Jogjarockarta Festival, ikon pentas musik keras Kota Gudeg, Yogyakarta kembali sukses dikobarkan pada Sabtu, 27 Januari 2024 lalu. Walau hanya berjarak sekitar empat bulan dari gelaran serupa, pada 30 September 2023 lalu.
Tapi kali ini dipersembahkan dengan menu yang sedikit berbeda. Pihak penyelenggara, Rajawali Indonesia mengibarkan tema spesial bertajuk “Klash of the Titans”, dimana hanya empat band cadas yang ditampilkan. Penampil utamanya ‘cuma’ dua raksasa metal internasional, Kreator dan In Flames, yang lantas ditandemkan dengan dua pejuang cadas Tanah Air, yakni ‘tuan rumah’ Death Vomit serta Voice of Baceprot (VoB).
Sejak pagi hingga siang harinya, langit Stadion Kridosono, Yogyakarta yang kembali menjadi lokasi perhelatan menampakkan senyuman manisnya yang sangat cerah. Namun menjelang sore, langit berubah mendung dan meneteskan rintikan hujan. Pertanda rezeki bagi para pedagang jas hujan yang marak di luar venue. Ribuan metalhead terlihat tertib mengantri masuk saat gerbang dibuka pada pukul 16.00 WIB. Tak pelak, pemandangan kerumunan penonton Jogjarockarta yang tadinya dominan dengan atribut hitam seketika berubah menjadi warna-warni mentereng lantaran semuanya mengenakan jas hujan.
VoB Prima Melabrak Stigma
Tepat pukul lima sore, VoB membuka gema heavy metal di langit JogjaRockarta dengan menggelontorkan sederet karya orisinalnya yang sangat memantik semangat para penonton. Terutama para Baladceprot – sebutan untuk pemuja VoB – untuk merapat dan menyaksikan penampilan trio gadis muda berbakat asal Garut, Jawa Barat tersebut. Dengan antusias mereka melahap lagu-lagu yang digeber seperti “PMS”, “School Revolution”, “(Not) Public Property” yang meluncur tanpa cela walau diterjang cuaca buruk.
Setelah menggasak “Kawani”, lagu instrumental yang bergaya progressive metal, VoB terus menghibur penonton yang diguyur hujan dengan “What’s the Holy (Nobel) Today?”. Sebelum memulai lagu anti perang tersebut, kru band memasang bendera Palestina di panggung. Dan di sepanjang penampilan, layar LED besar di atas pangung menayangkan seruan kalimat ‘Free Palestine’, ‘Stop Genocide’ dan ‘Permanent Ceasefire Now’. Aksi protes lewat medium heavy metal yang sebelum dan seterusnya mereka lakukan untuk mendukung kemerdekaan Palestina dari penjajahan Israel. Para Baladceprot pun terlihat semakin giat sing along dan berloncat-loncat tanpa mempedulikan guyuran hujan. Usai lagu tersebut, VoB menggeber lagu “The Other Side of Metalism”.
VOB sendiri sering menuai stigma sebagai ‘cover band’ oleh sebagian masyarakat, terutama di skena metal Indonesia. Popularitas tiga metalhead berhijab ini dinilai ‘overrated’, tak lebih karena pakaian muslimahnya dan viral setelah membawakan lagu-lagu milik Rage Against the Machine, Metallica hingga System of a Down. Padahal pada awal 2023 lalu, mereka telah merilis album penuh berjudul “Retas” dan meraih pujian kritis dari media musik tersohor mancanegara seperti Kerrang!, Metal Hammer, NME, dan lainnya. Mungkin masih banyak orang yang belum tahu album VoB, lantaran album tersebut hanya tersedia dalam format digital. Salah satu tradisi di skena metal memang melestarikan rekaman fisik walau hidup di era yang serba digital. Jadi stigma tersebut sangat tidak relevan.
Omong-omong soal cover, di panggung Jogjarockarta ini VoB memberi kejutan. Mereka menyanyikan lagu Mars “Yalal Wathon” (Yaa Lal Wathan) yang bernuansa Islami, namun dieksekusi dalam formula metal. VoB sengaja memasukkannya di penampilan mereka dalam rangka memperingati hari ulang tahun organisasi keagamaan Nahdlatul Ulama (NU) ke-101 yang jatuh pada 31 Januari 2024. “Yalal Wathon” sendiri merupakan sebuah lagu karya salah satu pendiri NU, KH Wahab Chasbullah yang diciptakan pada 1916. Usai lagu penghormatan tersebut, VoB kemudian menutup aksinya lewat komposisi “God, Allow Me Please To Play Music”.
Sayangnya, masih banyak penonton Jogjarockarta yang belum tiba di lokasi konser saat VoB tampil, akibat tekanan air hujan yang semakin kencang. Disadari atau tidak, mereka telah melewatkan penampilan salah satu duta metal Indonesia ini yang patut diacungi dua jempol. Padahal vokalis/gitaris Firda ‘Marsya’ Kurnia, bassis Widi Rahmawati dan dramer Euis Siti Aisah tampil prima dengan dukungan tata suara dan visual layar LED besar yang ciamik. Mungkin di panggung berikutnya, VoB bisa kembali membuktikan level musikalitasnya sebagai band metal yang telah diakui secara internasional, namun dipandang sebelah mata di skena metal dalam negeri.
Keberingasan Formasi Baru Death Vomit
Usai jeda Magrib, panggung Jogjarockarta sempat dipanaskan sesi Jogja Rock Space yang membahas seputar musik rock dan metal dunia, serta kilas balik perjalanan Jogjarockarta yang digulirkan sejak 2017 hingga 2023. Sesi ini dipandu oleh host Kiki Pea dan Arsita Pinandita selaku rock enthusiast, plus iringan musik dari DJ Athonk7. Tidak hanya itu, ada pula penampilan dari Ecky Lamoh, mantan vokalis Edane, yang mengajak para penonton bernyanyi bersama di sesi Karaoke Kehidupan bersama iringan DJ Deni, membawakan beberapa lagu rock klasik popular milik Queen, Twisted Sister hingga Metallica.
Pada saat jarum jam di posisi angka tujuh, layar LED besar utama panggung menayangkan video azhan Isya yang berkumandang secara syahdu dan menggema ke seluruh relung jiwa. Suatu sesi yang jarang terjadi di hajatan musik keras di belahan dunia mana pun. Malam pun semakin larut, ditemani guyuran hujan yang pasang surut membasahi lapangan rumput yang semakin becek, sehingga meninggalkan genangan di beberapa titik.
Setengah jam kemudian, masih dalam kondisi hujan, kuartet bengis kebanggaan metalhead Yogyakarta, Death Vomit pun naik panggung. Dedengkot death metal bentukan 1995 silam tersebut membuka aksi brutalnya lewat komposisi “Chained in Agony”. Hujan sama sekali tidak menyurutkan semangat para pemuja band tersebut untuk memadati bibir panggung. Mereka tetap merespon lagu tersebut dengan melakukan headbanging, moshing dan membentuk circle pit tanpa peduli becek dan kotor.
Sodoran lagu-lagu berikutnya, seperti “In War for Deliverance”, “Unleash the Beast” dan “Ancient Spell of Evil” membuktikan kegarangan musikalitas barbar formasi baru Death Vomit. Gempuran kejam dramer Roy Agus yang sarat blast beat berpadu ketat dengan ritem gergaji beton gitaris Oki Haribowo. Kedua personel senior Death Vomit tersebut bersinergi secara optimal dengan dua darah segar di tubuh band tersebut, yakni vokalis Agustinus Widi dan bassis Ari Kristiono.
Lagu yang paling ditunggu apalagi kalau bukan “Divine Heretic”, rilisan tunggal terbaru Death Vomit yang direkam bersama formasi baru ini. Masih terbilang ‘fresh’ karena sejauh ini mereka baru dua kali membawakannya di atas panggung. Sebelumnya, pertama kali dikumandangkan di panggung Rock in Solo Festival 2023 lalu. Dan mudah ditebak, agresi eksplosif nan masif, dengan level brutalitas yang meningkat pun pecah di arena moshpit. All hell break loose!
Para ‘hell headbangers’ yang tanpa mengenakan jas hujan lagi seperti memberikan ‘peringatan’ secara tidak langsung kepada penonton lainnya yang begitu mengkhawatirkan hujan. Pesannya, hujan jangan dibawa stres. Luapkan saja kegembiraan dalam situasi dan kondisi apapun sehingga dapat mengeluarkan hormon dopamin dari dalam tubuh yang menyehatkan jiwa dan raga.
Layar LED besar utama panggung Death Vomit menampilkan visual yang berbeda pada tiap lagu. Sementara di layar LED sayap kiri dan kanan menampilkan tiap personel band secara ‘dekat’ dan silih berganti. Begitu megah, gagah dan indah sehingga cukup bisa mengalihkan perhatian pada kekurangan ‘clarity’ suara tiap instrumen dan vokalnya.
Kelar menggeber lagu “Emerged in Rage”, Death Vomit pamitan ke penonton sebelum akhirnya menutup aksi beringasnya di Jogjarockarta dengan “Where the Devil Blessed”. Akan tetapi hujan, tetap dalam posisi ‘mode: on’.
Kobaran Panas In Flames
Sebelum In Flames muncul ke panggung, terdapat jeda sekitar 25 menit karena faktor cuaca yang belum kondusif. Penampilan salah satu pionir melodic death metal asal Gothenburg, Swedia tersebut akhirnya baru bisa dimulai sekitar pukul 21:15 WIB, setelah panitia dan seluruh tim memastikan kondisi sudah aman.
In Flames membuka aksi energetiknya lewat lagu bertempo cepat, “Forgone Pt. 1” dari album terbarunya, “Foregone”. Album studio ke-14 tersebut sekaligus merupakan album pertama yang melibatkan kontribusi mantan gitaris Megadeth, Chris Broderick serta dramer Tanner Wayne. Lagu yang dimulai dengan gempuran blast beat tersebut kembali menggenjot adrenalin para ‘penguasa’ mosh pit yang sempat beristirahat. Penampilan Chris Broderick sendiri termasuk yang sangat ditunggu, terutama bagi para fans Megadeth.
Seperti ingin menghemat energi, berikutnya In Flames menurunkan tempo dengan memainkan lagu “Deliver Us”. Namun kemudian, tempo perlahan dinaikkan lagi lewat salah satu lagu terbaik mereka, “Pinball Map” dari album “Clayman”.
Sang vokalis, Anders Fridén mulai menyapa dan melakukan chit-chat dengan penonton. Dalam bahasa Inggris tentunya. Intinya, ia mengatakan, “Wah jujur ya, kalau saya jadi kalian yang sudah kehujanan dari tadi, saya lebih baik pulang ke rumah dan masak. Terima kasih sekali karena kalian masih tetap berada di sini!” Tentu saja kalimat tersebut langsung direspon meriah oleh penonton Jogjarockarta.
Jurus berikutnya, In Flames melanjutkan aksi panggungnya dengan menggeber lagu yang sangat groovy, “Everything’s Gone”, yang lalu disusul dengan “All for Me” yang sedikit bertempo lebih ‘santai’. Setelah menggelontorkan lagu-lagu dari era ‘modern’ In Flames, Anders Fridén memandu penonton menuju era melodic death metal dengan menggeber komposisi “Behind Space” dari album debut rilisan 1995 silam, “Lunar Strain”.
Hmm… tapi setelah “Behind Space”, ekspektasi sebagian fans In Flames agar mereka kembali membuka katalog lawas dari album fenomenal di era 1990-an, seperti “The Jester Race” dan “Whoracle”. Era ‘old school’ In Flames di mana vokal Anders hanya scream tanpa clean singing. Namun ternyata mereka justru kembali ke era modern dengan menggelontorkan lagu “Cloud Connected” dari album “Reroute to Remain” yang bervibrasi nu-metal. Tapi lagu selanjutnya, “State of Slow Decay” dari album “Foregone” cukup sangar. Materi album rilisan 2023 tersebut memang seperti peleburan dua era In Flames yang mencapai titik temu. Dan gitaris Chris Broderick juga sepertinya tidak dituntut bermain solo shredding seperti saat bermain di Megadeth. Di In Flames, ia lebih fokus ke harmonisasi dalam komposisi. Dengan demikian, porsi permainan Chris dan gitaris Björn Gelotte terlihat seimbang. Wajar jika tidak sedikit fans yang menilai skill Chris di musik In Flames tidak sepenuhnya ‘keluar’.
Kendati layar utama yang melatari panggung Jogjarockarta hanya menampilkan logo In Flames sepanjang pertunjukan, tapi penonton tetap dibuat terpukau oleh penampilan In Flames yang diperkuat ‘kejernihan’ suara tiap instrumen serta vokalnya. Kobaran api mereka benar-benar sukses memanaskan suasana malam itu.
Sebelum pamit, In Flames menerjang lagi lewat lagu andalan dari album “I, the Mask”, yang berjudul ‘I Am Above’. Lagu yang membuat sebagian penonton sing along di bagian refrain liriknya, ‘My God, I don’t need you, I won’t wait you to come around….’ Dan sebagai pamungkas yang cukup klimaks, mereka pun melantangkan “Take This Life” dari album “Come Clarity”.
Kreator is real!
Raksasa metal Jerman yang merupakan ‘biang kerok’ tur “Klash of the Titans” ini mulai menggebrak panggung pada pukul 22.35 WIB. Intro instrumentalia “Sergio Corbucci is Dead” mengiringi langkah empat punggawa Kreator, yakni Miland ‘Mille’ Petrozza (vokal/gitar), Jürgen ‘Ventor’ Reil (dram), Sami Yli-Sirniö (gitar) dan Frédéric Leclercq (bass) menuju ke posisinya masing-masing di panggung yang masih gulita.
Tiba-tiba cahaya panggung menyala, seiring terjangan lagu “Hate Uber Alles” yang membuka agresi ekstrim Kreator. Serangan thrash metal bertempo cepat yang diawali oleh teriakan panjang Mille Petrozza, ‘Aaaaaaarrrgghhh!’, yang memang merupakan salah satu gaya khas musisi penganut vegan tersebut, setiap kali membuka lagu pertama di hampir tiap album Kreator. Coba saja simak album “Extreme Aggression” atau “Coma of Souls”.
Cecaran distorsi dari Kreator langsung membuat penonton terperangah. Keren parah! Kualitas yang keluar dari pelantang suara terdengar rinci di tiap not musiknya. Hal itu seketika memprovokasi para penghuni mosh pit kembali ‘pecah’ dalam keliaran dan kebrutalan pusaran sambil ikut melafalkan lirik ‘Hate Uber Alles, hate is the virus of this world….’
Di lagu kedua, tempo diturunkan, namun tetap catchy dan efektif menciptakan koor massal. ‘Got a masterplan, genocide, can’t understand, people of the lie…’ Yup, “People of the Lie” yang dimainkan itu merupakan salah satu lagu Kreator yang liriknya paling dihafal oleh para Hordes of Indonesia, fandom Kreator.
Usai lagu tersebut, Mille langsung memainkan riff “Coma of Souls” yang langsung disambut oleh isian ketiga rekannya. Ayunan kepala massal sempat tercipta, namun mendadak terhenti lantaran ternyata lagu tersebut hanya dibawakan secuil, sebagai pengantar menuju lagu “Enemy of God”. Pada saat jeda, Mille lalu memerintahkan kerumunan penonton untuk membelah menjadi dua sisi. Ya, apalagi kalau bukan untuk menciptakan ‘wall of death’. Brutal dan nyaris tanpa henti hingga lagu berakhir.
Berikutnya, Kreator membuat bulu kuduk para pemujanya berdiri saat memuntahkan “Betrayer” secara maksimal. Lagu lawas dari album “Extreme Aggression” tersebut sangat bernilai nostalgik era akhir 1980-an dan awal 1990-an. Ritem gergaji beton dan lirik setajam belati yang baru diasah membuat fans mereka girang bukan kepalang. Di pertengahan lagu, Mille kembali bersabda. Kali ini memerintahkan pemujanya di Jogjarockarta untuk membentuk circle pit. Tidak ada yang berani membantah komando sang frontman, hasilnya mega brutal!
Kreator adalah salah satu monster thrash metal legendaris yang sangat disegani. Selain produktif, mereka mampu menjaga konsistensi seluruh aspek seninya secara non-kompromis. Dekorasi panggungnya pun merefleksikan citra tersebut. Kreator tidak menggunakan layar LED sebagai latar panggung, melainkan hanya memasang artwork album terakhirnya “Hate Uber Alles”. Tetapi di luar itu, Kreator menghadirkan patung maskot Kreator yang bernama Violent Mind, yang diposisikan persis di belakang perangkat dram Ventor. Juga ada empat boneka mayat menyerupai pocong yang digantung di kerangka rigging panggung, serta dua lagi di pojok kiri dan kanan panggung. Dekorasi bernuansa horor tersebut dikolaborasikan dengan penataan cahaya dan semburan api pyro technics yang mengikuti nuansa, emosi dan denyut tiap lagunya. Kreator seperti ingin menjaga citra ‘old school’-nya, dan vibrasinya terbukti efektif membuat ‘goosebump’.
Lagu “Satan is Real” dari album “Gods of Violence” memang semakin popular di mana-mana karena mudah dicerna dari berbagai sisi dalam komposisi musiknya. Sebelum mulai memainkannya, kru band memberikan bendera dari fans kepada Frédéric dan Mille. Bendera bergambar maskot Violent Mind yang bertuliskan “Demit Kuwi Nyoto”, versi bahasa Jawa dari “Satan is Real”. Hahaha!
Mille dan Ventor yang masing-masing berusia 56 dan 57 tahun – dua punggawa orisinal Kreator sejak 1982 silam – terbukti masih garang dengan stamina penuh. Nyaris tidak ada bedanya dengan era muda mereka. Sami, 51 tahun, permainan solo gitarnya memang paling ciamik dari semua gitaris yang pernah singgah sebelumnya di Kreator. Sama halnya dengan Frédéric, 45 tahun, mantan bassis Dragonforce.
Pertukaran energi antara band dan penonton pada malam itu terjalin dengan sangat baik. Termasuk ketika lagu “Hordes of Chaos (A Necrologue for the Elite)” dan “666 – World Divided” menjebol membran timpanik. Salah satu momen terbaik juga terjadi ketika Kreator menggeber “Flag of Hate”, anthem lawas dari album debut mereka pada 1985 silam, “Endless Pain”.
Setelah Kreator menghilang sejenak ke balik panggung, terdengar intro instrumentalia “The Patriarch” diikuti munculnya dua sosok berjubah dan bertopeng maskot Violent Mind dari sisi kiri dan kanan panggung. Setelah Kreator muncul kembali, lagu “Violent Revolution” langsung menghantam. Lagu bertempo sedang ini cukup efektif mengisi ulang energi penonton karena Kreator sudah menyiapkan lagu berikutnya yang provokatif dan bertempo ngebut. Ya, “Pleasure to Kill”, anthem lawas lainnya dari album rilisan 1987 berjudul sama, yang musiknya sering disebut pra-death metal atau deathrash oleh kalangan kritikus.
Kali ini Mille benar-benar memprovokasi semangat dan energi penonton Jogjarockarta bagian depan dan belakang. “Let’s make some noise, Jogjakarta! People in the front, people in the back, and altogether,” teriaknya. Mille belum mau memulai lagu hingga dia benar-benar puas mendengar teriakan keras seluruh penonton. Setelah ‘wall of death’, alhasil mega circle pit tercipta di hampir sepanjang lagu. Namun sayangnya, “Pleasure to Kill” rupanya menjadi lagu penutup di penampilan Kreator serta JogjaRockarta 2024 keseluruhan.
Jogjarockarta 2024 sendiri merupakan konser ketiga Kreator di Indonesia. Yang pertama konser tunggal pada 2005 dan yang kedua pada 2014 di Hammersonic festival, dua-duanya di Jakarta. Dan 5000 saksi mata di Stadion Kridosono tentu setuju jika konser malam itu adalah yang terbaik. Kalau pun harus mencari kekurangannya, hanya ada satu, yaitu reportoir lagu yang kurang banyak! Total hanya 10 lagu, tanpa menyertakan ekspektasi pemujanya untuk mendengarkan lagu “Extreme Aggression”, “Love Us or Hate Us”, “Phantom Antichrist” atau “Terror Zone”. Tapi tenang saja, di akhir konsernya Mille sempat berseru, “We shall retuuuurn!”
Penerus Slayer – Megadeth?
Ide “Klash of the Titans” sebenarnya diinisiasi oleh pihak manajemen Kreator. Huruf ‘K’ pada kata ‘Klash’ (plesetan dari kata ‘Clash’) merupakan inisial awal dari nama legenda thrash metal kelahiran Essen, Jerman, 40 tahun silam tersebut. Sedangkan salah satu huruf pada kata ‘Titans’ mengindikasikan inisial nama band yang menjadi tandem ‘clash’ alias ‘pertarungan’nya. Sebelum tur “Klash of the Titans” bersama In Flames untuk wilayah Asia dan Australia, Kreator telah mengibarkan bendera paket tur tersebut bersama Testament di wilayah Amerika Latin dan legenda thrash Brasil, Sepultura di wilayah Amerika Utara.
Tapi tajuk tur bertajuk “Clash of the Titans” ini sendiri sebenarnya bukan sesuatu yang baru. Kreator hanya melanjutkan dan mengembangkan ide “Clash of the Titans” yang pertama kali dicetuskan oleh dua raksasa metal, Slayer dan Megadeth dalam periode September-Oktober 1990 di wilayah Eropa bersama dua band pendamping, Testament dan Suicidal Tendencies. Tur lanjutannya kemudian berlangsung pada Mei-Juli 1991 di wilayah Amerika Utara, kali ini didampingi oleh Anthrax dan Alice in Chains. Yang jelas, pergelaran “Clash of the Titans” orisinal ini dianggap sebagai salah satu tur yang paling sukses dalam sejarah musik heavy metal. (Bimo D. Samyayogi/MK03)
Kredit foto: Dok. Rajawali Indonesia
Leave a Reply