Belakangan marak gerakan pendokumentasian sepak terjang para musisi di skena industri musik Tanah Air, baik berformat video atau film maupun buku. Tidak terkecuali pengarsipan di ranah musik yang cutting-edge. Salah satunya yang kini dilakukan oleh musisi asal Bandung, Prabu Pramayougha, yang selama ini juga dikenal sebagai vokalis dan gitaris dari band punk rock, Saturday Night Karaoke. 

Ia baru saja merampungkan buku berjudul “Don’t Read This!: Catatan Melodic Punk Bandung Dari Masa ke Masa”, yang bakal segera diedarkan via penerbit Bukune, pada Mei 2022 mendatang.

Buku “Don’t Read This” sendiri berisi tentang upaya Prabu untuk melacak bagaimana musik yang dulu dianggap sebagai manifesto anak muda tersebut bisa mendarat di Bandung dan akhirnya bisa berkembang pesat. Di dalam bukunya pun terdapat banyak pembahasan menarik dari para pelaku skena ‘melodic’ punk di Bandung, serta dinamika yang terjadi di dalam kancah tersebut, sejak mulai menggeliat pada awal era 90-an hingga ke pertengahan 2000-an. 

Kenapa Prabu secara spesifik memilih untuk menulis buku tentang ‘melodic’ punk Bandung, yang bisa dibilang berlingkup sempit? 

“Sederhana,” seru Prabu kepada MUSIKERAS. “Saya lahir dan tumbuh besar di Bandung. Tentunya menulis tentang hal yang paling dekat dan personal adalah sebuah metode yang paling masuk akal. Setidaknya, hal personal ini ternyata setelah ditelusuri memiliki peran yang besar juga bagi banyak orang di berbagai belahan Indonesia lainnya. Tak sedikit saya mendengar respon dari banyak kawan di berbagai penjuru daerah yang masa mudanya dihiasi oleh lagu-lagu dari band-band yang masuk ke pembahasan buku ini.”

Makanya, Prabu ingin mencatat kancah musik yang penting bagi hidupnya itu, yang telah menemaninya sejak zaman sekolah, di berbagai situasi dan kondisi. “Jadi udah naluriah aja buat nulis tentang sesuatu yang seenggaknya penting buat hidup saya sendiri.” 

.

.

Kandungan “Don’t Read This” tak hanya memaparkan banyak informasi tentang ‘melodic’ punk dari para pelaku kancahnya sendiri, namun ada juga beberapa orang di ruang lingkup kancah musik cutting- edge Bandung yang ternyata memiliki arsiran dengan musik tersebut. Beberapa narasumber yang paparannya terdapat di dalam buku ini di antaranya, ada Arian Arifin (Seringai), Helvi Sjarifuddin (FFWD Records), Ucay (mantan Rocket Rockers) hingga ke tokoh ‘cult’ melodic punk lokal seperti Maruli Hasiholan (The Marmars) dan Muhammad Fitrah (Teh Cellups). 

Bagi pelaku skena ‘melodic’ punk, atau penikmat musik-musik punk secara umum, tentunya kehadiran buku ini bisa memperluas cakrawala dalam perjalanan musik. Tidak wajib, tapi dengan membeli buku ini, yang mengonsumsinya akan turut memberikan sumbangsih besar terhadap keberlangsungan skema pengarsipan musik cutting-edge di ranah lokal. Baik itu dari segi diskursus sampai penyebaran informasi. 

“Karena harus diakui, literasi mengenai ‘skena’ memang tidak terlalu dianggap penting oleh khalayak ramai di masa ini. Tapi ironisnya, aspek literasi itu kerap kali diperdebatkan karena banyak miskonsepsi dan juga asumsi yang tak ada dasarnya perihal histori mau pun dinamika kancah tersebut. Maka dengan mempunyai buku ini, kalian telah membuktikan bahwa aspek literasi dalam sebuah kancah musik atau subkultur itu penting,” urai Prabu beralasan.

Misi lainnya, lanjut Prabu lagi, setidaknya ia bisa memantik banyak penulis di daerahnya untuk memulai mendokumentasikan kancahnya masing-masing dalam format buku, agar terarsipkan dengan baik. “Siapa tahu bisa bermanfaat untuk dikembangkan di bidang akademis atau pun lainnya yang berkaitan dengannya.”

Buku “Don’t Read This” kini sudah bisa dipesan paketan awal (early bundling) untuk pengiriman di bulan Mei. Silakan memesannya melalui tautan berikut: bit.ly/dontbuythisbook. Ingin lebih tahu tentang buku ini? Kunjungi akun resmi bukunya di https://www.instagram.com/dontreadthis_ . (mdy/MK01)