Band ini berdomisili di Kota Singkawang, Kalimantan Barat, dan sudah disahkan kelahirannya sejak 21 Oktober 2021 lalu. Awalnya mengibarkan nama Comoreets dengan menggeber paham hardcore punk ala band asal Jakarta, Straight Answer. Tapi pada 2022, konsep itu berubah haluan menjadi hardcore beatdown yang mengacu pada band seperti Outta Pocket dan Sunami. Tapi pada 2023, lagi-lagi konsep itu dirombak. Bahkan kali ini secara total, termasuk nama bandnya yang berubah menjadi Reets.
Sementara untuk racikan musiknya, mereka menjurus ke chaotic hardcore, yang antara lain terinspirasi band-band seperti Code Orange, Vein FM, Knocked Loose dan The Abused. Formula inilah yang lantas dituangkan di karya album mini (EP) pertamanya yang bertajuk “Walk in The Darkness”. Mulai diedarkan sejak 16 Oktober 2023, dan memuat lima amunisi panas berjudul “B-Core”, “Hypnotize”, “Greedy In The World”, “Fairytale In The Justice” dan “Eye of Truth”.
Mengapa band yang digerakkan formasi Zidan Agung Perdan aka Bopeng (vokal), Adam Bintang Bahgie Ersia (gitar), Muhammad Dewin Ersia (gitar), Rexy Aprilyandi (dram) dan Risqy Ardiansyah Arman aka Camat (bass) ini melakukan perubahan genre?
“Lebih tepatnya kami mengikuti tren yang ada di sekitar kami, dan akhirnya memilih chaotic hardcore yang memiliki sound tambahan seperti (band) Code Orange yang sangat menginspirasi kami, dan kami memilih Code Orange sebagai acuan kami sekarang,” ucap pihak Reets kepada MUSIKERAS mengungkap alasan.
.
.
Reets sendiri butuh empat bulan untuk menggodok materi “Walk in The Darkness”. Dimulai pada April hingga Juli 2023 lalu, dan lantas diteruskan ke tahapan rekaman pada Agustus selama satu minggu. Dalam proses penulisan lagu-lagunya, para personel Reets mengaku sempat menemui kesulitan di lagu yang berjudul “Hypontize”. “Karena mencari riff dan kord yang cukup susah bagi kami semua.”
Sementara dari segi lirik, tema yang disuguhkan Reets di “Walk in The Darkness” mengangkat kasus-kasus yang sedang marak dan beredar di Indonesia beberapa tahun ke belakang. “Hypnotize” misalnya, membahas tentang Putri Cendrawasih, lalu “Greedy In The World” menyoroti bantuan sosial (Bansos) yang tersunat, “Fairytale In The Justice” mempertanyakan perkara Sambo dan brigadir Joshua serta “Eye of Truth” yang mengingatkan akan kasus penyiraman air keras pada mata Novel Baswedan.
EP “Walk In The Darkness” sudah dapat dinikmati di berbagai platform musik digital seperti YouTube Music, iTunes, Spotify, Joox, Deezer hingga Resso. (aug/MK02)
.
.