Belakangan, tepatnya sejak tampil di final “Wacken Metal Battle Indonesia 2018” lalu, legiun metal kebanggaan kota Solo, Jawa Tengah ini telah memproklamirkan penggunaan kostum batik sebagai identitas mereka saat berada di panggung. Aksi itu berlanjut ke pentas Wacken Festival di Jerman, lalu di Soundrenaline versi virtual di RCTI dan terakhir di hajatan “A Journey of Rock in Solo: Apokakiptika” yang digelar pada 18 Des 2021 lalu.

Bagi Down For Life, batik kini menjadi baju yang sakral dan spesial bagi mereka. Ibarat rompi atau zirah yang dikenakan untuk menghadapi perang. “Saat memakainya, ada semacam kekuatan ekstra sekaligus tanggung jawab yang harus kami emban. Itu bukan sebuah beban tapi tantangan sekaligus identitas kami. Baik itu sebagai manusia Indonesia yang berbudaya, atau pun sebagai metalhead. Kami adalah orang Indonesia yang dikutuk menjadi metalhead dan metalhead yang dikutuk menjadi orang Indonesia. Keduanya adalah kutukan yang menyenangkan,” seru vokalis Stephanus Adjie kepada MUSIKERAS, mengemukakan alasan.

Kini, ‘kutukan’ itu dilestarikan Down For Life dengan terus memompa karya. Yang terbaru, adalah sebuah lagu tunggal segar bertajuk “Children Of Eden”, yang dilontarkan kemarin, 15 Januari 2022. Karya rekaman tersebut merupakan tindak lanjut dari dua single lepas yang telah mereka rilis sebelumnya, yakni “Mantra Bentala” dan “Apokaliptika”. Ketiganya bakal menjadi bagian dari album penuh Down For Life berikutnya.

Ada pesan istimewa yang dituangkan band bentukan 1999 lalu ini di “Children Of Eden”. Mereka kali ini mengangkat cerita tentang anak-anak berkebutuhan khusus. Inspirasinya datang dari Malik, anak kedua dari Kukuh Prasetyo Hadi yang merupakan kerabat dekat Down For Life, serta Keysha, keponakan dari Stephanus Adjie. Menurut Adjie, kedua anak itu tidak pernah memilih untuk terlahir dengan kondisi seperti itu.

.

.

“Meski memiliki beberapa keterbatasan, namun dengan hebatnya mereka tumbuh sebagai pribadi yang luar biasa tanpa perlu meminta kasih sayang berlebih atau pun kesempatan spesial. Keduanya justru lebih ingin mendapat perlakuan yang sama seperti orang lain dan sebagai manusia sesuai dengan kapasitasnya masing-masing.” 

Inspirasi itu lantas digarap sedemikian rupa, menjadi sebuah tribute dengan gaya penyampaian yang gagah khas Down For Life. Tidak hanya tema yang terasa begitu segar, Down For Life juga coba menampilkan artwork dalam nuansa baru kepada para penggemar. Ilustrasi bergaya renaissance hasil kolaborasi seniman Jahlo Gomes dan Ardha Lepa hadir sebagai wajah utama dari “Children Of Eden”. Karya tersebut juga dikembangkan menjadi video musik yang juga jauh berbeda dibanding visualisasi Down For Life biasanya. Untuk eksekusi pengerjaannya, Jahlo dan Ardha dibantu oleh Reka dari Bandung, yang sebelumnya pernah bekerja sama dengan Revenge The Fate. 

Selain itu, Down For Life juga menyiapkan cindera mata (merchandise) khusus untuk single “Children Of Eden”, dimana tiga lini digandeng sekaligus untuk mengurus program kampanye membantu anak-anak berkebutuhan khusus. Mereka adalah Rown Division, Belukar League dan Blackandje Records. Hasil keuntungan dari penjualan merchandise tadi bakal disumbangkan kepada yayasan di kota Solo yang mengurusi hal-hal seputar kebutuhan anak-anak berkebutuhan khusus. 

Urusan penggodokan rekaman “Children Of Eden”, Down For Life melakukannya di Darktones Studio milik Blackandje Records, dan memercayakan proses mixing serta mastering masing-masing kepada Adria Sarvianto – yang kini juga disahkan menjadi bagian dari formasi Down For Life – dan Hamzah Kusbianto. Tapi gagasan musikalnya sendiri sudah dipanaskan sejak 2019 lalu. Butuh waktu agak lama lantaran Adjie, Rio Baskara (gitar), Isa Mahendrajati (gitar), Mattheus Amadeus (bass), Muhammad Abdul Latief (dram) dan Adria (sequencer) berdomisili di kota berbeda.

Kendati terjadi penambahan di formasi, namun dari sisi peracikan konsep musik, menurut Adjie, mereka masih berpatokan pada permainan yang berdasarkan kesenangan dan kejujuran, seperti apa yang mereka rasakan. Bersenang-senang sambil terus bereksplorasi dan memaksimalkan apa yang mereka miliki. Misalnya di lini vokal, kini Adjie melakukan penyesuaian di vokal growl yang lebih rendah karena dirasa sesuai dengan kebutuhan lirik dan musiknya. Kemudian juga ada tambahan isian vokal koor atau chanting yang melibatkan Marungkup Tua Hutahuruk (Mossak) dan Mattheus Aditirtono.

“Karena kami merasa memang pasnya diisi seperti itu, untuk menambah sisi harmoni dan melodiusnya. Di lagu ini tidak ada lead gitar seperti halnya lagu-lagu Down For Life sebelumnya, tapi diganti dengan fill. Karena menurut Rio, gitaris yang hebat adalah gitaris yang bisa meredam egonya untuk tidak hanya mengumbar lead, tapi bisa memperkaya sebuah lagu.”

Dengan segala eksplorasi yang dilakukan, Adjie merasa selalu optimis dengan musik yang ia mainkan. Ia tidak pernah merasa musik keras ini mati. Karena memang akan hidup selamanya. Dan musik keras di seluruh dunia, termasuk Indonesia, juga industri musik yang lain… semua aspek kehidupan pasti menjaga dengan segala cara untuk bertahan, khususnya dalam menghadapi badai pandemi.

“Tapi saya yakin kita pasti bisa selama mau beradaptasi dan saling bersinergi bersama. Memang dibutuhkan cara-cara atau strategi yang berbeda dengan di masa sebelum pandemi. Situasi dan kondisinya sudah berbeda. Kalau di Eropa dan Amerika, industrinya sudah mapan pasti lebih siap. Sementara di Indonesia berbeda lagi. Tapi itu bukan alasan untuk menyerah. Banyak band di Indonesia yang terus berkarya dengan caranya masing-masing, dan itu keren!”

Walau telah merilis tiga single lepas, namun sejauh ini Down For Life belum bisa menjanjikan kapan materi album akan dirilis. Menurut Adjie, ia dan rekan-rekannya di band belum mendapatkan wangsit untuk mewujudkan itu. “Sepertinya kami harus menunggu kode dari semesta untuk menentukan waktu yang tepat. Pasti kami akan merilis sesuatu lagi. Atau mungkin dua album dalam setahun? Kami lihat bagaimana semesta menuntun langkah kami. Rahayu untuk kita semua.” (mdy/MK01)