Pandemi Covid-19 memang telah membatasi ruang gerak di segala bidang, termasuk dalam panggung seni. Tapi di sisi lain, dalam kondisi terkekang itu, justru memaksa banyak seniman memutar otak untuk bisa terus beraktivitas dan mengeksplorasi daya kreativitasnya melebihi sebelumnya. Gitaris Agung Deathra salah satunya. Musisi Bali yang juga dikenal sebagai gitaris di unit cadas Eternal Madness ini akhirnya bisa melampiaskan sebuah karya seni yang sarat ungkapan idealisme. Belum lama ini, ia membentuk proyek instrumental bernama Djentic, dimana Agung mengombinasikan keberingasan distorsi gitarnya dengan komposisi simfoni bernuansa etnik Bali.

Project Djentic hanya sebuah media untuk mengeksplorasi pengembangan baik teknik maupun skill permainan gitar bernuansa Bali yang dipadukan dengan berbagai intrumen, baik elektro, techno, maupun orchestra dan Djentic sendiri lebih banyak ke solo guitar,” urai Agung kepada MUSIKERAS, memperjelas.

Tepatnya, Agung menggambarkan Djentic sebagai sebuah proyek instrumental metal yang bernuansa mistis, kelam dan gelap. Berbeda dibanding nada pentatonik Bali yang nuansanya cenderung riang, jenaka dan gembira maupun sakral.

.

.

Saat ini, sudah ada tujuh trek demo yang dihasilkan Djentic, dua di antaranya telah diperdengarkan dalam bentuk video klip. Yang pertama bertajuk “Djagat Rimba” (2020) dan yang terbaru “Illusion and Delusion”. Sementara versi demo lagu-lagu lainnya ada di platform Bandcamp dan Reverbnation. 

Agung Deathra mengeksekusi rekaman Djentic, termasuk untuk mixing dan mastering, di studio rumahan miliknya. Terutama untuk isian gitar dan aransemen orkestrasi musik dengan memaksimalkan fasilitas software plug-in. Sementara untuk isian gamelan, kidung, vokal, dalang dan paduan suara direkam secara terpisah, baik di rumah para senimannya maupun sanggar grup gamelan. Keseluruhan proses berlangsung kurang lebih selama tiga bulan.

Di single “Illusion and Delusion” sendiri, Djentic meramu perpaduan dari tradisional musik grup gamelan, gender wayang, simfonik bernuansa Bali, vokal sinden wanita, Narator Dalang dan paduan suara (choir), yang dikonsep dalam tiga bagian pakem komposisi gamelan, dimana bagian akhir dibuat dengan pemurnian lirik kidung permohonan maaf karena telah lancang menarikan konsep sastra kuno atau intisari lontar Bali.

“Atmosfir musik juga disesuaikan dengan konsep tarian kutipan cerita ethos Panca Dhurga. Untuk referensi, saya lebih banyak mendengarkan war epic orchestral, cinematic game music, maupun orkestrasi film-film trilogi. Sementara dari sisi band, tentunya dari Metallica Symphonic Orchestra dan Dimmu Borgir. Itu wajib sebagai referensi,” seru Agung lagi, meyakinkan.

Proyek Djentic ini sendiri akan terus diseriusi Agung. Rencana ke depannya, ia tetap proyeksikan untuk membuat hal-hal baru dan memperkenalkan ramuan musik budaya yang dikemas ke berbagai nuansa, baik klasik maupun modern. “Tentunya dengan genre metal dan semoga bisa menambah warna khasanah permetalan Tanah Air.” 

Di luar proyek Djentic, Agung juga mengabarkan bahwa bandnya, Eternal Madness masih tetap menggeliat walaupun pandemi masih berlangsung. Pada akhir 2020 lalu, mereka telah merilis ulang album “Bongkar Batas”. Lalu saat ini, mereka sedang menjalani tahapan pengerjaan single terbaru, menyusul “The Truth Of Imagination” (2011). “Mungkin akan ada sesuatu yang berbeda dibanding sebelumnya!” (mdy/MK01)