Dari sekian banyak komposisi yang telah dibuat oleh musisi solo dari Malang, Jawa Timur ini sejak delapan tahun terakhir, akhirnya mendapat penyaluran. Ahmad Dliya Almunabbih yang menggunakan Abih RV sebagai nama panggung, telah merangkum karya-karya pilihan yang sempat dipetieskan tersebut ke dalam sebuah album debut berjudul “First Vault”, yang telah terhidang di berbagai platform digital sejak 1 Maret 2024.

Ibarat membuka ‘gudang’ arsip, beberapa karya lagu lama Abih lantas dipoles ulang, disesuaikan tuntutan aransemen kekinian. Delapan lagu yang ia pilih, masing-masing berjudul “The Highway of Life”, “Need a Cowboy Like Me”, “Extrañar”, “Journey of Love”, “Ain’t Afraid to Tell You”, “I’m Gonna Fly”, “Adam’s Song” dan “Shades of Blue”. Keseluruhan lagu dibalut dengan nuansa rock yang kental, yang mengacu ke gaya rock era 90-an dan 2000-an.

Abih sendiri memulai karir solonya sejak 2017, tepatnya sepulang dari Selandia Baru, dimana ia dan bandnya diundang tampil di sana oleh sebuah yayasan dari Auckland. Saat berada di negara tersebut, Abih bertemu dengan sejumlah musisi dan seniman setempat, yang memperhatikan dan mengapresiasi musikalitas Abih. Salah satunya adalah Terrence Underwood, seorang penyanyi dan penulis lagu country. Terrence menyayangkan posisi Abih saat itu yang hanya menjadi personel belakang di bandnya, sedangkan ia percaya bahwa Abih bisa melakukan lebih dari itu. Berkat dorongan dan dukungan dari Terrence, Abih yang mengidolai musisi seperti Steve Vai, Joe Satriani, Ahmad Dhani (Dewa 19) dan Fariz RM ini pun memulai perjalanannya untuk bersolo karir.

Lebih jauh tentang rilisan “First Vault”, berikut ulasan proses kreatif Abih yang diungkapkan kepada MUSIKERAS:

Musikeras: Saat merekam materi-materi lagu yang termuat di “First Vault”… adakah secara spesifik pengalaman menarik saat menjalani prosesnya?

Abih: Dari delapan lagu di album ‘First Vault’, masing-masing mempunyai riwayat proses kreatif dan pengalaman yang berbeda-beda. Saya mulai dari lagu yang menurut saya paling berkesan, lagu ‘Adam’s Song’. Saya berteman dengan Adam Tribuana ketika kami masih kuliah. Kondisi kehidupan kami saat itu sama-sama pas-pasan dan kami bersama-sama struggle untuk menjalani kehidupan. Adam adalah pemain saksofon yang saat itu memiliki perangkat rekaman proper, sedangkan saya tidak memiliki. Kami menggarap project pertama kami di tahun 2016. Terlahirlah sebuah lagu yang kini berjudul ‘Adam’s Song’. Saat itu belum ada judul. Namun saat itu kualitas mixing dan mastering saya sangat jauh dari kata proper. Meskipun begitu, Adam benar-benar excited dan berterima kasih kepada saya sudah bersedia bersama-sama menggarap perekaman lagu tersebut. Saking senangnya, Adam meminta saya untuk memakai semua perangkat rekaman miliknya. Itu adalah awal mula saya mendalami dunia rekaman. Kemudian sejak 2018 saya bekerja di salah satu studio rekaman di Malang untuk lebih serius mempelajari produksi audio, sembari saya membuka studio rekaman milik saya sendiri menggunakan perangkat milik Adam. Tahun-tahun berlalu, ratusan project milik klien sudah saya tangani, dan saya merasa skill produksi saya sudah layak. Di tahun 2022 saya membuka lagi arsip tahun 2016, project saya dan Adam. Di situ saya melihat bahwa lagu ini sangat bisa direstorasi. Sebuah hal yang patut saya syukuri adalah, trek saksofon Adam yang saya rekam di tahun 2016 itu terekam dengan proper. Sehingga saya memutuskan untuk melakukan remake dengan merekam ulang isian gitar, kibord, bass dan dram. Lalu saya masukkan trek saksofon Adam yang saya ambil dari arsip project lama tadi. Ketika remake ini selesai, posisi saya dan Adam sudah lama tidak berkomunikasi sebab kesibukan masing-masing. Saya beritahu dia hasil remake terbaru saya tersebut, kami sama-sama terharu sampai tidak bisa berkata-kata. Lagu ini merupakan kisah sekaligus bukti nyata persahabatan kami.

Lagu berikutnya, ‘Journey of Love’, merupakan lagu yang saya buat ketika masih tergabung dalam sebuah band yang saat itu kami mendapat kesempatan untuk merekamnya di kota Auckland dan Paeroa, Selandia Baru. Satu tahun kemudian saya hengkang dari band dan memutuskan untuk bersolo karir. Namun saya tidak begitu saja melupakan kenangan bersama band saya tersebut, saya memutuskan untuk memproduksi ulang lagu ‘Journey of Love’ versi saya dan untuk mendedikasikan rasa terima kasih kepada sahabat-sahabat satu band saya.

Proses kreatif dari lagu ‘I’m Gonna Fly’, ‘Need a Cowboy Like Me’ dan ‘Ain’t Afraid to Tell You’ juga menarik bagi saya. Saya berkawan dengan Terrence Underwood, singer-songwriter dari Selandia Baru yang ber-genre country abis! Otak kami berkolaborasi dalam proses awal pembuatannya. Pada awalnya, tiga lagu tersebut sangat kental akan style old country a-la Terrence, namun saya mengubahnya dengan sentuhan aransemen yang lebih modern.

Untuk proses kreatif secara general, ada satu hal unik yang saya jadikan patokan ketika menggarap semua lagu di album ini. Secara subjektif, saya adalah penggemar sebuah nuansa visual atau imajinasi dimana kita seolah sedang berlibur dan mengendarai mobil di jalanan panjang, dikelilingi padang rumput gersang atau pepohonan a-la Amerika, dilengkapi dengan cerahnya terik matahari. Saya selalu mengimajinasikan visualisasi tersebut di dalam kepala saya selama proses perekaman materi lagu-lagu di album ini.

Seperti apa konsep rock yang Anda terapkan di “First Vault”? Adakah hal-hal khusus yang membuat musik Anda berbeda?

Konsep rock yang saya terapkan di dalam album ini awalnya saya pelajari dari mendengarkan lagu-lagu mancanegara yang ter-published melalui label-label mayor era 2000-an. Saya menyimpulkan bahwa ternyata rock yang maskulin atau gagah itu tidak selamanya memerlukan distorsi yang kasar atau heavy. Banyak lagu yang ‘laki’ banget namun alunan gitarnya tetap sopan di telinga. Dengan begitu, akhirnya segmen pendengar bisa lebih luas lagi, artinya tidak hanya merangkul pendengar yang menyukai musik rock saja, namun pendengar musik pop juga terrangkul di situ. Bagi saya itu yang membedakan musik saya dibanding karya musisi-musisi atau band rock saat ini. Beberapa band atau musisi rock saat ini berusaha menampilkan kegaharan mereka dengan kental dan menyuguhkan teknik-teknik permainan yang sangat menantang. Saya mengagumi banyak sekali pemain rock berbakat saat ini, namun untuk karya-karya saya, saya tidak berkompetisi dengan menyuguhkan skill teknik permainan yang muluk-muluk. Jika membicarakan teknik permainan gitar, saya menyuguhkan permainan yang lebih easy listening, namun saya tetap menyisipi bumbu-bumbu blues, speed-picking dan ketukan-ketukan progresif yang masih sopan di telinga. Jika pendengar mengamati, saya juga sesekali mengubah birama-birama pada lagu ‘The Highway of Life’ dan ‘Journey of Love’. Ada ketukan 4/4, 3/4, 5/8, 6/8, dan 7/8 yang transisinya saya usahakan tidak terlalu terkesan mengagetkan. Jadi kalau saya simpulkan, musik saya tidaklah se-feminim lagu-lagu pop yang mendayu-dayu, namun juga tidak segahar band-band rock saat ini, musik saya ada di tengah-tengahnya. Tetap maskulin namun sopan.

Dari mana saja referensi musik yang Anda jadikan acuan saat menggarap komposisi serta aransemen lagu-lagu di “First Vault”?

Di album ini, referensi yang cukup banyak saya adaptasi adalah nuansa modern country rock dari Keith Urban dan Brad Paisley. Saya juga mengambil unsur-unsur musik country dari lagu-lagu Taylor Swift era 2006-2010. Untuk part gitar dan nuansa rocknya, saya terinspirasi oleh alunan gitar Joe Satriani dan konsep rock dari band Dewa 19. Sedikit unsur rock lainnya saya ambil dari band-band rock 90-an seperti Mr. Big, Bon Jovi dan Firehouse. Sedangkan unsur progresif atau pergantian ketukan-ketukan di beberapa lagu saya terinspirasi dari band rock progresif Dream Theater. Adapun konsep tentang pengerjaan sendiri semua instrumen dalam album ini saya terinspirasi oleh Fariz RM, legenda Tanah Air yang terkenal memainkan sendiri semua instrumen dalam lagu-lagunya.

Dari keseluruhan lagu, manakah yang paling menantang secara teknis saat mengeksekusi rekamannya?

Lagu ‘Need a Cowboy Like Me’, karena di situ saya mengerahkan kreativitas saya dalam memasukkan unsur-unsur musik country seperti alat musik banjo dan fiddle, lalu mengombinasikan sound dram modern dengan synth drum programming yang bergaya vintage. Kemudian sepanjang lagu Anda akan mendengarkan sentuhan-sentuhan gitar dengan lick blues dan tidak ketinggalan juga liukan slide guitar atau bunyi lap-steel yang memperkuat nuansa country di lagu ini. Bagi saya lagu ‘Need a Cowboy Like Me’ merupakan lagu yang aransemennya paling ‘rich‘.

Jika diberi kesempatan membuat musik seidealis mungkin tanpa harus memikirkan selera orang banyak, konsep musik seperti apa yang Anda ingin buat?

Musik idealis yang mungkin akan saya buat jika diberi kesempatan adalah musik rumit dan skillful yang bergaya heavy metal dan progresif, mengingat saya adalah penggemar berat (dramer) Mike Portnoy dan (gitaris) John Petrucci, dua pentolan grup band Dream Theater. (aug/MK02)

.