, performa para personel God Bless juga terbilang masih solid. Khususnya di lini vokal yang justru semakin berkarakter dan matang. Walau ya, tidak bisa dipungkiri di sana-sini terasa ada usaha untuk mengakali jangkauan di nada-nada tinggi. Sementara di dram, teknik tabuhan Fajar menggiring musik God Bless menjadi lebih tegas dan modern. 

Tahapan akhir yang sangat krusial dalam produksi rekaman, tentunya di pemolesan tata suara dan pelarasannya. Juga tidak mengecewakan. Mengingat secara teknis mengandung kepelikan dalam mengakomodasi frekuensi dari beragam jenis instrumen yang dilibatkan. Tapi paduan tangan dingin Stephan Santoso dari Slingshot Studio yang dipercaya meramu mixing serta Steve Smart dari Studio 301, Sydney, Australia untuk mastering membuat “Anthology” menjadi lebih greget. Paling tidak untuk kebutuhan dengar di gerai digital. Semoga kualitas tersebut juga terjaga baik di produksi format fisiknya nanti, yang dicanangkan bakal terabadikan dalam kemasan kaset, CD hingga piringan hitam (vinyl).

Namun demikian, ada satu hal yang rasanya sayang sekali tidak tersalurkan di “Anthology” ini. Tadinya ada harapan, paling tidak ada secuil keterlibatan mantan gitaris God Bless, Eet Sjahranie di proyek prestisius ini. Mengingat album “Raksasa”, tidak bisa dipungkiri telah meninggalkan jejak permainan gitarnya yang fenomenal di era itu. Bahkan gagasan riff di lagu “Srigala Jalanan”, pun berasal dari Eet, yang tadinya konon disiapkan untuk materi lagu Edane, band yang dipupuknya sejak awal 1990-an silam. Tapi ya, tentunya pasti ada pertimbangan lain dari pihak God Bless yang membuat opsi itu tidak mungkin diwujudkan. 

Yang pasti, kehadiran album “Anthology” yang sudah bisa disimak di berbagai platform digital sejak 21 Juni 2023 lalu telah menjadi kado terbaik di momen ulang tahun setengah abad God Bless. Sebuah karya yang tak hanya fenomenal, namun juga dipastikan bisa menjadi warisan rock yang melegenda. Panjang usia, God Bless!!!!

.

.