Beberapa embrio materi lagu yang sudah berkecambah melalui proses manggung sejak 2018, akhirnya menemui wujud akhirnya. Kawula stoner rock yang bermarkas di Denpasar, Bali, SWARS berhasil merampungkannya dan mengemasnya dalam sebuah album mini (EP) perdana bertajuk “Noble Rot”.

Di EP tersebut, termuat amunisi trek berjudul “Noble Rot”, “Pacinko Pt.1”, “Buas Tlah Menyalak (Rosario De Marshall) serta dua lagu yang telah lebih dulu dirilis pada 2022 lalu, yaitu “Suar di Tanah Tembakau” dan “Ludovico”. Sebagian besar adalah komposisi yang kerap tertunda dalam proses rekaman.

“Keseruannya selalu bongkar pasang personel sebelum terbentuk, dan gubahan lirik sampai pada 2022. Materi melalui fase rekonstruksi dan pengendapan cukup panjang, dikarenakan beberapa personel keluar-masuk maka ide baru pun terus bertambah. Eksplorasi yang berubah ubah,” ujar pihak SWARS kepada MUSIKERAS, mengungkap latar belakang lagu-lagunya.

“Noble Rot” yang dijadikan judul mengacu pada proses pembuatan minuman wine dengan dasar buah anggur. Pembusukan mulia dengan metode noble rot di beberapa negara seperti Jerman, Hongaria dan Perancis), yang dianggap sebagai pembusukan absolut dan murni. Sebab melalui masa perlambatan waktu pembusukan, melibatkan alam (iklim-musim) sebagai elemen utama dalam prosesnya. 

Dasar filosofi inilah yang lantas mendasari SWARS dalam penciptaan karya. Halnya penciptaan wine yang mulia perlu melalui fase lahir, tumbuh, mati, busuk, dan hidup kembali. Pun dengan gagasan bermusik SWARS yang pula melalui proses tanam ide, konstruksi-rekonstruksi, mengendap dan lahir kembali sebagai karya hasil fermentasi pemikiran. 

Dalam penciptaan karya musik dan liriknya, SWARS tidak menakar sudut pandang terbatas, berkelakar liar, reaksi dan refleksi, terkoneksi dengan peristiwa di masa lampau (sejarah urban) dan peristiwa masa kini. 

SWARS dan liriknya menyoal sejarah urban yang gelap dan minor, menyoal tentang kiprah tokoh-tokoh kriminal ‘legendaris’ dalam dunia bawah, seperti Johny Indo, Rosario De Marshall aka Hercules, Kusni Kasdut, dan lain-lainnya. 

Gitaris dan vokalis Setiawan F. Havid, vokalis Afrilian Bagus Kurniadi, dramer I Made Sathya Dhananjaya serta bassis Ketut Estaresa Kumala mengerjakan keseluruhan trek di studio secara mandiri dan bertahap sejak 2021-2022 lalu. Mulai dari tahapan rekaman hingga mixing dan mastering.

SWARS adalah penggila rock kotor yang mengejawantahkannya dengan hujan fuzz. Secara garis besar, musik rock yang mereka terapkan di “Noble Rot” diberi berbagai sentuhan, di antaranya blues dan heavy metal yang dibubuhi nuansa gitar berefek suara fuzz serta vokal yang parau. Beberapa referensi musikal yang mempengaruhi perkembangan SWARS di antaranya berasal dari band-band dunia macam Black Sabbath, DOWN, The Swords hingga pahlawan lokal, Kantata Takwa.

Sementara dalam penulisan lirik, mereka menggunakan bahasa Indonesia yang banyak dipengaruhi oleh puisi dan lirik karya penyair W.S Rendra, penyanyi Iwan Fals, penulis dan sastrawan Remi Silado hingga penyanyi dan penulis lagu legendaris asal AS, Lou Reed.

Dalam penggarapannya, para personel SWARS mengakui EP “Noble Rot” memberi pengalaman tersendiri secara musikal. Menantang bukan hanya dari proses eksekusinya, melainkan juga karena semua lagunya menghadirkan praktik eksperimentalnya masing-masing. “Namun ‘Noble Rot’ merupakan lagu yang kami rasa menjadi induk dari terciptanya lagu lainnya dalam EP. Uniknya, di lagu ini justru tidak memiliki lirik (instrumental).” 

Awal kiprah SWARS sendiri dimulai pada 2022, dimana mereka menancapkan “Suar Di Tanah Tembakau” dan “Ludovico” dalam format digital (audio visualizer) di kanal YouTube. Kini, untuk memaknai penyiaran “Noble Rot”, SWARS berencana melahirkannya secara utuh ke dalam bentuk rilisan fisik, agar tidak dianggap sebagai isapan jempol semata. Bahkan pun diwacanakan ada gerak lanjutan dalam menyasar pendengar lebih besar, dengan menggelar beberapa lawatan tandang ke luar kota, dalam rangkaian “Noble Rot” tahun ini. (aug/MK02)

.