Inveigh adalah sebuah proyek supergrup yang melibatkan beberapa musisi ‘bawah tanah’ di Malang. Formasinya diperkuat vokalis Julius Rinda Bagus dari band Take This Life, lalu bassis Anizar ‘Nizar’ Yasmeen dari Extreme Decay, gitaris Eltria ‘El’ Raffi (Dazzle) dan dramer Raditia ‘Radit’ Putra (Young Savages, Mocking My Friends).

Pelatihan pertama band yang diprakarsai Julius dan Nizar ini dimulai pada November 2023. Cukup intens dan berlangsung hingga Februari 2024. Dari situ, melahirkan beberapa materi lagu, yang akhirnya berhasil dituangkan dalam bentuk album mini (EP) bertajuk “Dinamika”.

Proses perekamannya sendiri dilakukan pada Februari 2024 lalu, dan dieksekusi di beberapa tempat. Khusus isian drum dan bass dikerjakan di Sirius Studio, vokal di Haum Studio, dan gitar di 202 Studio. Sementara untuk mixing dan mastering dipercayakan kepada Dzul Fawaid Ahmad di Studio Barkah. Keseluruhan proses rampung pada bulan April 2024.

EP debut Inveigh itu sendiri merupakan representasi dari krisis kehidupan atau krisis paruh baya pasca 30. Sebuah wasiat dan kesaksian tentang dinamika orang dewasa (kebanyakan berkeluarga) menghadapi kerasnya kehidupan sehari-hari. Terkadang bercerita tentang mengenang kenangan masa remaja, terkadang mencoba menghidupkan kembali ambisi yang belum tercapai. Band ini terdiri dari tiga orang berusia pasca 30 dengan bungsu mereka, gitaris yang baru saja mengalami krisis seperempat kehidupan.

Secara umum, EP “Dinamika” mengangkat tema ‘krisis paruh baya’ berdasarkan istilah psikologi “Midlife Crisis” karya Elliott Jaques, seorang psikoanalis asal Kanada. Dalam sebuah makalah yang diterbitkan pada 1965, Elliott yang saat itu berusia 48 tahun dan relatif tidak dikenal, menciptakan istilah ‘krisis paruh baya’.

Elliott menulis bahwa selama periode ini, kita berhadapan dengan keterbatasan kita, kemungkinan kita yang terbatas, dan kematian kita. Orang yang mengalami krisis paruh baya mungkin mempertanyakan pilihan hidup mereka dan memikirkan arah baru.

Ia juga mencatat bahwa pasien berusia pertengahan hingga akhir 30-an tampaknya mengalami masa depresi dan perubahan gaya hidup mendadak saat mereka menghadapi potensi tentang kematian mereka sendiri. Gagasan bahwa krisis paruh baya adalah sebuah kepastian biologis pun menyebar. 

Saat ini, hal ini umumnya dikaitkan dengan stereotip pria paruh baya yang membeli mobil mewah atau mengakhiri pernikahan untuk mendapatkan kembali rasa awet muda.

Menanggapi konsep tersebut, Inveigh lalu menciptakan lima lagu yang mencerminkan krisis paruh baya, lebih dekat dengan pengalaman pribadi mereka sebagai orang Indonesia, khususnya orang Jawa yang tinggal di Malang.

Dinyanyikan dalam bahasa Indonesia, Inveigh mencoba menyampaikan depresi dan penawaran secercah harapan yang terucap dalam bahasa ibu sehingga itu akan secara langsung diterima oleh para pendengarnya. Dalam melakukan itu, Inveigh berharap para penggemar bisa merasakan kehidupan mereka secara langsung tanpa harus menggali makna lagi yang lebih sulit.

“Tema besar pada lirik berasal dari apa yang kami alami dan rasakan di keseharian. We’re a bunch of late 20s-late 30s guys, so it’s only normal to write things guys our age might experience. Mungkin agak klise untuk bilang ‘menulis dengan jujur’, tapi semoga beberapa orang bisa relate dengan apa yang kami tulis,” tutur Julius berharap.

Inveigh menyebut musiknya sebagai bauran dari indie punk, grunge dan alt-rock secara sonik. Musik mereka berkembang dari suara garage punk ke gaya alt-rock yang mengingatkan pada musik-musik besutan The Bronx, The Ghost of a Thousand, Pure Love, Gallows dan The Damned Things yang menggabungkan kombinasi gitar reverbing yang terdistorsi lebar dan energi punk rock.

“Sebenarnya kami tidak secara khusus mengonsep musik dengan warna atau genre tertentu, meski hasil akhirnya mungkin terdengar seperti itu. Lebih pada mencoba menyalurkan minat aku untuk memainkan lagu-lagu rock seperti band-band yang kami sukai dan dengarkan seperti Bronx, Ghost of a Thousand, Gallows, Pure Love, dan sejenisnya. Punk rock dengan sentuhan garage/blues juga nggak salah, padahal itu bukan niat yang kami sadari dari awal,” ujar Julius lagi.

inveigh

Lima lagu yang termuat di “Dinamika” berjudul “Berjalan”, “Nyala”, “Rekah”, “Sesal” dan “Laju”. Kepada MUSIKERAS, para personel Inveigh menyebut masing-masing dari lagu itu menghadirkan tantangan tersendiri saat merekamnya. 


Julius dan Radit menunjuk “Rekah” sebagai komposisi yang lumayan menantang. “Lirik padat merayap,” seru Julius. 

Pattern daum yang gonta-ganti serta banyak fill-in, jadi kalo nggak fokus bisa bahaya,” cetus Radit sambil tertawa.

Sementara Nizar dan El masing-masing memilih “Nyala” dan “Laju” sebagai komposisi yang menantang. “Sebenarnya cukup simpel bassline-nya, tapi harus stabil sepanjang lagu dan harus dapet feel-nya yang bikin cukup sulit,” ucap Nizar.

“Track paling santai, tapi butuh berulang kali take gitar sampe ngerasa fit sama lagunya,” ujar El terus-terang.

Selain itu, pengalaman pertama Julius, Radit, Nizar dan El berkolaborasi di sebuah band yang berkontur rock turut memberi tantangan tersendiri. Meskipun terbilang lebih ringan dibanding band-band mereka sebelumnya.

“Terus terang sebelumnya tidak pernah secara serius memainkan lagu-lagu yang polanya lebih ‘standar’ seperti di Inveigh, dan ternyata lagu-lagu dengan pola ‘standar’ seperti itu ada tantangannya tersendiri,” kata Nizar tanpa merinci lebih jauh.

“Terasa lebih segar dan menantang, baik saat rekaman atau live, karena jauh dari warna musik yang saya bawakan selama ini,” cetus El menegaskan.

Sementara Radit justru mengaku menikmati memainkan konsep musik di band barunya ini. “Enjoy banget, soalnya pattern dram (memang) yang dipengen dan dulu nggak bisa dimainin, (sekarang) bisa dieksekusi di Inveigh.”

EP “Dinamika” tersedia di Bandcamp sejak 1 Juni 2024 melalui Haum Entertainment. Sedangkan untuk digital streaming platform, sudah hadir sejak 23 Agustus 2024 lalu. (aug/MK02)