If I Die Tomorrow menjadi mesin antik dengan dua kali isu vakum sepanjang 2009 hingga 2014, lalu tak lama dilanjut lagi hingga 2024. Namun sejak terbentuk pada 2004, semangat band asal Sukabumi, Jawa Barat ini dalam berkarya tak padam bara.
Terbukti, ide-ide lama mereka yang sebenarnya telah tertunda cukup lama, akhirnya berhasil dimuntahkan lewat sebuah album penuh bermunisikan delapan lagu.
Judul albumnya adalah “The Dark Shade of Red”, yang rupanya merupakan materi musik yang dikerjakan If I Die Tomorrow sejak 18 tahun yang lalu. “Album ini direkam pada tahun 2006 silam,” cetus pihak band kepada MUSIKERAS, mengungkap ‘fun fact’ penggarapan albumnya.
Proses kreatif merekam “The Dark Shade of Red” sendiri, lanjut mereka lagi, merupakan proses yang sarat keterbatasan, namun menyenangkan.
“Seluruh lagu di album ini memang sudah ‘road tested’. Sudah sering dimainkan secara ‘live’ dan akhirnya disempurnakan di studio rekaman. Kami menghabiskan waktu sekitar dua minggu di studio rumahannya Willy, produser sekaligus teman lama kami di Sukabumi.”
Rantaian materi musik yang terhidang di album, disebut If I Die Tomorrow sebagai respon mereka terhadap keresahan, kehilangan dan depresi, yang disampaikan dalam komposisi musik emo ala era 2000-an, yang siap membawa para pendengarnya bernostalgia pada era aliran musik tersebut. Nah, mewakili materi yang penuh dendam terpendam tersebut, “The Dark Shade of Red” sepakat dijadikan judul album kali ini.
Dari segi musikal, “The Dark Shade of Red” sendiri memiliki konsep musik yang kaya akan elemen metal dan rock. Band bentukan 2004 silam ini meraciknya lewat terapan riff gitar yang ‘padat’, namun unik secara pilihan warna sonik. Dipadu alur bass yang tidak hanya menemani entakan dram dan riff gitar, tapi di beberapa titik cukup dinamis. Dram juga cukup agresif memainkan gaya yang solid.
“Eksplorasi vokal sangat seru waktu itu. Rasa penasaran kami akan eksperimen vokal multi lapis membuat proses rekaman album ini jadi semakin menantang saat itu. Lirik juga sudah satu paket dengan lagu yang memang sudah tercipta sejak lagu-lagunya ditulis. Tema lirik berkisar di persoalan personal yang pada jaman itu memang sedang banyak dipakai oleh band-band sejenis.”
Sementara dari sisi peracikan komposisi serta aransemen musiknya, “The Dark Shade of Red” kental akan pengaruh dari berbagai band dengan jenis musik yang spesifik. Terbentang dari metal, emo serta post-hardcore dan rock alternatif.
“Beberapa di antaranya adalah Dead Blue Sky, Killswitch Engage, Underoath, Atreyu, Thrice, Unearth hingga ‘local acts’ seperti Burgerkill, Killed By Butterfly dan Step Forward. Kami memetik inspirasi dari semua band tersebut untuk eksplorasi sonik, kreasi riff gitar, ketukan dram dan dinamika bass,” seru mereka menegaskan.
Tapi dari delapan lagu yang disuguhkan, vokalis Higin Irfan Ayuga, gitaris Jimmy Arthur Noya dan Weri Siswanto, dramer Yusuf Nurbani (Ucup) serta bassis Edi Wijaya alias Ewi Santos mengakui, lagu yang dijadikan judul album, yakni “The Dark Shade of Red” adalah yang paling menantang produksinya secara teknis.
“Lagu ini memiliki perubahan tempo yang variatif dan eksplorasi layer vokal yang unik. Hampir sulit untuk dimainkan dengan sempurna secara live, kecuali dimainkan dengan tim vokal latar yang mumpuni.”
“The Dark Shade of Red” sudah dirilis dalam kemasan fisik sejak 20 Juni 2024, lalu disusul di platform digital Spotify delapan hari kemudian. (aug/MK02)
Leave a Reply