Komonarcy terus menebar racun dan bisa. Unit hardcore punk asal Kupang, Nusa Tenggara Timur (NTT) yang digerakkan gitaris dan vokalis Elroy Atmajati Noman (Roy), dramer Remon Mekeng dan bassis Rian Djahimo ini menargetkan tahun ini juga bisa mengeksekusi penggarapan album penuh keempatnya itu.

“Kami rencana akan menggarap album keempat dengan sentuhan-sentuhan yang berbeda, dan tetap menjadikan lirik-lirik kami berbisa dan beracun. Seperti liur komodo yang mematikan,” seru Roy kepada MUSIKERAS, mewakili rekan-rekannya di band.

Sedikit kembali ke album “The Mark Of The Beast” yang masih tergolong hangat, proses kreatif penggarapannya dimulai para personel Komonarcy dengan mengeksplorasi ide-ide musikal mereka. Hasil dari kombinasi perbedaan genre masing-masing.

“Kami banyak berdiskusi, berbagi inspirasi, dan mencoba berbagai pendekatan hingga menemukan formula yang pas untuk setiap lagu. Proses rekaman memakan waktu sekitar satu tahun lebih, dan seluruh sesi dilakukan di home studio kami, dengan alat rekaman seadanya, dan diproduseri oleh dramer kami sendiri.”

Hardcore punk lantas menjadi titik tengah dari kolaborasi gagasan musikal mereka di album rilisan Mei 2024 lalu ini. Komonarcy menyebutnya sebagai kombinasi antara energi lirik yang berbisa, agresivitas punk, dan pesan sosial yang kuat.

Mereka mencoba memasukkan elemen-elemen baru seperti pencampuran hardcore, punk, thrash, heavy, dengan lirik yang lebih sederhana namun naratif, yang jarang dijumpai dalam genre ini.

“Yang membuat kami unik adalah bagaimana kami memadukan pengaruh klasik hardcore dengan genre lain, menciptakan identitas musik dengan lirik kritis dan kritik tentang isu yang ada di Timur Indonesia.”

Lebih jauh, Komonarcy menyerap beragam referensi untuk mengemas musiknya, mulai dari band-band hardcore punk, crust punk, hingga elemen dari genre lain.

Contohnya, suntikan musik country di lagu yang dijadikan judul album, “The Mark Of The Beast”, selain elemen metal, thrash dan heavy metal.

“Kami juga mengambil inspirasi dari isu-isu sosial, krisis iklim dan politik yang ada di daerah kami, yang merepresentasikan akhir jaman yang dibuat oleh ulah manusia itu sendiri, yang memberikan kedalaman pada lirik dan atmosfer album ini,” seru Roy lagi, menambahkan.

Lagu “The Mark Of The Beast” tadi, plus satu lagu lainnya yang berjudul “Saksi Bisu Anarkis” mereka akui sebagai dua komposisi yang sangat menantang eksekusi rekamannya secara teknis.

Alasannya, karena kedua lagu itu memiliki tempo yang lebih lambat (heavy), dengan pengerjaan lirik yang memakan waktu lebih lama karena merangkai kata dengan makna tersirat.

“Tetapi dari 14 track lagu (di album) memiliki tantangan dan karakternya masing-masing,” ujar Roy meyakinkan.

Menetas di awal teror Covid-19 mendunia, dan di tengah kemuakan dan keresahan terkait mimpi buruk proyek ambisius pariwisata ala pemerintah di ruang hidup para Komodo Dragon, memicu menetasnya Komonarcy ke permukaan. Kelahiran mereka disambut oleh kenyataan dunia sedang tidak baik-baik saja.

Nama Komonarcy sendiri awalnya tanpa arti apa-apa. Namun seiring waktu dan dinamika yang aneh-aneh, makna dari nama itu pun mulai nampak.

Kerap didefinisikan maknanya menjadi ‘Komodo Anarchy, Liur Kami Berbisa’, dimana mereka menjadi simbol racun yang bisa menginfeksi para pembual angkuh, yang bisa menyebarkan virus solidaritas atas perlawan terhadap segala bentuk ketidakadilan.

Lalu belakangan diasosiakan menjadi ‘Komodo Not Monarchy’, yang meluapkan pesan bahwa ekosistem kehidupan yang sudah bertahan selama berabad-abad, tidak bisa diatur semaunya oleh penguasa. Ruang hidup komodo punya ekosistem sendiri, cara hidup sendiri di alamnya.

“Dua hal ini yang terus menyala!”

Di mata mereka, Komonarcy bukan sekadar grup band yang hanya menelurkan karya untuk dinikmati semata. Komonarcy juga pendakwah. Pada setiap kesempatan tampil, selalu mengajak rekan-rekan mereka untuk membuat karya sendiri. Karya yang lahir dari NTT, dari Tanah Timor dan seruan-seruan solidaritas.

Pada 25 Desember 2020, dengan formasi awal Roy Timor (bass/vokal), Ganex Kabosu (gitar) dan Remon Mekeng (dram), Komonarcy merilis album pertama berjudul “Primordialtik” (ReMental Records). 

Album kedua, “Sen Sa’ Seu Nane” yang dalam bahasa Timor berarti ‘apa yang kau tabur itu yang kau tuai’ dirilis pada 14 Desember 2022. Di karya kali ini, Komonarcy berkolaborasi dengan beberapa musisi. Baik musisi lokal maupun musisi nasional. Di antaranya melibatkan Tege Dreads (Steven & Coconuttreez/Dreads Conspiracy) dan Ronald Radja Haba (Carnivored/Burgerkill).

Selain album, karya-karya Komonarcy juga menghiasi beberapa proyek album kompilasi seperti “Lawan Arus #5” (2021), “Teriak Massal” (2021), “Lawan Arus–Pesta Rakyat” (2021), “United Existence Vol. 4” (2022) dan “Lawan Arus Indonesia–Malaysia Vol. 2” (2022). (mdy/MK01)