Dengarkan Eksplorasi Kengerian AVHATH yang Tanpa Batas

Avhath melanjutkan kengerian yang sudah ditancapkan lewat album mini (EP) “The Avhath Rites”, rilisan Februari 2019 lalu. Yang pasti, kali ini unit ‘kelam’ asal Jakarta ini meinginkan sesuatu yang lebih eksploratif ketimbang rilisan-rilisan sebelumnya. Eksploratif dalam semua aspek. Seperti apa? Segera dengarkan dua single terbaru mereka, “Felo De Se” dan “Hallowed Ground”, yang bisa diakses via berbagai platform penyedia layanan dengar musik secara digital sejak 26 Februari 2021 lalu.

Dua single tersebut membawa pendengar Avhath ke tatanan dunia yang berbeda dibanding sebelumnya. Ada eksplorasi aransemen, instrumen, dan juga notasi yang sebelumnya tak terfikirkan bagi Avhath untuk dijamah. Terdengar sarat warna, namun tetap terbalut kesan depresif, dengan notasi yang ramai dan padat.

Eksplorasi tersebut terdengar nyata pada menit 2:41 di lagu “Felo De Se”, dimana harmoni yang ditampilkan dari masing masing instrumen beserta vokal sangat kontras. Lalu ada pula persembahan bebunyian saksofon dari Zulqi Ramadhana yang menambah catatan eksperimentasi teritori untuk Avhath. Kocokan gitar yang terdengar primitif dan jahat pun juga terdengar di bagian awal lagu “Hallowed Ground”, mengiringi ketukan dram yang selama ini menjadi salah satu ciri khas Avhath.

.

.

Pola tersebut, sedikit banyak terbentuk lantaran adanya ‘campur tangan’ Alyuadi Febryansyah sebagai produser. Dia adalah gitaris dan vokalis dari band Heals dan Fuzzy, I, yang pernah pula beberapa kali memproduseri musisi lain seperti Feel Koplo, Sky Sucahyo serta Sociomess.

Bagi Avhath yang diperkuat formasi Rezky Prathama a.k.a. ekrig/KRI666 (vokal), Reynir Fauzan a.k.a. Kvvlt (gitar), Indra Purba a.k.a. BxP (bass), Insan Fernaldi Lubis a.k.a. Svnn (dram) dan Prana Yudha Sukma a.k.a. Yvd (gitar), keterlibatan Alyuadi sangat membantu mereka melebarkan serta mengembangkan ide dan gagasan di balik lahirnya “Felo De Se” dan “Hallowed Ground”.

“Sebenarnya mengajak Alyuadi adalah untuk penambahan ide-ide dari segi aransemen, sound yang dipilih, dan struktur-struktur lagu yang lebih eksploratif ketimbang rilisan-rilisan Avhath sebelumnya. Mungkin jika tidak ada campur tangan dia, rilisan ini akan menjadi predictable. Alasan krusialnya adalah, kami butuh seseorang untuk berdiskusi dan mengekseskusi rilisan ini dengan eksperimen-eksperimen baru yang sebelumnya belum pernah terjadi di rilisan Avhath,” papar pihak band kepada MUSIKERAS, mengungkapkan alasan.

Saat menggarap “Felo De Se” dan “Hallowed Ground”, tentunya disertai pula berbagai referensi sebagai bahan pengembangan ide kreatif mereka. “Sudah pasti, Ihsahn dan Liturgy – khususnya album ‘H.A.Q.Q.’ – adalah dua nama yang selalu Alyuadi dan Avhath referensikan untuk eksplorasi rilisan ini.”

Berikutnya, sambil mempromosikan “Felo De Se” dan “Hallowed Ground”, Avhath berencana membuatkan video klip dari masing-masing single. Lalu setelah itu, ada pula ide untuk merilis album ‘remix’ yang berisi kumpulan reinterpretasi “Felo De Se” dan “Hallowed Ground” dari para sahabat mereka, khususnya para produser lintas genre seperti Electronic, Drone, sampai Indie Rock.

Avhath yang terbentuk pada Januari 2013 silam, sejauh ini telah menancapkan eksistensinya di kancah musik ‘bawah tanah’ Tanah Air lewat beberapa jejak rekam. Tepatnya ada empat album split bersama Haul (2013), Disfare (2015), Violence of Crusade (2015) dan Aneka Digital Safari (2016). Lalu ada tiga EP yang masing-masing berjudul “Une génération perdue” (2013), “Eulogy” (2015) dan “Hymns” (2016) serta single “Catch 22!” (2013), “Frightened Teeth” (2014) dan “Lethargy/March to the Crater” (2015). 

Pada gelaran pemberian apresiasi Anugerah Musik Indonesia (AMI) Awards 2019, Avhath berhasil meraih trofi terbaik untuk kategori “Karya Produksi Metal/Hardcore Terbaik” lewat single “The Annual Horrors”. (mdy/MK01)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Related Posts