Pertama kali mendengar materi awal lagu “The Final Countdown”, gitaris Europe, John Norum menyebutnya ‘mengerikan’. Ia tidak bisa membayangkan sebuah band rock yang mengandalkan raungan gitar tiba-tiba didominasi suara dari kibord.
“Mendengarkan suara melodi synthesizer tersebut berulang-ulang membuat saya gila. Saya menolak melakukan apa pun untuk lagu itu. Buat saya seperti: ‘Apakah kami sedang menuju ke (musik) Depeche Mode?’”
Namun untungnya, tak lama bagi John Norum untuk segera memahami maksud dari Joey Tempest, vokalis Europe yang menggagas lagu tersebut. Ia pun memikirkan bagaimana membuat permainan gitarnya bisa ‘kawin’ dengan lagu tersebut.
Saat itu, pada pertengahan era 80-an, kebetulan penggunaan melodi synthesizer di lagu-lagu rock sedang mulai digemari. Dimulai dari Van Halen yang menerapkannya di lagu “Jump”, atau Bon Jovi di lagu “Runaway”. Dan menurut Joey, para personel Europe juga kebetulan menggemari lagu-lagu milik band progressive rock legendaris asal Kanada, Rush yang cukup banyak menyuntikkan elemen kibord di lagu-lagunya.
“Jadi sama sekali bukan hal aneh,” serunya.
Untuk isian solo gitar di “The Final Countdown”, John Norum mengaku mengambil inspirasi dari gaya Ritchie Blackmore, gitaris Deep Purple saat itu. Khususnya untuk teknik serta gaya petikannya. “Saya memasukkan (tangga nada) pentatonic blues di bagian tengah, kemudian melakukan whammy bar bend di bagian akhir, di (gitar) 1965 Fender Stratocaster. Saya merekam isian solo saya hanya sekitar 15 menit dan sekarang saya sudah memainkannya (di panggung) ribuan kali… Saya bisa melakukannya dalam tidur!”
Joey Tempest pertama kali menulis lagu “The Final Countdown” ketika masih berusia 17 tahun, menggunakan perangkat kibord Korg Polysix yang ia pinjam dari Mic Michaeli, kibordis Europe. Konsep liriknya datang dari lagu milik David Bowie yang berjudul “Space Oddity”. Ia sempat mau menggunakan judul “The Final Breakdown” dan mencoba berbagai pilihan tempo untuk musiknya. Sempat dibuat agak pelan, lalu mengarah ke model tempo lagu-lagu AC/DC, namun tak ada yang dirasa pas.
“Jadi (akhirnya) saya bertekad untuk mempertahankan irama gallop model Iron Maiden,” ujar Joey sambil tertawa.
Suara riff kibord yang digunakan dalam rekaman dimainkan menggunakan unit rak Yamaha TX-816 serta synthesizer Roland JX-8P. Mic Michaeli mengungkapkan, saat rekaman ia mengombinasikan suara kasar dari JX-8P dengan efek suara pabrik dari Yamaha untuk mendapatkan intro “The Final Countdwon” yang melegenda tersebut.
Lagu “The Final Countdown” dirilis pertama kali pada 14 Februari 1986 via label rekaman Epic Records. Sementara albumnya sendiri – yang juga berjudul sama – baru diedarkan pada 30 Mei 1986. Awalnya, kubu band asal Swedia ini tidak meniatkan “The Final Countdown” menjadi lagu andalan, tapi sekadar sebagai lagu pembuka saat konser. Tapi pihak label rekaman justru memilihnya untuk dijadikan single unggulan pertama, dan menolak usulan pihak band yang menyodorkan lagu “Rock the Night”.
“The Final Countdown” menjadi lagu tersukses Europe sepanjang masa. Berhasil menduduki peringkat pertama terlaris di 25 negara pada saat itu, termasuk di Inggris yang bahkan bisa bertahan selama dua minggu di posisi puncak. Sementara di AS, lagu tersebut masuk peringkat tangga lagu Billboard Hot 100, tepatnya di peringkat ke-8.
Europe terbentuk di Swedia pada 1979, dan sejauh ini sudah merilis 11 album studio. Sampai sekarang, Europe masih diperkuat formasi terbaiknya, yang dihuni Joey Tempest, John Norum, Mic Michaeli, John Levén (bass) dan Ian Haugland (dram). Pada periode 1986 – 1992, posisi John Norum sempat digantikan oleh Kee Marcello yang berkontribusi di penggarapan album “Out of This World” (1988) dan “Prisoners in Paradise” (1991). (mdy/MK01)
.
.
Leave a Reply