Terlecut dendam karena selama pandemi tak bisa menemui ‘Pasukan Babi Neraka’ – sebutan untuk para pemuja band cadas asal Solo, Jawa Tengah ini – akhirnya Down For Life mengambil inisiatif untuk bergerak. Agresi tur pun dicetuskan, berlabel “Post-Apocalypse Tour 2022”, dan bakal menggilas beberapa titik di kawasan Jawa Tengah, Jawa Timur serta Jawa Barat.

Rangkaian tur yang digagas Down For Life bekerja sama dengan manajemen R.I.S Dead Cartel, plus dukungan penuh dari Blackandje Records serta Belukar, dicanangkan berlangsung selama dua periode. Yang pertama bakal dieksekusi sepanjang Juni dan Juli, lalu periode selanjutnya pada Agustus dan Oktober 2022 mendatang.

“(Ini) Balas dendam, dua tahun lebih tidak bisa melakukan pertunjukan secara langsung dengan bertemu Pasukan Babi Neraka. Ini semacam perayaan hampir berakhirnya pandemi dan menyambut endemi bagi kami,” seru vokalis Down For Life, Stephanus Adjie kepada MUSIKERAS.

Yang menarik, band bentukan 1999 silam ini menggaet komunitas lokal di tiap kota untuk mengadakan konser dengan sistem bagi hasil dari penjualan tiket. Down For Life hanya akan dibayar sesuai dengan jumlah tiket yang laku di tiap pertunjukannya sehingga tidak membebani salah satu pihak. Selain itu, mereka juga mengajak perwakilan band cadas di masing-masing kota sebagai penampil pendamping. 

Sistem bagi hasil tersebut diharapkan bisa menyeimbangkan posisi tawar antara band dengan penyelenggara sekaligus menciptakan industri yang independen dan adil. Sistem ini juga dirasa menjadi pilihan yang lebih setara, adil, dan terbuka, sesuai dengan semangat DIY (do-it- yourself), dimana Down For Life juga merupakan band yang lahir dari rahim ranah musik ‘bawah tanah’. 

Nah, bagaimana strategi untuk mengakali biaya produksi antara pihak band dengan penyelenggara agar tur tersebut bisa berjalan dengan lancar?

“Sistem sharing tiket dengan penyelenggara di masing-masing kota. Down For Life menanggung biaya transportasi, produksi band, termasuk fee (upah manggung) band itu sendiri, yang didapat dari sharing penjualan tiket. Sementara panitia penyelenggara menggunakan hasil dari sharing tiket untuk biaya produksi konser. Mulai dari venue, ijin, produksi sound dan lainnya. Tentu itu memperhitungkan kapasitas venue yang sesuai dengan biaya dan juga pasar dari Down For Life sendiri,” beber Adjie mengungkap ‘rahasia dapur’nya.

Bagi Down For Life yang juga diperkuat Rio Baskara (gitar), Muhamad Isa Mahendra Jati (gitar), Mattheus Amadeus Aditirtono (bass), Muhammad Abdul Latief (dram) dan Adria (sequencer), sistem bagi hasil tiket tersebut adalah strategi yang paling masuk akal dan adil untuk diterapkan saat ini, dalam kondisi sulit seperti sekarang. Band akan mendapatkan bayaran yang sesuai dengan jumlah penonton yang datang. Demikian juga penyelenggara. Jadi, kedua belah pihak mempunyai tanggung jawab yang seimbang sesuai porsinya.

“Untuk Down For Life sendiri juga dapat mengukur kapasitas pasarnya di masing-masing kota. Selama ini, kami seperti terlena bermain di festival dengan ribuan bahkan puluhan ribu penonton, tapi itu sebenarnya bukan murni pasar kami yang sesungguhnya.”

Menerapkan sistem bagi hasil tiket, menurut Adjie lagi, juga sudah dilakukan banyak band lain, contohnya seperti The Brandals dan The Panturas. Dan selama ini, juga lazim dilakukan di industri pertunjukan di luar negeri, dimana banyak band menjalani atau menyelingi tur di lokasi berskala kecil seperti café, bar, club atau live house. Pola itu yang lantas berusaha diadopsi Down For Life, yang tentunya disesuaikan dengan situasi dan keadaan di sini.

“Pola ini saya adopsi saat tahun 2016 yang lalu, saat saya ke Eropa dan nonton Slayer manggung di Dornroosje, di Nijmegen. Sebuah live house dengan kapasitas 300-500 orang. Saya pikir, bagaimana penyelenggara bisa membayar Slayer yang bayarannya milyaran? Ternyata menggunakan sistem sharing tadi, atau fee yang jauh di bawah standar. Tapi konser tersebut diadakan di hari biasa, karena saat akhir pekan Slayer bermain di festival besar. Tentunya dengan bayaran yang besar pula. (Tapi) Selama tur di Eropa, mereka tidak mungkin harus pulang ke Amerika setiap habis konser. Jadi mereka menggelar tur-tur di live house, bar dan semacamnya.”

Jadi ikut menerapkan sistem bagi hasil penjualan tiket di rangkaian “Post-Apocalypse Tour 2022” dianggap Adjie sebagai langkah yang tepat. Band dan penyelenggara tidak bergantung sepenuhnya kepada sponsor dari korporasi, tapi bisa berjalan mandiri. Bukan berarti anti sponsor, tapi kata Adjie, misi utamanya adalah mencoba membangun industri yang mandiri. Ketika ada sponsor, ya itu adalah bonus besar.

“Kalau hanya menunggu undangan dengan bayaran besar akan sulit, kecuali kami (sebesar band) Noah atau Pamungkas. Peta berubah setelah pandemi, nggak bisa hanya mengandalkan nama besar saja kalau mau bertahan. Karena secara market, industrinya juga berubah. Harus lebih fleksibel. Apalagi untuk band ‘gorong-gorong’ seperti kami. Tapi tentu band juga harus menyiapkan modal awal atau kas untuk jaga-jaga jika sekiranya konser tidak sesuai target. Tapi dalam tur ini, kami juga ada beberapa jadwal tampil di festival atau acara korporat besar, itu bisa menjadi subsidi silang.” 

Untuk mengetahui info jadwal tur selengkapnya, silakan pantau di akun Instagram resmi @downforlifesolo. (mdy/MK01)