Sejak dipinang oleh label rekaman independen Rottrevore Records pada 2020 lalu, unit keras nan brutal asal Bandung, Jawa Barat ini langsung bergerak agresif lewat karya rekaman yang berformat album yang disebut-sebut lebih dewasa sekaligus gelap. Khususnya jika dibandingkan dengan materi demo mereka, “Path of Repugnance” yang dilempar ke skena dalam jumlah terbatas pada 2019 lalu.
“Path of Repugnance” sendiri sudah dianggap sadis saat diperdengarkan pertama kali, dan menjadi buah perbincangan di kalangan penyembah death metal Tanah Air. Situasi itulah yang membuat Rottrevore Records tergerak untuk menarget Prolong Anoxia sebagai salah satu band andalannya.
Kini, tepatnya sejak 1 Oktober 2022 lalu, Prolong Anoxia sudah menggaungkan album barunya bertajuk “Perpetual Murder”, yang mengunggulkan delapan komposisi berhulu ledak tinggi. Materinya yang mulai digarap sejak Agustus 2020 tersebut, berputar di antara nada diminished dan minor, yang terkadang disertai harmoni berbalut intonasi samar, dan dikombinasikan dengan pacuan pedal kembar dan terapan teknik blastbeat di dram. Lalu semakin mengerikan dengan geraman vokal guttural, yang menambah elemen kebrutalan di album tersebut.
“Ya, extreme music for extreme people,” seru gitaris Saepulloh Kurnia kepada MUSIKERAS, mewakili Prolong Anoxia, tentang garis merah eksplorasi musiknya.
“Kami menganggap bahwa band kami membawakan musik ekstrim yang mungkin belum bisa dibawakan oleh orang lain. Menurut kami, musik death metal itu bukan soal tempo yang cepat aja, tapi death metal bisa membawakan atmosfer tersendiri bagi pendengarnya. Sebagai contohnya, (menghadirkan) suasana kengerian yang bikin bulu kuduk merinding. Selain itu, kami semua memang orang-orang yang oldschool sehingga memainkan musik yang murni brutal death metal memang lebih cocok buat kami. Kami tidak memungkiri pada masa sekarang ini, crossover berbagai gaya musik ekstrim marak dilakukan dan itu merupakan sesuatu yang keren. But that’s not for us. We just want to play pure brutal death metal on our own way.”
Menciptakan “Perpetual Murder” sendiri bukan merupakan proses yang singkat. Karena awalnya, hanya dikerjakan oleh dua personel, yaitu Saepulloh dan dramer Muhammad Arief. Keseluruhan tahapan diawali sejak 2019 dengan pembuatan riff-riff gitar yang kemudian dituangkan dalam bentuk tabulasi. Setelah proses itu selesai, selanjutnya diserahkan kepada dramer untuk dikawinkan dengan pola-pola isian dram. Namun saat proses rekaman di Red Studio berlangsung, ada beberapa riff serta isian dram susulan yang terpakai lantaran dirasa menarik. Khusus untuk vokal dieksekusi paling akhir, yakni pada tahun ini, di Depthbase Studio.
.
.
Bisa dibilang, “Perpetual Murder” merupakan album yang eksperimental bagi para personel Prolong Anoxia yang juga dihuni Andry Suryantoz (vokal) dan Fauzan Kamil (bass). Karena kali ini, band bentukan 2009 silam yang sedikit banyak musiknya terpengaruh paham Deeds of Flesh, Gorgasm serta Suffocation tersebut berani menambahkan instrumentasi serta teknik yang mungkin terbilang tidak umum di genre-nya.
“Seperti contoh di gitar, kami menggunakan arpeggio, signature tempo, skala kromatik yang biasa dipakai oleh musik di luar genre kami. Dan juga khusus untuk gitar dan bass, kami mengubah stelan (tuning) senar menjadi B standar, dimana asalnya (menerapkan) C standar. Dan justru itu yang menjadikan output musik kami terdengar lebih raw dan obscure. Untuk dram, seperti umumnya dalam extreme metal drumming, pendekatan kami lebih mengedepankan blastbeat dan double bass yang rapat serta diisi fill-in yang cepat sehingga menjadikan album ini sebagai salah satu album yang brutal dan intens.”
Disamping itu, Prolong Anoxia juga mengutamakan penggunaan perangkat sederhana serta efek gitar analog untuk mendapatkan sound death metal yang otentik, serta instrumentasi di dram yang condong ke akustik agar terasa natural.
Jika harus memilih, Prolong Anoxia memilih “Blood Salvation” yang berada di urutan keempat di album, sebagai komposisi yang paling menantang eksekusinya secara teknis. Merupakan trek paling intens yang pernah mereka buat.
“Karena lagu tersebut memfokuskan kepada kecepatan dan keakuratan permainan instrumen. Blastbeat yang menghajar di sana sini, permainan double bass (di dram) tiada henti yang sudah (terdengar) seperti kereta api…. Sangat menguras stamina bagi kami. Selain itu ada lagu ‘The Abomination Prayer’, yang juga paling menguras otak kami dikarenakan tempo yang berubah-ubah tidak terduga, sehingga kami pun merasa tertantang dengan konsep yang menurut kami ini edan sekaligus asik.”
Penasaran mendengarkan “Perpetual Murder” keseluruhan? Langsung geber album ini via berbagai platform digital seperti Spotify, Apple Music, Deezer, Tidal, Napster hingga YouTube. (mdy/MK01)
.
.
Leave a Reply